Waketum PKB Nilai Putusan MK soal Pemilu tak Mencerminkan Penjaga Konstitusi

Wakil Ketua Umum Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) Jazilul Fawaid mengaku menghormati bahwa Mahkamah Konstitusi (MK) memiliki kewenangan untuk memutus suatu persoalan. Tapi MK jangan lupa tugasnya sebagai penjaga konstitusi, putusan pemisahan gelaran pemilu dianggap kontroversial dan melampaui kewenangan.
“Di luar kontroversi MK itu open legal policy atau negatif legislation dan dia mengaku sebagai guardian constitution. Kalau dia penjaga ya dia gak usah ngatur. Jaga tapi ikut ngatur,” ujar Jazilul dalam sebuah diskusi di Gedung DPR RI Senayan, Jakarta Pusat, Jumat (4/7/2025).
Kontroversial yang dimaksud Jazilul, MK terlalu sering mengubah-ubah norma yang ada mulai dari persoalan batas usia calon presiden dan wakil presiden, batasan presidential threshold sampai putusannya terbaru saat ini.
“Dia menyebut dirinya guardian of constitution. Dia menjadi penjaga konstitusi, MK. Loh kok banyak keputusannya bukan hanya menjaga, ikut ngatur pula. Norma-norma baru dibuat. Nah ini yang membuat kontroversi,” tegasnya.
Diketahui, Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan penyelenggaraan pemilihan umum (pemilu) nasional dan daerah dipisahkan dengan jeda waktu paling singkat dua tahun atau paling lama dua tahun dan enam bulan.
Pemilu nasional antara lain pemilihan anggota DPR, DPD, serta presiden dan wakil presiden, sementara pemilu daerah terdiri atas pemilihan anggota DPRD provinsi, DPRD kabupaten/kota, serta kepala dan wakil daerah.
“Mengabulkan permohonan pemohon untuk sebagian,” kata Ketua MK Suhartoyo membacakan amar Putusan Nomor 135/PUU-XXII/2024 di Ruang Sidang Pleno MK, Jakarta, Kamis (26/6/2025).
Dalam hal ini, MK mengabulkan sebagian permohonan yang diajukan oleh Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) yang diwakili oleh Ketua Pengurus Yayasan Perludem Khoirunnisa Nur Agustyati dan Bendahara Pengurus Yayasan Perludem Irmalidarti.
Secara lebih perinci, MK menyatakan Pasal 167 ayat (3) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia (UUD NRI) Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat, sepanjang ke depan tidak dimaknai menjadi:
“Pemungutan suara dilaksanakan secara serentak untuk memilih anggota DPR, anggota DPD, presiden/wakil presiden, dan setelahnya dalam waktu paling singkat dua tahun atau paling lama dua tahun enam bulan sejak pelantikan anggota DPR dan anggota DPD atau sejak pelantikan presiden/wakil presiden dilaksanakan pemungutan suara secara serentak untuk memilih anggota DPRD provinsi, anggota DPRD kabupaten/kota, dan gubernur/wakil gubernur, bupati/wakil bupati, dan wali kota/wakil wali kota pada hari libur atau hari yang diliburkan secara nasional.”