Wantannas Ungkap Politik Uang dan Netralitas Masih Jadi Isu Utama Jelang Pilkada 2024

Sekretaris Jenderal (Sekjen) Dewan Ketahanan Nasional (Wantannas), Laksdya TNI T.S.N.B. Hutabarat. (Foto: Wantannas.go.id)
Sekretaris Jenderal (Sekjen) Dewan Ketahanan Nasional (Wantannas), Laksdya TNI T.S.N.B. Hutabarat atau yang akrab disapa Cokky Hutabarat memaparkan delapan hal, yang dapat terjadi jelang pelaksanaan Pilkada serentak 2024. Salah satunya potensi politik uang dalam Pilkada 2024.
“Berikut perumusan beberapa rencana kontinjensi pada pelaksanaan pilkada 2024, yaitu isu politik uang masih menjadi isu utama dalam pelaksanaan Pemilu 2024,” ucap Cokky saat rapat dengan Komisi I DPR di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta Pusat, Kamis (14/11/2024).
Praktik politik uang, kata dia, berpotensi berlangsung di beberapa tahapan krusial mulai dari pendaftaran, masa kampanye, hingga masa tenang jelang pemungutan suara.
“Kedua, potensi petahana/Pj. Potensi petahana maju kembali mencalonkan diri sebagai kepala daerah termasuk Pj kepala daerah, aturan cuti di luar tanggungan negara,” ujarnya.
Berikutnya adalah netralitas ASN. Menurutnya, pelanggaran terhadap netralitas ASN berpotensi masih akan terjadi.
“Indikasi ini salah satunya hadir dari potensi majunya elite birokrat daerah yang memiliki jabatan strategis untuk maju dalam kontestasi. Mobilisasi ASN menjadi sarana yang efektif untuk mendulang suara,” tuturnya.
Lalu politisasi program kerja, di mana masih ditemukan politisasi program kerja, termasuk di dalamnya adalah bantuan-bantuan pemerintah kepada masyarakat.
Berikutnya adalah netralitas penyelenggara. Wantannas memaparkan masih dibutuhkan pemetaan terhadap indikasi kerawanan netralitas penyelenggara pemilu terlebihnya di dalam beberapa diskusi, dan juga tudingan terhadap beberapa pihak penyelenggara sudah disisipkan untuk mempersiapkan pemilihan.
“Pemaknaan terhadap aturan, perlu adanya adaptasi dan persamaan pemaknaan aturan hukum yang menjadi acuan dalam penyelenggaraan pemilihan, seperti halnya pemaknaan terhadap syarat dan pencalonan yang diatur dalam PKPU,” kata dia.
“Selain itu diperlukan pemaknaan bersama beberapa negara, beberapa lembaga terkait dengan mutasi pegawai merujuk Pasal 71 ayat (2),” sambungnya.
Selanjutnya berkaitan dengan adaptasi teknologi informasi. Wantannas menilai KPU yang mendesain penguatan penggunaan teknologi informasi, sehingga diperlukan adaptasi oleh pihak yang berkontestasi, serta Bawaslu dalam proses pengawasan.
“Dan terakhir isu hoaks atau disinformasi, penyebaran isu hoaks melalui kanal media sosial yang dapat mengancam stabilitas kondisi politik,” tandas Cokky.