Wujudkan Kemandirian Energi Lewat Bioetanol Berbasis Tebu, APTRI: Perlu Keseriusan dan Peta Jalan

Daerah penghasil tebu terbesar di Indonesia (Photo: Getty Images)
Demi mewujudkan kemandirian energi, Presiden Prabowo Subianto mencanangkan pengembangan bioetanol dari tebu. Untuk mengurangi ketergantungan impor serta penghematan devisa.
Ketua Umum Asosiasi Petani Tebu Rakyat Indonesia (APTRI), Soemitro Samadikoen mengatakan, cita-cita besar Presiden Prabowo mengembangkan bioetanol berbasiskan tebu, bukan perkara mudah.
Untuk itu, kata Soemitro, pemerintah harus serius dan menyusun peta jalan yang mumpuni. Itu kunci untuk memuluskan cita-cita besar tersebut. “Gula ini harus swasembada dulu. Terlalu riskan kalau dibuat bioetanol tapi gula kita masih impor,” kata Soemitro di Jakarta, Jumat (1/1/2024).
Menanam tebu, kata Soemitro, tidak bisa terburu-buru. Pembukaan lahan untuk penanaman tebu tidak bisa berdiri sendiri, tapi harus diikuti pembuatan pabrik. Agar hasil panen bisa langsung diolah. “Karena itu, kebijakan bioetanol dari tebu memerlukan peta, arah strategi dan pengkajian yang jelas, yang juga mencakup kultur baik alam (tanah) maupun masyarakat,” paparnya.
Koordinator Keteknikan dan Lingkungan Bioenergi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Efendi Manurung mengatakan, masih banyak tantangan dalam pengembangan bioetanol. Alhasil, implementasinya masih jauh dari rencana.
“Namun semuanya bisa diatasi dengan mendorong seluruh potensi yang dimiliki Indonesia. Misalnya, pengembangan jagung, kelapa sawit, pohon nipah, dan sorgum manis,” kata Efendi.
Dia menegaskan pentingnya pengembangan yang terintegrasi, sembari mengungkapkan bahwa pemerintah tidak akan mengabaikan target swasembada gula. “Jika gula kita bisa swasembada, bioetanol bisa mengikuti karena yang diambil limbahnya,” ujarnya.
Manager Riset Traction Energy Asia, Refina Muthia Sundari menyebutkan, berdasarkan kajian Traction tahun 2022, alih fungsi lahan dan gas N2O yang dihasilkan dari aktivitas pertanian, menyumbang emisi kotor terbesar. Angkanya hampir 60 persen.
“Apabila tidak ada diversifikasi, justru semakin menjauhkan Indonesia dari target pengurangan emisi,” jelasnya.
Selanjutnya, dia mengusulkan penggunaan alternatif selulosa yang diperoleh dari limbah kelapa sawit. Selain itu, dia merekomendasikan pembuatan kawasan ekonomi khusus (KEK) yang mendorong bertumbuhnya ekonomi regional kawasan.
“Ini sekaligus untuk memperpendek rantai pasok sehingga lebih ekonomis dan ramah lingkungan,” kata Refina.
Refina mengatakan, sumber energi yang berasal dari limbah, perlu dilakukan studi lebih lanjut dengan modal yang lebih besar.