SKK Migas Klaim Temuan Gas Cukup Besar, tapi Pipa Penyalurannya Belum Ada


Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Migas (SKK Migas) menjelaskan, penemuan gas dalam beberapa tahun ke belakang, cukup besar.

Namun masih ada kendala, yakni infrastruktur penyaluran mengingat temuan gas tersebut, sebagian besar berada di wilayah timur Indonesia. Sementara permintaannya terpusat di Indonesia bagian barat.

“Kita banyak temuan cadangan gas, tapi daerah timur Indonesia jadi bagaimana bawa cadangan gas menjadi produksi dan dikirim ke end user yang ada di Jawa dan Sumatera,” kata Vice President Komersialisasi SKK Migas, Ufo Budiarius Anwar di Jakarta, Jumat (16/5/2025).

Ufo mengatakan, gas sat ini sudah menjadi salah satu sumber energi yang diminati. Meski termasuk sumber energi berbasis fosil namun gas dinilai lebih bersih.

Ini yang membuat konsumsi gas bumi hampir dipastikan terus meningkat sejalan dengan strategi transisi energi yang diusung pemerintah. Apalagi temuan cadangan migas dalam beberapa tahun terakhir didominasi gas.

Sayangnya, masih ada sejumlah tantangan yang dihadapi dalam pemanfaatan gas ini. Adanya kesenjangan cukup besar antara lokasi atau sumber pasokan dengan lokasi demand. Untuk itu, harus disiapkan berbagai metode penyaluran atau supply, baik gas pipa maupun dengan beyond pipeline seperti LNG.

Berdasarkan data SKK Migas pada 2024 rata-rata penyaluran gas bumi mencapai 5.613,43 BBTUD dengan persentase pemanfaatan gas bumi sekitar 60 persen lebih diperuntukkan untuk kebutuhan domestik.

Sementara untuk ekspor hanya 24,17 persen untuk ekspor LNG serta ekspor gas pipa yang diekspor ke Singapura 6,95 persen.

Ufo menuturkan, dengan kondisi banyaknya gas yang dimanfaatkan untuk kebutuhan domestik maka dipastikan bahwa gas merupakan lokomotif penggerak ekonomi energi di Indonesia.

“Gas itu lokomotif energi Indonesia sangat cocok dengan transisi energi. Masalahnya ya infrastruktur tadi. Gas paling banyak digunakan paling besar kelistrikan, pupuk. Ada city gas jargas itu adalah potensi kurangi LPG impor tadi,” ucap Ufo.

Meskipun pasokan gas secara kumulatif masih berada dalam kondisi surplus, ketidakseimbangan antara ketersediaan dan kebutuhan di berbagai wilayah telah menunjukkan kecenderungan yang semakin lebar.

“Untuk tahun ini saja masalah pasokan gas cukup dirasakan. Pemerintah memutuskan untuk melalukan swap gas yang diekspor ke Singapura menjadi LNG. Ini membuat kebutuhan gas sampai Juni tahun ini sudah tercukupi,” kata Ufo dalam diskusi Strategi Penguatan Sektor Gas Bumi Indonesia yang digelar Energy Editor Society (E2S).

Sementara itu, Direktur Perencanaan Strategis dan Pengembangan Bisnis Pertamina Hulu Energi (PHE) Rachmat Hidajat mengakui, dengan adanya temuan gas di wilayah timur Indonesia membuat Pertamina sangat berharap kolaborasi dan keterlibatan pemerintah untuk bisa memastikan ketersediaan pasar konsumen gas.

“Harapan ke depan inventory kita banyak, tapi stranded field dan marjinal. Belum bisa optimasi semua. Butuh kolaborasi dengan pemangku kepentingan. Karena bagaimana caranya agar market mudah akses ke kita,” ungkap Rachmat.

Pada kesempatan yang sama, Anggota Komisi XII DPR RI, Sugeng Suparwoto menegaskan bahwa infrastruktur dasar memang harus bisa disiapkan pemerintah. Tanpa infrastruktur dasar yang memadai maka akan ada peningkatan biaya yang ujungnya akan berdampak pada harga gas.

“Kita enggak mempunyai infrastruktur dengan pipa. Ada tambahan ongkos kalau bukan pipa (LNG),” ungkap Sugeng.

Keterlibatan pemerintah kata Sugeng jadi kunci untuk bisa menguatkan sektor gas bumi Indonesia. Dia mencontohkan pembangunan pipa gas Cirebon – Semarang (Cisem) yang akhirnya diambil alih oleh negara setelah gagal dibangun dulu oleh Rekind dan Bakrie Grup.

“Nanti dari ujung Aceh sampai Jawa Timur pipa tersambung Jawa dan Sumatera. Jadi kaya Arun akan menjadi receiving terminal storage, baru alirkannya melalui pipa dan itu bisa murah,” kata Sugeng.

Menurut Direktur Eksekutif Reforminer Institute Komaidi Notonegoro, salah satu kunci untuk bisa meredam potensi kekurangan pasokan gas di beberapa wilayah adalah pemerintah harus terus menggenjot upaya integrasi maupun penyediaan infrastruktur gas.

Menurut dia, dari berbagai data sekitar 80 persen cadangan gas berada di Indonesia timur, konsumen di bagian barat.

“Kalau bangun pipa investor tanya berapa lama cadangan lewat. Kalau 5-10 tahun bangun pipa kemudian kalau balik modal 15 tahun, nggak akan dipilih. Kemudian opsi paling logis mengubah jadi LNG dengan skala kecil lebih mahal sementara konsumen barat sudah terbiasa dengan harga gas murah ini yang perlu diluruskan,” jelas Komaidi.

Salah satu alat yang bisa dimanfaatkan adalah keterlibatan badan usaha baik milik pemerintah maupun swasta yang memiliki modal kuat untuk bisa mendorong pemanfaatan gas domestik.

“Badan usaha ini berperan penting dan utama serta menjadi mitra strategis pemerintah dalam penyiapan infrastruktur gas bumi dalam mendukung hilirisasi gas bumi,” katanya.
 

Exit mobile version