Utak-Atik Posisi Wakil Presiden Gibran


Belum genap satu tahun menjabat, nama Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka kembali menjadi sorotan. Namun bukan karena gagasan kenegaraan yang segar atau langkah strategis membangun masa depan. Justru sebaliknya: posisinya kini menjadi bahan wacana pemakzulan yang mengemuka dari sebagian kalangan, termasuk Forum Purnawirawan TNI yang secara terbuka meminta DPR dan MPR mempertimbangkan pemberhentiannya.

Isu ini tentu bukan perkara kecil. Ketika seorang wakil presiden yang baru saja dilantik sudah digoyang oleh desakan pemakzulan, yang dipertaruhkan bukan hanya stabilitas pemerintahan, tetapi juga akal sehat konstitusi. Wacana ini menyulut debat publik yang tajam, tetapi sekaligus mengaburkan batas antara kekecewaan politik dan dasar hukum yang sah.

Satu hal yang perlu ditegaskan sejak awal: Gibran tidak bisa begitu saja dimakzulkan, baik secara politik maupun hukum. Pemakzulan bukan instrumen pelampiasan kekecewaan elektoral. Ia adalah jalan konstitusional yang berat, terbatas, dan harus dijalankan dalam koridor hukum yang ketat.

Legitimasi

Tak bisa dimungkiri, keterpilihan Gibran sebagai Wakil Presiden tidak lahir dari kontestasi yang sepenuhnya steril dari kontroversi. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 90/PUU-XXI/2023 membuka jalan baginya untuk mencalonkan diri, setelah tafsir usia minimal diubah oleh MK. Yang menjadi soal adalah posisi Ketua MK saat itu, Anwar Usman—yang tak lain adalah paman Gibran.

Sanksi etik dijatuhkan kepada Anwar Usman, tetapi putusan MK tetap berlaku. Di sinilah kegelisahan sebagian masyarakat menemukan muaranya: ada yang tidak selesai secara etis, meski secara hukum telah final. Namun, apakah kondisi ini cukup menjadi alasan untuk memberhentikan Gibran? Jawabannya: tidak.

Dalam sistem hukum tata negara kita, posisi Gibran sebagai Wakil Presiden telah dikukuhkan melalui pemilu langsung, disahkan oleh KPU, dan dilantik secara sah menurut konstitusi. Legitimasi hukum ini tidak dapat digugurkan hanya karena keraguan terhadap moralitas prosedural pencalonan. Pemakzulan bukan jalan untuk mengoreksi rasa tidak puas terhadap hasil pemilu.

Konstitusi

Pasal 7A dan 7B UUD 1945 telah menetapkan kerangka hukum pemakzulan secara eksplisit. Presiden dan/atau Wakil Presiden hanya dapat diberhentikan jika terbukti melakukan:

  • Pengkhianatan terhadap negara
  • Korupsi
  • Penyuapan
  • Tindak pidana berat lainnya
  • Perbuatan tercela
  • Atau tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden/Wakil Presiden

Prosedurnya pun ketat: DPR harus mengusulkan pemberhentian dengan dukungan dua pertiga suara dalam rapat paripurna, kemudian Mahkamah Konstitusi harus memeriksa dan menyatakan terbukti, baru MPR dapat memberhentikan dalam sidang pleno.

Dalam kasus Gibran, tidak ada satu pun elemen tersebut yang terpenuhi. Ia tidak melakukan tindak pidana, tidak melanggar syarat jabatan, dan tidak melakukan perbuatan tercela menurut hukum. Maka secara konstitusional, usulan pemakzulan terhadap Gibran adalah tindakan yang tidak berdasar hukum dan berisiko melemahkan tatanan ketatanegaraan.

Tafsir

Memang benar, pemakzulan juga membuka ruang tafsir atas istilah perbuatan tercela. Tetapi dalam praktik dan doktrin hukum tata negara, tafsir tersebut tidak bisa dilepaskan dari pendekatan restriktif dan objektif. Perbuatan tercela harus dimaknai sebagai pelanggaran etik yang berat dan telah terbukti secara hukum—bukan sekadar persepsi moral, opini politik, atau rasa kecewa.

Menganggap pencalonan Gibran sebagai bentuk “perbuatan tercela” tidak bisa dipertahankan secara hukum, karena:

Ia tidak menjadi bagian dari proses pengambilan putusan MK

Ia mencalonkan diri secara sah setelah putusan berlaku

Tidak ada norma yang menyatakan pencalonannya inkonstitusional

Jika tafsir pasal pemakzulan digunakan secara longgar dan reaktif, maka yang kita hadapi bukanlah supremasi hukum, melainkan balas dendam politik yang dibungkus prosedur konstitusional.

Politik

Di luar hukum, tentu kita tak bisa menutup mata terhadap dinamika politik. Ada ketegangan yang belum reda pasca Pilpres 2024. Banyak pihak merasa proses pemilu tidak adil, tidak netral, dan penuh campur tangan kekuasaan. Nama Gibran menjadi ikon dari semua itu.

Namun, menjadikan pemakzulan sebagai saluran politik alternatif atas kekalahan elektoral adalah langkah berbahaya. Demokrasi tidak bekerja berdasarkan persepsi personal, tetapi melalui mekanisme hukum dan institusi. Jika pemakzulan dijadikan alat koreksi politik, maka masa depan semua pemimpin terancam hanya karena tidak disukai segelintir elite.

Maka, dalam konteks Gibran, yang perlu dibangun adalah pemisahan tegas antara kritik politik dan dasar hukum. Kritik tetap diperlukan, tetapi tidak boleh melahirkan tindakan yang merusak bangunan konstitusi.

Stabilitas

Pemakzulan yang dipaksakan juga membawa risiko pada stabilitas pemerintahan. Pemerintahan baru hasil Pemilu 2024 belum genap setahun bekerja. Belum ada peta kebijakan yang matang, belum terlihat distribusi tugas yang jelas, dan belum muncul capaian yang bisa dievaluasi.

Di tengah situasi seperti ini, menggoyang kursi Wakil Presiden dengan isu pemakzulan justru bisa memperlebar jurang antara elite dan rakyat. Publik membutuhkan pemimpin yang bekerja, bukan elite yang saling jegal. Apalagi saat Indonesia sedang menghadapi tantangan besar: ketimpangan ekonomi, krisis iklim, dan gejolak geopolitik kawasan.

Pemakzulan seharusnya menjadi instrumen terakhir dalam konstitusi, bukan agenda awal yang digoreng di media sosial untuk menekan lawan politik.

Gibran memang kontroversial. Tetapi kontroversi tidak bisa serta-merta menjadi dasar hukum untuk memakzulkan. Jalan hukum memiliki prasyarat yang ketat, dan sejauh ini tidak ada pelanggaran konstitusional yang dapat dibuktikan secara sah terhadap Gibran. Kita harus membedakan antara etika publik dan dasar konstitusi.

Kita boleh kecewa, bahkan marah, terhadap proses politik yang cacat. Tetapi kita tidak boleh merusak konstitusi hanya untuk membalas kekesalan politik.

Mengutak-atik posisi Wakil Presiden tanpa dasar hukum yang kuat sama saja mengkhianati demokrasi itu sendiri. Konstitusi bukan alat serang, tetapi penuntun agar kekuasaan berjalan dalam batas. Dan batas itu tidak boleh dilintasi hanya karena kita tidak suka pada seseorang.

Exit mobile version