Testis Dokter PPDS Unsri Ditendang Konsulen, Bukti Lingkaran Setan Kekerasan di Dunia Kedokteran Sulit Diputus


Kasus dugaan kekerasan fisik yang menimpa seorang dokter peserta pendidikan dokter spesialis (PPDS) di Universitas Sriwijaya (Unsri) kembali membuka tabir gelap dunia pendidikan kedokteran di Indonesia.

Dokter muda itu disebut-sebut mengalami tendangan di bagian testis oleh konsulen, hingga mengalami pendarahan.

Pengamat Sosial Universitas Indonesia (UI), Rissalwan Habdy Lubis, menilai kejadian ini bukanlah kasus tunggal. Apalagi fenomena ini mencuat seiring dengan menguapnya sejumlah dokter cabul di Jawa Barat yang juga melanggar etika profesi dokter.

Bagi Rissalwan, rentetan peristiwa tersebut mencerminkan masih kuatnya lingkaran setan dalam sistem pembinaan calon dokter spesialis di Indonesia.

“Ya saya kira memang aspek rekrutmen ini ya menjadi awal ya dari lingkaran setan di dalam proses pembinaan. Tapi yang saya kira penting selain aspek rekrutmen itu adalah mekanisme pembinaannya, dan kembali saya menegaskan itu masalah kontrol sosial,” ujar Rissalwan kepada Inilah.com, Jakarta, Rabu (23/4/2025).

Menurutnya, proses pembinaan dokter muda seharusnya melibatkan mekanisme pengawasan yang ketat dan berkelanjutan. Bukan hanya menyerahkan tanggung jawab sepenuhnya kepada konsulen.

“Pembinaan itu kan harus ada kontrol ya, harus ada yang mengawasi, harus ada spot check begitu ya. Sewaktu-waktu harus dipantau, apakah memang dokter-dokter konsulen atau katakanlah residennya itu menjalankan standar etik atau tidak,” jelasnya.

Ia menegaskan praktik kekerasan, baik verbal maupun fisik, sangat tidak masuk akal dalam dunia pendidikan kedokteran. Apalagi, metode tersebut bertentangan dengan nilai-nilai profesionalisme dan etika kedokteran.

“Kan saya kira enggak masuk akal ya, misalnya proses pembinaan PPDS ini menggunakan cara-cara fisik atau menggunakan diksi verbal yang kasar seperti makian dan cacian. Itu tidak masuk dalam standar etik kedokteran,” katanya.

Rissalwan mengkhawatirkan para dokter spesialis yang dibentuk dengan pendekatan kekerasan akan membawa pola itu ke dalam praktik pelayanan kesehatan.

Terlebih lagi, lemahnya sistem pembinaan dan tidak adanya mekanisme pencatatan membuat pelanggaran pada akhirnya kerap tak terdeteksi. 

Karena itu, Rissalwan mendorong adanya sistem dokumentasi dan rotasi konsulen yang lebih cepat, untuk mencegah relasi feodal dan patron-klien yang terlalu kuat.

“Saya kira mungkin sudah saatnya juga ada mekanisme yang lebih tercatat. Ya seperti kerja dokter lah ya, dokter kan setiap ketemu pasien ada status. Jadi berganti dokter pun status kesehatan dari pasien bisa diketahui,” katanya.

“Harusnya dia (PPDS) berpindah dengan cepat. Misalnya di konsulen A itu cuma satu bulan, pindah ke konsulen B satu bulan. Jangan sampai berbulan-bulan. Sehingga nanti ada hubungan emosional yang muncul di situ, tidak lagi profesional,” paparnya.

Exit mobile version