Market

Tahun Depan PPN Naik 12 Persen, INDEF: Semakin Banyak Rakyat Melarat


Pemerintahan baru yang berancang-ancang mematok tarif pajak pertambahan nilai (PPN) naik 1 persen menjadi 12 persen, perlu hati-hati. Keputusan ini berdampak buruk kepada perekonomian nasional. Kehidupan masyarakat semakin berat.

Peneliti Center of Industry, Trade, and Investment dari INDEF, Ahmad Heri Firdaus berdampak kepada kenaikan harga atau inflasi yang cukup signifikan. Hal ini pernah terjadi pada 2022 ketika PPN naik dari 10 persen menjadi 11 persen.

“Dampak pada saat itu (2022), inflasi melaju cukup tinggi. Inflasi April 2022 ketika terjadi kenaikan PPN itu, naiknya 0,95 persen. Di mana, secara year on year mencapai 3,47 persen,” kata Firdaus dalam acara Diskusi Publik PPN Naik, Beban Rakyat Naik secara daring, Jakarta, Rabu (20/3/2024).

Dia merincikan, kelompok pengeluaran makanan, minuman, dan tembakau berkontribusi paling besar dalam memantik kenaikan inflasi pada 2022. Disusul sektor transportasi. Dengan naiknya tarif PPN ini, berdampak kepada kenaikan harga makanan dan minuman. “Kalau terjadi kenaikan yang paling besar di sektor makanan, minuman, dan tembakau tentunya dapat memukul daya beli masyarakat menengah ke bawah,” jelasnya.

Baca Juga:  Jika Serius Entaskan Kemiskinan, Ekonom Sarankan BPS Buang Standar Kuno

Mengingatkan saja, setelah tarif PPN naik menjadi 11 persen pada 2022, pemerintah akan menajutkan penaikan menjadi 12 persen pada 2025. Hal ini mengikuti ketentuan Undang-undang tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP).

Berdasarkan pasal 7 ayat 1 UU HPP, tarif PPN yang sebelumnya 10 persen naik menjadi 11 persen mulai 1 April 2022. Kemudian naik lagi menjadi 12 persen paling telat 1 Januari 2025.

Pemerintah sendiri memiliki kewenangan untuk mengubah tarif PPN menjadi paling rendah 5 persen,  dan maksimal 15 persen, melalui penerbitan peraturan pemerintah (PP) setelah dilakukan pembahasan dengan DPR. Hal itu sebagaimana ketentuan Pasal 7 ayat 3 UU PPN.

Kalangan industri, kata Firdaus juga kena imbasnya. Mereka harus membeli bahan baku khususnya dari dalam negeri dengar harga naik. Artinya, biaya produksi menjadi ikut naik. “Celakanya lagi, daya beli sedang mahal. Produknya enggak laku, akibatnya apa? Perusahaan-perusahaan harus lakukan lay off atau PJK,” papar Firdaus.

Baca Juga:  Berdampak secara Ekonomi, PDIP Minta tak Ada Larangan Study Tour

 

Back to top button