Spiritualitas Fungsional

CEO OpenAI Sam Altman mengatakan bahwa penggunaan frasa ‘terima kasih’ dan ‘maaf’ di ChatGPT telah membuat perusahaan itu membayar biaya listrik yang tak murah, nilainya melebihi 10 juta USD per tahun. Ini menjadi bukti bahwa ‘kesopanan’ manusia ternyata memiliki dampak ekonomi yang sangat besar, tetapi kita layak membayarnya karena kehadiran ‘rasa’ memang tak ternilai harganya.
Permintaan yang terus meningkat untuk interaksi ‘basa-basi kesopanan’ itu sebenarnya tidak diperlukan oleh Artificial Intelligence (AI) dalam menyelesaikan tugas-tugas fungsionalnya. Tetapi kita menginginkan interaksi yang manusiawi dari AI, a human-like interaction, maka biaya listrik Rp170 miliar per tahun seperti tak ada nilainya. Manusia memang cenderung ingin menemukan AI yang paling manusiawi, berapapun harganya, seperti kita yang membahas apa saja di ChatGPT, dari urusan percintaan sampai pertanyaan tentang Tuhan.
AI sebenarnya tak memiliki perasaan, tetapi interaksi kita dengannya memberikan efek perasaan tertentu karena simulasi bahasa di dalamnya memicu reaksi rasional dan emosional. Itulah yang membuat AI jadi manusiawi, tidak kering seperti yang sebelumnya dibayangkan. Ternyata kita bisa curhat, berefleksi, berkontemplasi ditemani ChatGPT, Gemini, atau DeepSeek. Manusia memang bukan sekadar makhluk fungsional, tetapi spiritual.
Hal ini menjelaskan kenapa ekonomi sering di-drive oleh hal-hal yang spiritual, yang melibatkan pengalaman rasa manusia. Di sektor pariwisata, misalnya. Jepang menjadi negara dengan tujuan wisata ketiga tertinggi di dunia karena orang terkesan dengan perlakuan orang Jepang yang memberi sentuhan rasa. Budaya ‘terima kasih’ dan ‘maaf’ di sana memberi kesan yang sangat mendalam bagi para wisatawan, membuat mereka rela merogoh kocek 41,8 triliun yen per tahun di Jepang, menyumbang 7,1% total GDP negara tersebut.
Sebaliknya, pendapatan Amerika Serikat dari sektor ini terus menurun karena orang mendapatkan pengalaman yang buruk selama berwisata ke sana. Individualisme ekstrem, kemerosotan moral yang tajam, kebisingan sosial, dan hilangnya etika publik di sana membuat orang malas pergi dan berbelanja di Amerika. Efek dominonya besar sekali, menghantam perekonomian negeri Paman Sam. Memudarnya spiritualitas di negara itu sampai membuat presidennya pusing. “America is going to hell!” kata Donald Trump di berbagai kesempatan.
Modal spiritual
Kita bisa melihat pola ini di berbagai belahan dunia lainnya. Ada banyak contoh negara yang memperkuat budaya spiritual mereka justru berdampak positif kepada ekonomi—Thailand dan Tibet contohnya. Di sisi lain, hilangnya spiritualitas publik membuat negara menjadi susah, seperti fenomena yang terjadi di Prancis dan Yunani. Sudah menjadi fitrah manusia untuk mencari ketenangan dan kebahagiaan. Itu situasi rasa, tidak mungkin dicapai oleh kemajuan material belaka.
Spiritualitas adalah modal sosial yang harus dimiliki setiap bangsa. Teori social capital ini dikemukakan oleh Pierre Bourdieu dan dalam versi lainnya oleh Robert Putnam. Keduanya berpendapat bahwa masyarakat yang memiliki kepercayaan, norma sosial, dan jaringan relasi yang kuat akan lebih efektif dalam bekerja sama menuju tujuan bersama. Modal sosial adalah sumber daya penting yang dapat meningkatkan kesejahteraan individu, kelompok, dan masyarakat.
Di ruang publik, spiritualitas adalah kesadaran nilai, makna, dan keterhubungan yang membentuk arah dan etika kolektif masyarakat. Charles Taylor berpendapat bahwa spiritualitas bukanlah dogma agama, tapi spirit yang membimbing tindakan sosial dan politik (public spirituality). Negara yang sehat bukan hanya negara yang kuat secara politik, ekonomi, militer, atau hukum, tapi juga negara yang menginspirasi secara ruhani.
Sejatinya Indonesia punya modal spiritual yang sangat kuat sebagai sebuah bangsa. Tetapi seringkali hal itu justru digantikan oleh formalisme atau dogma agama. Simbol atau atribut agama diperkuat di ruang publik, tetapi spiritualitas publiknya kehilangan kesadaran. Akibatnya, akhlak hanya ada di buku atau menjadi jargon, tidak berhasil termanifestasi menjadi sikap dan perilaku.
Jepang tidak menyebut dirinya “negara religius”, tapi spiritualitas hadir dalam bentuk praktik sosial: budaya antre, etika kerja, perhatian terhadap yang lemah, dan penghormatan terhadap alam. Jepang memiliki modal sosial spiritual yang tak terlihat, tapi memperkuat akhlak fungsional sehari-hari, harmoni, ketertiban, dan kemajuan kolektif. Indonesia harus membangunnya kembali, bukan hanya mengejar modal fisik atau modal finansial, sambil terjebak dalam formalisme religiusitas.
Dua modal masa depan
Dalam sebuah obrolan bersama seorang diaspora Indonesia di Jepang, suatu ketika saya sempat bertanya, “Kekayaan budaya kita mirip Jepang, tetapi mengapa kita tak bisa mencapai apa yang dicapai negara itu? Apa yang salah dengan Indonesia?”
Peneliti di salah satu universitas di Jepang itu memberikan jawaban yang sederhana tetapi menohok. Katanya, “Pendidikan kita tidak berorientasi kepada penyelesaian masalah atau problem solving dan agama di tengah masyarakat kita kurang spiritual.” Lama saya merenungkan jawaban pendek itu. Tetapi rasanya dua hal itu bisa menjadi formula untuk membangun karakter bangsa Indonesia masa depan.
Pertama, mengubah fokus pendidikan ke arah problem solving. Kita perlu menciptakan generasi yang bisa mengidentifikasi masalah, bisa menguraikan dan menganalisisnya serta menemukan solusi-solusi praktis dan fungsional. Anak-anak di sekolah harus diajarkan system thinking, complex reasoning, design thinking, creativity, dan problem solving.
Kita harus membangun generasi baru Indonesia 2045 yang bisa ikut serta dalam mewujudkan ketertiban dunia. Ini perlu problem solving skills, bukan hanya cerdas secara intelektual dan unggul secara akademik. Generasi yang bisa memecahkan masalah adalah mereka yang punya kepercayaan diri dan mampu berkolaborasi, yang berpikir dengan perspektif Gotong Royong 5.0.
Kedua, agama harus dikembalikan kepada jati dirinya untuk membangun spiritualitas manusia. Bukan dogma yang berkutat pada kategorisasi dan atribut-atribut simbolik. Praktik beragama di tengah masyarakat seyogyanya melahirkan akhlak, sikap, dan perilaku yang membantu manusia Indonesia menghadapi realitas sosial keseharian mereka.
Spiritualitas bukanlah ajaran yang tertinggal dalam teks atau khotbah, melainkan kesadaran nilai, tanggung jawab terhadap sesama dan alam, etika dalam relasi sosial. Spiritualitas bukan hanya milik agama, tapi bagian dari cara hidup yang mengakar dan membangun martabat sosial.
Dalam Human Development Theory, Amartya Sen menekankan pentingnya perspektif pembangunan yang bukan hanya soal ekonomi, tetapi memperluas kapasitas dan kebebasan hidup manusia. Negara harus menciptakan lingkungan yang memungkinkan warganya hidup bermakna, berkontribusi, dan berkembang secara utuh. Inilah spiritualitas yang menjadi infrastruktur batin suatu bangsa.
Dari mana memulainya? Barangkali dengan menggalakkan kembali etika sehari-hari, masyarakat diajarkan kembali buang sampah pada tempatnya, saling tolong-menolong menyelesaikan masalah, gotong royong lingkungan. Atau lebih sederhana lagi: membudayakan kembali ‘terima kasih’ dan ‘maaf’.
Seperti yang dialami OpenAI, mungkin mengerjakan semua ini tampak sepele, tapi akan membawa konsekuensi anggaran yang cukup besar. Hanya pemimpin yang bisa melihat jauh ke depan, menyelam ke kedalaman batin bangsa, yang akan punya keberanian mengeksekusi hal semacam ini. Karena dampak besar yang akan dibawanya hari ini dan di masa depan.
Tabik!