Upaya PBNU Merampas PKB: Halusinasi Politik?

Meski didirikan oleh tokoh-tokoh NU, PKB adalah sebuah entitas yang berdiri sendiri. Tetap saja secara struktur PKB tidak berada di dalam tubuh NU, apalagi tubuh PBNU. “Mengupayakan untuk mengembalikan PKB itu sesuatu yang tidak masuk akal, mengada-ada, dan–saya kira–kemunduran berfikir dan aksi PBNU sepanjang sejarah,” kata Dedi.
Relasi lembaga keagamaan dengan (partai) politik tampaknya seringkali menjadi hubungan yang berakhir kandas. Kita tahu bagaimana peran Muhammadiyah dalam melahirkan Partai Majelis Syuro Muslimin Indonesia (Masyumi) pada 1945 dan ujung-ujung kisahnya. Kita menyaksikan kegelisahan Gereja Katolik Italia mencari jalan keluar ketika Partai Demokrasi Kristen (DC) yang dibidaninya pada 1943, pada awal 1990-an jatuh berlumuran kasus korupsi dan skandal politik “Tangentopoli”. Hal yang serupa dengan pengalaman Gereja Konvensi Baptis Selatan (SBC), yang dikenal dekat dengan Partai Republik Amerika Serikat, ketika partai itu dekil dengan berbagai noda dan skandal moral.
Di Indonesia, kegelisahan, gesekan, dan tarik-ulur yang nyaris serupa kita saksikan pada Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) dan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) yang sempat dilahirkannya.
Luka Lama
Perseteruan antara PBNU dengan PKB boleh dibilang luka lama yang menahun, bahkan sudah berbilang dekade. Semua bisa ditarik pada gesekan antara Ketua Umum PKB, Muhaimin Iskandar, dengan pendiri partai sekaligus elit NU, KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur), dalam perebutan kekuasaan di internal PKB pada 2005 sampai 2008.
Selepas Muktamar 2005 memang muncul dualisme kepemimpinan di PKB, yakni kubu Gus Dur dan kubu Muhaimin. Pada 2008, Muhaimin dkk mengakhiri pertarungan terbuka dengan memenangkan tampuk kepemimpinan PKB. Perseteruan memang seolah reda, namun sejatinya bara masih menyala. Kalau di permukaan tampak tenang, itu karena perseteruan kemudian mengambil jalan laten. Bara permusuhan, terutama di pihak trah Gus Dur yang merasa ‘dikudeta’, tampaknya tetap menyala-nyala.
Hampir setiap lima tahun sekali bara itu tertiup angin Pemilu dan berkobar. Termasuk pada Pemilu paling akhir, 2024. Publik dengan gampang melihat posisi politik PBNU dan PKB berseberangan. Itu sejalan dengan berkuasanya kembali trah Gus Dur di PBNU, seiring duduknya Yahya Staquf di kursi ketua umum PBNU. PBNU, meski sejatinya khittah partai membatasi, tampak jelas mendukung pasangan Prabowo-Gibran. Sementara PKB tentu saja mendukung Anies yang menempatkan Muhaimin sebagai calon wakilnya. Selama masa kampanye Pilpres, bukan sekali-dua headline media dipenuhi silang sengkarut kata-kata kedua petinggi organisasi yang dekat dalam nasab tapi tak akrab dalam sikap politik tersebut.

Misalnya pernah mengemuka, pihak PBNU melalui Wakil Sekjen PBNU, Sulaeman Tanjung, saat itu memastikan bahwa Ketua Umum PBNU, Yahya Cholil Staquf, tidak diundang pada peringatan Harlah Ke-25 PKB di Stadion Manahan Solo, Jawa Tengah, Ahad (23/7/2023) sore.”Kalau ada yang bilang Ketum PBNU diundang di Harlah PKB, itu hoaks. Hingga saat ini tidak ada undangan dari PKB,” kata Sulaeman, keras. Secara common sense, bila benar ketua PBNU tak diundang pada milad PKB, itu memang hal yang sungguh tak elok.
Bara yang mulai berasap itu kian menyala manakala sesaat usai Pemilu Sekretaris Jenderal PBNU, Saifullah Yusuf, meminta PKB tak mempermasalahkan hasil Pemilu. Ia juga mengajak PKB kembali ke jalan yang sama dengan NU.”Kembalilah ke jalan yang benar, yakni jalan yang sesuai dengan Nahdlatul Ulama,” kata Saifullah Yusuf atau Gus Ipul. Tanda bahwa pernyataan itu serus, Ipul menyatakan hal itu dalam keterangan tertulis, Ahad, 18 Februari 2024. Ipul tak lupa mengingatkan bahwa PKB bukan pertama kalinya ikut Pemilu, sehingga paham keakuratan quick count atau hitung cepat.
“Mintalah nasihat kepada Rais Aam dan Ketua Umum (PBNU), bagaimana langkah-langkah PKB ke depan. PKB salah mengambil jalan sehingga menimbulkan langkah yang membingungkan ulama, kiai, juga warga NU. Bisa dilihat hasil Pemilu ini. Jadi, segeralah kembali ke pangkuan NU,” kata Ipul berpanjang lebar.
Kontan respons Muhaimin terkesan meradang. Ketua Umum PKB itu meminta publik tidak mengindahkan pernyataan Ipul. Muhaimin malah menyerang balik Ipul dengan menyebutnya makelar. “Selamat pagi para pejuang perubahan! Teruslah bekerja menjaga suara rakyat. Jangan hiraukan makelar yang namanya saipul, mengatasnamakan NU, padahal cuma makelar,” kata Muhaimin, melalui akun @cakiminNOW di X, Senin, 19 Februari 2024.
Belakangan, Muhaimin menganggap PBNU tidak mengakui dan cenderung menganggap sepi capaian PKB dalam Pemilu, termasuk peningkatan jumlah kursi di DPR.
Berkobar karena Pansus Haji

Namun yang membuat api perseteruan benar-benar berkobar tampaknya adalah terbentuknya Panitia Khusus (Pansus) Haji 2024 di DPR. Alih-alih mengamini klaim Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas yang menyebutkan penyelenggaraan ibadah haji 2024 berjalan lancar dan lebih baik dari tahun sebelumnya, Muhaimin justru mengeritik penyelenggaraan ibadah haji 2024 yang dipimpin Gus Yaqut. Ia meminta masalah itu diselesaikan dengan serius dengan mengusulkan pembentukan Panitia Khusus (Pansus).
Bahkan, wakil ketua DPR RI cum ketua Tim Pengawas Haji itu memimpin rapat paripurna pembentukan Pansus Haji pada Selasa, 9 Juli 2024. Saat itu, didampingi Wakil Ketua DPR RI, Rahmat Gobel, minus kehadiran tiga pimpinan DPR lainnya, Muhaimin mengetok palu tanda resminya Pansus terbentuk.
Sempat beredar kuat soal politisasi haji sebagai topeng penutup rivalitas kedua pihak, PKB-PBNU, serta malahan hubungan pribadi Muhaimin-Yaqut yang sejak lama buruk. Namun anggota Pansus Haji umumnya membantah.
“Ini proses biasa. Proses dialektika data dan fakta antara DPR dan Menteri Agama. Kita ikuti saja prosesnya dengan transparan dan akuntabel, supaya tidak menimbulkan fitnah dan rumor antara DPR dan Kementerian Agama,” kata anggota Pansus Angket Haji dari Fraksi Partai Golkar, Nusron Wahid. Ia menolak keras anggapan beberapa pihak soal adanya upaya politik atau masalah pribadi di balik pembentukan Pansus Haji. Menurut Nusron, pembentukan Pansus sudah dilandasi indikasi, data, dan dalil hukum kuat. Semua data itu pada saatnya akan diverifikasi dan dibuktikan dalam proses angket yang saat ini sedang berjalan.
Sejak itu, hubungan antara PKB dengan PBNU terus diwarnai manuver kedua pihak yang membuat suasana panas, bahkan di akar rumput NU. Yang terbaru, PBNU mengaku telah membentuk sebuah tim yang mereka beri nama Pansus PKB. Tim tesebut, lewat surat berkop PBNU yang ditandatangani Wakil Ketua Umum KH Amin Said Husni dan Wakil Sekjen Faisal Saimima, telah memanggil mantan Sekjen PKB, Lukman Edy, pada Selasa (30/7) lalu. Surat pemanggilan serupa dengan nomor 2103/PB.03/A.I.01.08/99/08/2024 telah dilayangkan kepada Sekjen PKB, Hasanuddin Wahid, untuk datang ke Ruang Rapat Lantai 5 PBNU, Jakarta Pusat, Senin (5/8) besok.
Tampaknya tensi hubungan PBNU-PKB ini masih akan tinggi dan panas. Soalnya, PKB tampaknya menganggap sepi pemanggilan tersebut dengan bersikap untuk mengabaikannya. Hal tersebut dinyatakan dengan tegas oleh Wakil Ketua Umum PKB, Jazilul Fawaid. Menurut Jazilul, PKB akan mengabaikan dua sesepuh Nahdlatul Ulama (NU) yang diutus PBNU untuk “mendalami masalah antara PBNU dan PKB” itu. “Utusan apa itu? Itu sesuatu yang tidak sesuai dengan Undang-Undang Partai Politik. Dengan sendirinya itu gugur, harus diabaikan,” ujar Jazilul di Kompleks Parlemen, Jakarta, Selasa (30/7) lalu.
Halusinasi

Layakkah PBNU memanggil para pengurus PKB dan menanyai mereka? Bagi Waketum PKB Jazilul, tidak. Menurut Jazilul, PBNU dan PKB berada di kolam yang berbeda. PKB bekerja berdasarkan UU Partai Politik, sedangkan PBNU merupakan organisasi masyarakat keagamaan. Itu yang membuatnya menilai bahwa upaya PBNU untuk merebut PKB, harus batal demi hukum. “Kalau mengevaluasi silakan evaluasi semua. Mengevaluasi Indonesia juga boleh,” ujar Jazilul.
Lebih jauh, Jazilul melihat hal itu sejatinya sama dengan manuver-manuver PBNU sebelumnya. “Saya rasa Gus Yahya, Gus Ipul, itu sering menggembosi PKB,” kata Jazilul di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta. Bagi dia, lebih terhormat bila PBNU konsisten dengan khittah partai yang dicetuskan pada 1926, dan diperbarui saat NU menyatakan kembali ke khittah pada 1984. NU, kata dia, seharusnya menjaga jarak dari seluruh partai politik. Memang, pada Muktamar NU di Situbondo tahun 1984, NU menyatakan diri sebagai organisasi sosial-keagamaan yang mengutamakan dakwah, pendidikan, dan kesejahteraan Masyarakat, tanpa terjun dalam politik praktis.
Persoalannya, PBNU tampaknya masih merasa ‘memiliki’ PKB. PBNU melalui Ketua Umum Yahya Cholil Staquf mengibaratkan hubungan antara PBNU dan PKB itu laiknya pabrikan mobil dan mobil produksinya. Jika ditemukan masalah pada mobil, pabrik berhak menarik kembali produknya untuk diperbaiki. Artinya, Yahya percaya, PBNU memiliki hak untuk “menarik kembali” PKB karena dianggap telah menyimpang dari tujuan awal pendirian partai yang didirikan oleh tokoh-tokoh NU.

Pengamat politik dan Direktur Eksekutif Indonesia Political Opinion (IPO), Dedi Kurnia Syah, menilai menuver PBNU dengan membentuk Pansus atau tim khusus untuk mengembalikan PKB ke NU tersebut sebuah wacana yang absurd.”Ini kental dengan semacam halusinasi (elit) PBNU,” kata Dedi kepada INILAH.Com.
Pasalnya, kata Dedi, meski didirikan oleh tokoh-tokoh NU, PKB adalah sebuah entitas yang berdiri sendiri. Tetap saja secara struktur PKB tidak berada di dalam tubuh NU, apalagi tubuh PBNU. “Mengupayakan untuk mengembalikan PKB itu sesuatu yang tidak masuk akal, mengada-ada, dan–saya kira–kemunduran berfikir dan aksi PBNU sepanjang sejarah,” kata dia. Kalau pun karena punya catatan Sejarah, kembalinya PKB ke NU itu seharusnya dilakukan dengan langkah-langkah yang dulu pernah dilakukan Yenny Wahid.
“Ikut kontestasi di pemilihan ketum PKB, kemudian melakukan gugatan. Itu cara yang benar,” kata Dedi.
Dua orang pakar Hukum Tata Negara juga sependapat dengan pandangan Dedi. “Dari segi hukum, ini dua hal yang berbeda. NU itu organisasi dan PKB organisasi yang lain. Agak sulit menemukan argumentasi untuk sampai pada kesimpulan bahwa NU bisa mengambil alih PKB,”kata Margarito Kamis kepada INILAH.Com. “Tak ada argumentasi rasional yang bisa digunakan NU untuk tujuan mengambil alih PKB.”
Begitu pula Dekan Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed), Prof. Muhammad Fauzan. Menurut Prof. Fauzan, dirinya tak menemukan dasar hukum yang memungkinkan PBNU mengambil alih PKB. Baginya, langkah PBNU itu tidak masuk akal dan tidak berdasar secara hukum.[dsy/ reyhaanah asyaroniyyah/rizki putra aslendra/clara anna]