Sudah Ada Putusan MA dan MK yang Melarang Tambang Nikel di Konkep, Anak Usaha Harita Group Tetap Bandel

Meski sudah ada keputusan Mahkamah Agung (MA) dan Mahkamah Konstitusi (MK) yang melarang aktivitas tambang nikel dari PT Gema Kreasi Perdana (GKP), anak usaha Harita Group di Pulau Wawonii, Konawe Kepulauan Sulawesi Tenggara (Sultra), tetap saja nekat.
Aktivitas tambang GKP diduga tetap saja dilakukan, terlihat dari hilir mudiknya kapal tongkang pengangkut nikel. “Subuh tadi ada tongkang yang berangkat, pagi dan sore. Ada 2 tongkang sandar dan langsung memuat ore (nikel). Ini sudah 88 tongkang pasca putusan MK,” papar Sahidin kepada Inilah.com, Jakarta, Sabtu (11/1/2025).
Setidaknya ada 4 putusan dari MA dan MK yang melarang kegiatan penambangan nikel dari PT GKP di Konawe Kepulauan (Konkep). Pertama, putusan MK Nomor 35/PUU-XXI/2023 yang menolak gugatan PT GKP terhadap undang-undang yang mengatur pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil.
Kedua, putusan Mahkamah Agung (MA) Nomor 57 P/HUM/2022 yang menegaskan larangan aktivitas penambangan di wilayah pesisir kecil. Di mana Konawe Kepulauan termasuk wilayah pesisir.
Ketiga, putusan MA Nomor 14 P/HUM/2023 yang memperkuat posisi hukum melawan aktivitas pertambangan di Konkep. Keempat, putusan MA yang membatalkan Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan (IPPKH) yang dikeluarkan untuk PT GKP pada 7 Oktober 2024.
Di sisi lain, Ketua Lembaga Jaringan Aktivis Mahasiswa Hukum Sultra-Jakarta, Muhammad Rahim menegaskan, kegiatan tambang PT GKP di Pulau Wawonii, jelas-jelas melanggar aturan hukum yang berlaku.
“Meski sudah ada putusan hukum yang jelas, PT GKP tetap melanjutkan aktivitas pertambangannya yang ilegal di wilayah pesisir kecil yang dilindungi. Seperti yang tertuang dalam putusan Mahkamah Agung yang melarang penambangan di kawasan tersebut,” ujar Rahim.
Rahim yang juga Kemenlu BEM Universitas Ibnu Chaldun-Jakarta itu, menjelaskan, sejumlah putusan hukum dengan jelas menyatakan bahwa aktivitas pertambangan GKP di Pulau Wawonii adalah melanggar hukum.
“Keputusan-keputusan hukum ini menunjukkan bahwa aktivitas pertambangan yang dilakukan oleh PT GKP di Pulau Wawonii jelas melanggar hukum, namun perusahaan tersebut tetap berjalan tanpa mengindahkan aturan yang ada,” tambah Rahim.
Di sisi lain, dia menyoroti dampak buruk dari aktivitas pertambangan yang dilakukan PT GKP. Tidak hanya merusak lingkungan, aktivitas tambang PT GKP telah mencemari air laut yang menjadi sumber kehidupan warga setempat. “Serta memicu konflik horizontal antara masyarakat dengan pihak perusahaan,” ujarnya.
Akibat pencemaran dan kerusakan lingkungan yang ditimbulkan, banyak masyarakat Pulau Wawonii yang terdampak, khususnya para nelayan yang kehilangan mata pencaharian mereka. Selain itu, konflik sosial antara perusahaan dan masyarakat semakin meningkat, menciptakan ketegangan yang belum juga terselesaikan.
“Sebagai bagian dari komitmen kami untuk menjaga lingkungan dan hak-hak masyarakat, kami akan terus mengawal kasus ini GKP benar-benar menghentikan segala aktivitas pertambangan yang merusak lingkungan dan bertanggung jawab,” kata dia.
Anak Usaha Harita Group
Bisa jadi, aksi nekat PT GKP tetap menambang nikel di Konkep karena perusahaan ini merupakan anak usaha dari perusahaan tambang besar yakni Harita Group.
Asal tahu saja, Harita Group merupakan perusahaan pertambangan nikel, bauksit, sawit, batu bara, perkapalan, dan perkayuan yang berdiri sejak 1915.
Grup bisnis ini dimiliki Keluarga Lim Tju King, imigran asal China yang awalnya membuka toko sembako kecil-kecilan di pesisir Sungai Mahakam, Kalimantan Timur.
Selanjutnya, Harita Group diambil alih putra Lim Tju King, yakni Lim Hariyanto yang aktif melakukan ekspansi bisnis kayu. Pada 1983, Harita Group membangun pabrik kayu triplek.
Kemudian pada 1988, Harita Group membangun kongsi bisnis untuk menggarap tambang emas dengan Kelian Equatorial Mining (KEM), milik Rio Tinto Group.
Sejak itulah, sayap bisnis Harita Group semakin melebar dan kuat. Bisnis pertambangan hasil bumi digarap hingga saat ini.
Alhasi, Lim Hariyanto masuk jajaran orang kaya tertua di Indonesia dengan jumlah harta sekitar US$6,5 miliar atau setara Rp96,58 triliun. Majalah Forbes sempat menempatkan Lim Hariyanto di posisi ke-5 orang terkaya di Indonesia.
Saat ini, estafet kepemimpinan Harita Grup bergulir ke Lim Gunawan Hariyanto yang tak lain putra dari Lim Hariyanto.
Perusahaan ini membuat fasilitas pembangkit HPAL pertama yang nantinya memproduksi bahan mentah untuk baterai kendaraan listrik. Proyek ini diperkirakan bernilai US$1 miliar atau setara Rp16 triliun.