Kanal

Tarif Makin Tinggi tidak Sentuh Persoalan Utama Ekonomi AS Maupun China


Kebijakan tarif tinggi terus mengemuka sebagai alat tekanan politik dan ekonomi antara Amerika Serikat dan China. Kedua negara saling berlomba memberlakukan hambatan dagang, seolah ingin menampilkan ketegasan dan melindungi kepentingan dalam negeri. 

Sayangnya, kebijakan ini gagal menjawab persoalan inti yang membelit perekonomian masing-masing. Tarif makin tinggi justru memperkeruh keadaan, bukan menyelesaikan masalah.

Krisis Ekonomi Tidak Akan Lenyap Lewat Tarif

Amerika Serikat berjuang melawan inflasi yang membandel, ketimpangan pendapatan yang melebar, serta beban biaya hidup yang terus menekan kelas menengah. China menghadapi krisis sektor properti, deflasi berkepanjangan, dan lemahnya konsumsi domestik. 

Masalah-masalah ini tidak lahir dari perdagangan bebas, dan tidak akan selesai lewat pengetatan proteksionis.

Tarif hanya membebani masyarakat luas. Di AS, harga barang konsumsi naik setiap kali tarif baru diberlakukan atas produk China. Bagi konsumen, ini berarti pengeluaran makin besar untuk kebutuhan pokok. 

Bagi produsen, biaya input juga meningkat karena banyak komponen industri berasal dari rantai pasok global yang terintegrasi dengan China. Efek ini memukul daya saing sekaligus memperparah tekanan inflasi.

Di China, tarif balasan terhadap barang-barang AS tidak memperkuat perekonomian domestik. Sektor ekspor melemah karena kehilangan pasar besar. Sementara itu, kebijakan tarif menghambat impor barang modal dan teknologi tinggi dari negara-negara maju yang sebetulnya dibutuhkan untuk meningkatkan produktivitas dan mendorong transformasi ekonomi.

Harga Naik, Daya Beli Melemah

Penerapan tarif membuat harga barang-barang impor melambung. AS mencatat lonjakan biaya hidup setelah putaran tarif yang diberlakukan terhadap China sejak masa pemerintahan Trump. Harga peralatan rumah tangga, bahan bangunan, hingga makanan mengalami peningkatan. Inflasi yang semestinya dikendalikan lewat kebijakan moneter justru diperburuk oleh kebijakan fiskal berbasis tarif.

Baca Juga:  INFOGRAFIS: Geger Marak Dokter Cabul

China juga terpukul secara tidak langsung. Ketika ekspor turun akibat tarif AS, produsen dalam negeri mulai mengurangi produksi dan melakukan pemutusan hubungan kerja. 

Pendapatan rumah tangga menurun, konsumsi melemah, dan tekanan deflasi semakin dalam. Siklus ini mempersulit upaya pemerintah untuk memulihkan pertumbuhan.

Dengan kata lain, tarif justru memperburuk ketidakseimbangan makroekonomi di kedua negara. Kenaikan harga di AS dan deflasi di China bukan fenomena terpisah. Keduanya berakar pada kebijakan proteksionis yang menciptakan ketegangan ekonomi secara global.

Dunia Bisnis Kehilangan Kepastian

Kebijakan tarif yang berubah-ubah dari tahun ke tahun membuat dunia usaha kehilangan pijakan yang stabil. Investor enggan berkomitmen jangka panjang karena khawatir aturan bisa berubah tergantung siapa yang berkuasa. Perusahaan global menjadi korban dari ketegangan ini karena harus terus-menerus menyesuaikan strategi logistik, harga, dan distribusi.

Di AS, banyak perusahaan kecil dan menengah yang menggantungkan pasokan dari China terpaksa menutup usaha karena tidak mampu menanggung beban tarif. Di China, eksportir juga kehilangan orientasi pasar. Ketidakpastian ini tidak mendukung pemulihan pascapandemi, justru memperlambat proses adaptasi terhadap perubahan global.

Kepercayaan pasar dan stabilitas sistem keuangan memerlukan konsistensi kebijakan. Tarif yang berubah-ubah seperti permainan tit-for-tat hanya menghasilkan kebingungan, bukan perlindungan. Negara dengan ekonomi terbuka seperti AS dan China membutuhkan prediktabilitas untuk menjaga iklim investasi tetap sehat.

Baca Juga:  Purnawirawan, Gibran, dan Surya Paloh

Menyimpang dari Agenda Reformasi

Tarif menjadi instrumen retoris yang menutupi kegagalan menyelesaikan agenda reformasi domestik. Di AS, wacana tarif digunakan untuk mengalihkan perhatian publik dari ketidakmampuan menurunkan biaya hidup atau memperluas jangkauan layanan kesehatan. Di China, tarif dibingkai sebagai bentuk perlawanan terhadap hegemoni Barat, padahal langkah tersebut mengabaikan kebutuhan mendesak untuk memperkuat permintaan domestik.

Kedua negara membutuhkan reformasi struktural, bukan dinding dagang yang lebih tinggi. AS sebaiknya fokus pada penguatan program sosial, perbaikan sistem pendidikan vokasional, dan kebijakan pajak progresif untuk meredam ketimpangan. 

China harus menata ulang sistem jaminan sosial, memperluas perlindungan pensiun, serta membangun sistem pajak yang adil untuk mendorong konsumsi rumah tangga.

Dengan terus mengedepankan tarif, kedua negara justru menjauh dari strategi-strategi yang dapat memberikan hasil jangka panjang. Tanpa perbaikan institusi dan distribusi, pertumbuhan akan tetap rapuh.

Ketegangan yang Merugikan Dunia

Konflik dagang antara dua kekuatan ekonomi terbesar dunia tidak hanya berdampak domestik. Negara-negara berkembang, terutama yang berada dalam rantai pasok China atau AS, terkena imbasnya. Volume perdagangan dunia melambat, harga komoditas bergejolak, dan ketidakpastian global meningkat. Hal ini mempersulit pemulihan ekonomi negara-negara Selatan yang masih bergulat dengan dampak pandemi dan krisis utang.

Tarif bukan hanya kebijakan dalam negeri. Tarif juga menjadi sinyal bagi dunia: apakah dua kekuatan besar ini mampu menyelesaikan perbedaan secara rasional dan adil, atau justru memaksakan kehendak lewat ancaman dan pembalasan. Ketegangan berkepanjangan hanya akan memperkuat tren deglobalisasi dan membahayakan tatanan ekonomi dunia yang saling bergantung.

Baca Juga:  Pahlawan Devisa dan Pusaran TPPO

Kembali ke Diplomasi Ekonomi dan Reformasi Domestik

Amerika Serikat dan China masih memiliki peluang untuk membalik arah. Kedua negara sebaiknya menghentikan eskalasi perang tarif dan mulai membangun dialog tentang mekanisme perdagangan yang lebih adil dan transparan. Reformasi WTO, kerja sama multilateral, dan perjanjian dagang berbasis lingkungan dan keadilan sosial bisa menjadi titik temu.

Di sisi domestik, kebijakan yang berpihak pada rakyat harus menjadi prioritas. AS perlu menjawab keresahan publik atas harga yang tak terjangkau, sementara China harus menciptakan ruang fiskal untuk meningkatkan daya beli dan melindungi generasi muda yang kehilangan harapan.

Tarif tidak menjawab keluhan rakyat. Tarif tidak menciptakan pekerjaan baru yang berkualitas. Tarif tidak memperbaiki ketimpangan atau memodernisasi ekonomi. Yang dibutuhkan adalah keberanian politik untuk menyusun ulang prioritas dan meninggalkan narasi konfrontatif.

Saatnya Meletakkan Senjata Tarif

Tarif tinggi tidak membawa solusi. Justru memperdalam luka lama dan menciptakan luka baru. Amerika Serikat dan China harus berhenti menggunakan tarif sebagai alat utama kebijakan ekonomi. Waktunya meletakkan senjata tarif dan kembali ke meja perundingan serta jalur reformasi.

Pemulihan ekonomi global hanya akan terwujud jika dua kekuatan besar dunia bersedia memimpin bukan lewat perseteruan, tetapi melalui visi jangka panjang, reformasi struktural, dan komitmen pada stabilitas ekonomi dunia.

Back to top button