Uang Palsu dan Potensi Ancaman Organized Crime

Pengungkapan praktik pembuatan uang palsu (upal) di salah satu kampus negeri ternama di Sulawesi Selatan telah mengejutkan banyak pihak dan mengundang perhatian luas dari masyarakat. Betapa tidak, hal ini karena kejahatan tersebut melibatkan lingkungan akademis yang seharusnya menjadi pusat pengembangan ilmu pengetahuan, akhlak, dan integritas manusia. Kasus ini terkuak ketika aparat penegak hukum, bekerja sama dengan pihak internal kampus dan masyarakat sekitar, melakukan rangkaian penyelidikan intensif setelah menangkap oknum warga yang diduga mengedarkan uang palsu di salah satu wilayah di Kecamatan Pallangga, Kabupaten Gowa, Sulawesi Selatan. Dalam operasi penangkapan, ditemukan alat dan bahan yang digunakan untuk memproduksi upal dengan kualitas tinggi, melibatkan beberapa oknum yang diduga dosen, bahkan pejabat kampus, dan staf.
Meskipun baru-baru ini, Kepala Departemen Pengelolaan Uang BI, menandaskan bahwa upal tersebut dicetak dengan menggunakan teknik cetak inkjet printer dan sablon biasa, namun praktik tersebut telah berhasil “menipu” mata sejumlah masyarakat setelah beberapa lama digunakan sebagai alat transaksi yang sah.
Temuan ini tidak hanya mencoreng nama baik institusi pendidikan tersebut, tetapi juga memicu kekhawatiran baru akan adanya potensi keterlibatan lebih luas dari elemen-elemen kampus atau insan akademis menjadi perantara atau “alat” bagi terbentuknya jaringan kejahatan yang lebih luas dan ekstrem. Lingkungan akademis, dengan akses terhadap teknologi canggih, sumber daya intelektual, dan jaringan luas, dapat secara tidak sengaja atau sengaja dimanfaatkan oleh pihak-pihak yang berniat jahat. Ini merupakan isu yang perlu mendapat perhatian serius. Bahkan belum lama ini, Menkpolkam turut angkat bicara akan potensi tersebut dengan mengimbau agar masyarakat mewaspadai peredaran upal selama libur Nataru.
Pengungkapan kasus ini menjadi peringatan keras bahwa ancaman kejahatan bisa menyusup ke berbagai lapisan masyarakat, termasuk lembaga pendidikan. Oleh karena itu, diperlukan upaya pencegahan dan pengawasan yang lebih ketat untuk menghindari terulangnya kejadian serupa di masa mendatang.
Organized Crime dan Antisipasinya
Kasus di atas, mengingatkan kita kepada fenomena “Superdollar” yang mulai muncul pada akhir 1980-an. Mengutip dari Wikipedia, Superdollar merujuk pada uang kertas palsu pecahan 100 dolar AS yang memiliki kualitas pemalsuan sangat tinggi dan peredarannya tercatat secara global setidaknya hingga tahun 2000, berdasarkan catatan pengadilan ekstradisi. Pemerintah AS mencurigai bahwa ada organisasi atau pemerintah tertentu yang bertanggung jawab atas pembuatannya.
Meskipun Superdollar memiliki beberapa ciri yang dapat dikenali dengan metode konvensional, kemajuan teknologi pemalsuan membuatnya semakin sulit dideteksi oleh sistem yang ada. Akibatnya, beberapa Superdollar masih bisa beredar tanpa terdeteksi. Hal ini ditengarai karena kejahatan tersebut dijalankan secara terorganisir dan rapi. Kasus Superdollar menunjukkan kompleksitas tantangan dalam menghadapi suatu kejahatan yang melibatkan teknologi canggih dan jejaring organisasi yang terstruktur. Sekalipun itu bukan tentang pemalsuan uang, namun berbagai negara telah menerapkan strategi komprehensif untuk memerangi kejahatan serupa.
Kejahatan terorganisir atau organized crime merupakan ancaman serius yang dapat merusak tatanan sosial budaya masyarakat Indonesia. Dengan jaringan yang terstruktur dan modus operandi yang canggih, kelompok-kelompok ini tidak hanya menimbulkan kerugian ekonomi, tetapi juga mengancam stabilitas sosial dan nilai-nilai budaya lokal. Dalam konteks Indonesia, di mana keragaman budaya dan sosial menjadi kekayaan bangsa, kehadiran kejahatan terorganisir dapat mengikis rasa aman dan kepercayaan masyarakat.
Kejahatan terorganisir dalam bentuk pemalsuan uang merupakan cikal bakal bagi munculnya ancaman lain yang lebih serius bagi stabilitas politik dan keamanan jika tidak mendapat porsi kebijakan yang memadai. Pemalsuan uang tidak hanya merugikan perekonomian negara, tetapi juga menimbulkan keresahan di kalangan masyarakat. Bukan tidak mungkin, dalam jangka panjang, jika tidak ditangani dengan tegas, praktik ini dapat merusak integritas ekonomi dan sosial, serta mengancam nilai-nilai kejujuran dan keadilan yang menjadi fondasi budaya Indonesia. Ketika uang palsu beredar, inflasi dapat meningkat, dan kepercayaan masyarakat terhadap sistem keuangan negara dapat menurun. Apalagi pemalsuan uang sering kali terkait dengan aktivitas ilegal lainnya, seperti pencucian uang dan pendanaan terorisme, yang bisa saja memperumit upaya penegakan hukum. Oleh karena itu, penanganan kejahatan ini memerlukan kolaborasi yang erat dan serius antara institusi pemerintahan, bahkan secara lintas wilayah dan kementerian, lembaga keuangan, dan masyarakat luas.
Setelah terungkapnya kasus uang palsu di UIN Alauddin Makassar, pemerintah Indonesia perlu mengambil langkah-langkah strategis untuk mengantisipasi kejahatan terorganisir yang lebih luas. Pertama, peningkatan pengawasan dan keamanan di lingkungan akademis harus menjadi prioritas, termasuk pelatihan bagi staf dan mahasiswa untuk mendeteksi aktivitas mencurigakan. Kedua, kerjasama antara lembaga pendidikan, aparat penegak hukum, dan instansi terkait perlu diperkuat untuk memastikan respons cepat terhadap ancaman kriminal. Selain itu, pemerintah harus mengembangkan teknologi deteksi yang lebih canggih dan memperbarui sistem keamanan mata uang secara berkala untuk mengantisipasi teknik pemalsuan yang semakin maju.
Yang ketiga dan tak kalah pentingnya, adalah peran intelijen di setiap jenjang wilayah dan komunitas mendesak untuk diperkuat dan diaktifkan guna mewaspadai praktik kejahatan terorganisir, baik di lingkungan akademis maupun non-akademis. Intelijen berfungsi sebagai mata dan telinga yang dapat mendeteksi ancaman sejak dini, memungkinkan tindakan pencegahan yang efektif sebelum kejahatan berkembang lebih jauh.
Di lingkungan akademis, intelijen dapat membantu mengidentifikasi potensi penyusupan jaringan kriminal yang memanfaatkan sumber daya dan teknologi kampus. Sementara itu, di komunitas non-akademis, intelijen berperan dalam memetakan pola kejahatan dan mengungkap jaringan yang beroperasi secara tersembunyi. Dengan informasi yang akurat dan tepat waktu, aparat penegak hukum dapat merancang strategi yang lebih terarah dan efisien untuk membongkar dan menindak pelaku kejahatan terorganisir. Selain itu, intelijen melalui peran Humas-nya juga berperan dalam membangun kesadaran masyarakat tentang ancaman yang ada, dan tanggap terhadap potensi kejahatan.
Permendagri Nomor 46 Tahun 2019, yang merupakan perubahan atas Permendagri Nomor 2 Tahun 2018 tentang Kewaspadaan Dini di Daerah, menekankan pentingnya penguatan sistem deteksi dan respons terhadap potensi ancaman di tingkat lokal. Peraturan ini menggarisbawahi perlunya koordinasi yang lebih baik antara pemerintah daerah, aparat keamanan, dan masyarakat dalam mengidentifikasi serta mengantisipasi berbagai ancaman, termasuk kejahatan terorganisir, bencana alam, dan konflik sosial.
Edukasi publik serta pelibatan elemen masyarakat tentang bahaya dan dampak dari kejahatan terorganisir di daerah sangat penting dalam ranah ini. Masyarakat lokal memiliki pengetahuan mendalam tentang lingkungan mereka, termasuk aktivitas yang tidak biasa atau mencurigakan, yang mungkin tidak terdeteksi oleh aparat penegak hukum dari luar. Terbukti dari kasus upal, informasinya berangkat dari laporan masyarakat. Oleh karena itu, dengan melibatkan masyarakat, informasi penting dapat dikumpulkan lebih cepat dan akurat, serta memungkinkan respons yang lebih efektif terhadap potensi ancaman. Dengan pendekatan yang komprehensif dan kolaboratif, Indonesia dapat memperkuat pertahanan terhadap ancaman kejahatan terorganisir dan melindungi stabilitas sosial serta ekonomi bangsa.