Tokoh Malari Hariman Siregar: Saatnya Prabowo Jadi Presiden yang Akuntabel

Aktivis senior sekaligus motor Peristiwa Malapetaka Lima Belas Januari 1974 (Malari), Hariman Siregar, menegaskan pentingnya akuntabilitas seorang pemimpin untuk mewujudkan kedaulatan rakyat. Ia berharap Presiden Prabowo Subianto mampu menjadi pemimpin yang benar-benar akuntabel, melampaui jejak pendahulunya.
“Demokrasi telah menjadi bagian penting dari perjalanan bangsa sejak proklamasi kemerdekaan. Namun, hingga kini, kedaulatan rakyat dan kesejahteraan sosial belum sepenuhnya terwujud. Ini karena kita belum memiliki presiden yang akuntabel,” ujar Hariman dalam peringatan 51 tahun Peristiwa Malari dan 25 tahun Indemo di Hotel Green Forest Bogor, Rabu (15/1/2025)
Di mata Hariman, akuntabilitas berarti seorang presiden harus bertanggung jawab atas kepercayaan yang diberikan rakyat. Lebih dari itu, ia harus jujur, disiplin, dan memiliki integritas tinggi.
“Presiden Prabowo sekarang harus menjawab tantangan ini. Jangan lagi terjebak pada pola-pola lama yang hanya menambah beban rakyat. Tanpa akuntabilitas, bangsa ini tidak akan beranjak ke arah yang lebih baik,” tegas Hariman.
Dia juga menyampaikan perlunya membersihkan pengaruh-pengaruh masa lalu yang menjadi hambatan, termasuk dari era pemerintahan sebelumnya. “Tanpa pemimpin yang akuntabel, demokrasi akan kehilangan maknanya. Ini saatnya bagi Presiden Prabowo untuk membuktikan bahwa ia mampu membawa perubahan yang diharapkan rakyat,” ujar Hariman.
Pelajaran dari Malari
Hariman juga mengingatkan, Peristiwa Malari memberikan pelajaran tentang pentingnya konsolidasi demokrasi. Ia menyebutkan, tegaknya hukum, keadilan sosial, kehidupan partai politik yang sehat, kebebasan berpendapat, dan kebebasan pers harus menjadi prioritas bagi setiap presiden.
“Peristiwa Malari menunjukkan betapa mahalnya harga yang harus dibayar jika pemerintah tidak responsif terhadap suara rakyat. Itu sebabnya konsolidasi demokrasi harus terus dilakukan, termasuk memastikan elite politik bersih dari pengaruh-pengaruh kekuasaan masa lalu,” kata Hariman.
Itu sebabnya, kata Hariman, perlunya membersihkan pengaruh-pengaruh masa lalu yang menjadi hambatan, termasuk dari era pemerintahan sebelumnya.
Peristiwa Malari terjadi saat mahasiswa memprotes kebijakan ekonomi Orde Baru yang dianggap terlalu menguntungkan modal asing, terutama dari Jepang, sementara rakyat justru semakin terpinggirkan. Kedatangan Perdana Menteri Jepang Kakuei Tanaka menjadi pemicu gelombang demonstrasi besar-besaran di Jakarta.
Mahasiswa yang dipimpin Hariman Siregar, Ketua Dewan Mahasiswa Universitas Indonesia saat itu, mengkritik pemerintah atas ketimpangan ekonomi, ketergantungan pada modal asing, dan praktik korupsi dalam lingkaran kekuasaan. Mereka turun ke jalan dan kerusuhan tak terhindarkan.
Aksi massa yang meluas menyebabkan kerugian besar. Puluhan mobil dan bangunan terbakar. Sekitar 11 orang tewas dan 137 lainnya luka-luka. Sedikitnya 750 orang ditangkap, termasuk aktivis mahasiswa.
Malari kemudian menjadi alasan pemerintah memberlakukan langkah represif untuk meredam protes, termasuk membubarkan Dewan Mahasiswa. Insiden ini sempat merenggangkan hubungan bilateral antara Indonesia dan Jepang.
Pemerintah pun terpaksa melakukan perubahan pada kebijakan ekonomi untuk mengurangi ketergantungan pada modal asing. Dan Malari menjadi simbol perlawanan mahasiswa terhadap ketidakadilan dan inspirasi bagi gerakan pro-demokrasi di tahun-tahun berikutnya.
Kini, 51 tahun setelah Malari, semangat perjuangan untuk akuntabilitas dan keadilan sosial tetap menjadi isu yang relevan. Presiden Prabowo, sebagai pemimpin saat ini, diharapkan mampu membawa perubahan nyata agar cita-cita demokrasi yang diperjuangkan para aktivis mahasiswa di masa lalu dapat terwujud.