Kanal

Vonis Setengah Hati Penjahat Berdasi


Korupsi itu extraordinary crime, kejahatan yang berdampak besar dan serius, seharusnya hukumannya juga harus lebih berat dari kriminal biasa.

Meski tak secara langsung merasakan dampaknya, atau bahkan tak tahu duduk perkara sebenarnya, namun vonis Harvey Moeis di penghujung tahun 2024 membuat masyarakat kompak marah!

“Korupsi Rp300 Triliun cuman divonis 6,5 tahun penjara!” begitu ketikan netizen meluapkan emosinya di media sosial. Bahkan pada level kemarahan selanjutnya, muncul gerakan sosial “Berikan kami Rp300 Triliun, kami siap dipenjara 6,5 tahun,” ramai-ramai orang menulis hal itu di media sosialnya.

Ditambah lagi muncul video-video Dewi Sandra hidup bergelimang harta jauh sebelum suaminya jadi tersangka, sukses menambah ‘gedek’ warganet.

Melihat fenomena distrust di masyarakat, Presiden Prabowo merespon dengan memerintahkan Jaksa Agung ST Burhanuddin naik banding atas vonis Harvey Moeis.

“Kita hormati putusan vonis hakim tersebut. Tapi patut dicatat bahwa vonis majelis hakim itu, diakui atau tidak, telah membuat publik kehilangan harapan terhadap upaya negara memberantas pelaku kejahatan tipikor,” kata Anggota DPR Komisi 3, Nasir Djamil kepada inilah.com.

Menurut Djamil, vonis rendah itu tak sebanding dengan kerugian keuangan dan perekonomian negara yang diklaim oleh jaksa penuntut.”Karena itu, upaya hukum berupa banding diharapkan bisa menerbitkan kembali harapan masyarakat,” ungkapnya.

Namun agar tak terulang, perlu ada terobosan hukum agar ada standar lebih tinggi lagi setelah extraordinary crime terhadap koruptor yang tampaknya sudah luntur.Menurut saya perlu ada Omnibus Law Tipikor. Peraturan perundangan tentang tipikor yang “berserakan” perlu diharmonikan dalam satu UU sehingga tidak ada lagi peluang terjadi overlapping dalam pencegahan dan pemberantasan korupsi,” kata Nasir Djamil.

Baca Juga:  Krisis Kepercayaan di Jantung Ekonomi Global

Politisi PKS itu menilai, pengaturan soal lembaga atau institusi yang menangani tipikor di kepolisian, kejaksaan, dan KPK perlu “disatu-rumahkan” agar integritas criminal justice system soal tipikor dapat terwujud.”Bukan hanya menyatu tapi juga kita harapan berintegritas sehingga tidak ada lagi isu soal politisasi atau kriminalisasi hukum,” tegas Nasir.

Selain itu, salah satu yang paling ditunggu kabarnya, adalah soal pengesahan Undang-undang Perampasan Aset (PA). Hingga Presiden Jokowi lengser, tak ada kabar lanjutan dari payung hukum untuk memiskinkan koruptor.

“DPR kasih komitmen untuk membentuk UU PA ini. Di DPR sendiri, naskah akademis dan draft RUU masih digodok Badan Keahlian DPR RI sebagai supporting system di bidang perundang-undangan. Soal perampasan dan penyitaan aset dari kejahatan tipikor selama ini juga sdh ada payungnya. Baik dalam KUHP ataupun di UU Tipikor, UU Tindak Pidana Pencucian Uang, UU Narkotika dan lainnya,” terang Nasir.

DPR kata Nasir, ingin semua pihak menghadirkan penegakan hukum tipikor yang independen sehingga UU PA ini tidak digunakan seperti “jurus mabuk” yang berpotensi melanggar konstitusional warga negara meskipun sedang berkasus dengan tipikor.

Wakil Tuhan ‘Murah’ Ampunan

Majelis Hakim Pengadilan Tipikor menjatuhkan vonis untuk Harvey Moeis 6,5 tahun penjara, dari tuntutan 12 tahun. Dengan nilai kerugian Rp300 triliun, tentu vonis itu tak sebanding.

Namun di tengah kecaman dan kemarahan publik atas vonis rendah korupsi Tambang, suara lantang justru datang dari Pukat UGM bahwa putusan terhadap Harvey Moies sudah cukup berat.

Baca Juga:  Blok Sejarah Indonesia 2045

Selain vonis penjara 6,5 tahun, Harvey juga dikenakan pidana uang pengganti sebesar Rp210 miliar. Angka ratusan miliar itu memang masih jauh dari total korupsi Rp300 triliun.

“Kalau misalnya dijatuhkan uang pengganti sebesar sebanyak kerugian perekonomian (Rp300 Triliun), maka itu tidak mungkin, kenapa, karena harta benda para pelaku juga tidak bisa sampai menutup jumlah itu,” kata peneliti Pukat UGM, Zaenur Rohman kepada inilahcom.

Menurut Zaenur, kasus korupsi timah yang digarap Kejagung, masih menjadi perdebatan di mata para ahli hukum. Sebab menurutnya, angka Rp300 Triliun bukanlah kerugian negara.”Saya paham ketika ini mencederai rasa keadilan masyarakat, tetapi saya ingin menjelaskan duduk perkaranya begini, jadi Rp300 Triliun itu bukan kerugian keuangan negara, tetapi kerugian perekonomian negara, dan kerugian perekonomian itu terdiri dari banyak jenis bentuk-bentuk kerugian, termasuk kerugian lingkungan, kerugian pemulihan dan lain-lain itu. Nah saya lihat mungkin dari sisi putusan mungkin ini jauh sekali dari rasa keadilan masyarakat,” ungkapnya.

Karena kasusnya soal pertambangan timah, Zaenur melihat banyak ahli hukum yang menilai kasus Harvey Moies ini lebih layak dijerat dengan undang-undang, Minerba, atau justru Lingkungan Hidup jika dikaitkan dengan dampak ekonominya.

Namun Kejagung pede dengan dakwaan yang disusun hingga terus maju ke vonis hakim.”Nah putusan segini yang dijatuhkan kepada Harvey Moeis menurut saya sebenarnya sudah merupakan satu jalan tengah, di mana sudah ada pengakuan dari majelis hakim mengenai kerugian perekonomian, itu merupakan satu prestasi yang harus saya apresiasi dari upaya yang dilakukan dari Kejagung,” ungkapnya.

Baca Juga:  Efisiensi Hijau di Tengah Gonjang-ganjing Ekonomi Global

Dengan pasal 18 yang disangkakan terhadap Harvey Moeis, maka nomilan uang pengganti juga terbatas aturan undang-undang sesuai pasal.

“Di dalam pasal 18 itu ada batasan bahwa jumlah uang pengganti itu sebanyak-banyaknya adalah itu sebesar harta yang diperoleh dari hasil kejahatan, nah itu menurut saya menjadi batasan yang saat ini diatur,” kata Zaenur.

Mahkamah Agung dalam pernyataannya menyebut bahwa kerugian negara dalam perkara korupsi, ditentukan oleh BPK atau BPKP. Apalagi perkara korupsi timah yang memenuhi unsur kerugian perekonomian negara.

“Sehingga ke depan ini perlu dirumuskan ulang mengenai kerugian perekonomian negara, apa yang dimaksud dengan kerugian perekonomian negara, bagaimana cara menghitungnya, siapa yang melakukan penghitungan, bagaimana cara untuk membeban kepada para pelaku gitu ya,” ungkapnya.

Kejagung memastikan mega korupsi timah belum selesai. Setelah menjerat pelaku intelektual yang terlibat, kini Korps Adhyaksa menyasar koorporasi untuk dikejar.

Ada lima perusahaan sebagai tersangka korporasi dalam kasus korupsi timah, Kamis (2/1/2025). Lima korporasi itu adalah adalah PT Refined Bangka Tin (RBT), PT Sariwiguna Bina Sentosa (SBS), PT Stanindo Inti Perkasa (SIP), PT Tinindo Inter Nusa (TIN), dan CV Venus Inti Perkasa (VIP).

Dari babak baru ini, diharapkan ‘dahaga’ keadilan masyarakat yang tercabik-cabik atas vonis Harvey Moeis bisa terobati dengan tersangka koorporasi.[syahidan].

Back to top button