SulselNews

Sidang Tipikor PN Makassar: Saksi BPN Sebut Lahan Industri Sampah Makassar Masih Saling Tumpang Tindih

INILAHSULSEL.COM – Kepala Seksi Survei dan Pemetaan Badan Pertanahan Nasional (BPN), Dyah Faisal (sebelumnya disebut Dyah Faisa), mengungkapkan bahwa lahan industri sampah di Makassar masih mengalami tumpang tindih.

Menurutnya, kondisi ini menunjukkan bahwa lahan yang dibebaskan pada tahun 2012, 2013, dan 2014 mengalami masalah.

Pernyataan tersebut disampaikan oleh Dyah Faisal saat menjadi saksi di Pengadilan Tipikor Pengadilan Negeri Makassar pada Rabu (20/3/2024).

Pada awalnya, Jaksa Penuntut Umum (JPU) mempersembahkan dan menyerahkan bukti berupa peta lokasi lahan kepada majelis hakim.

Sebagai saksi, Dyah Faisal kemudian memeriksa dan memberikan komentar terhadap peta tersebut.

Dia juga menjawab beberapa pertanyaan yang diajukan oleh jaksa dan hakim ketua dalam sidang tersebut.

“Di peta, ada gambar kuning yang tumpang tindih. Apakah data garis kuning itu dalam bentuk sertifikat atau apa?” tanya jaksa Ahmad Yani.

“Ada yang bersertifikat, ada juga yang tidak bersertifikat,” jawab saksi.

Dari Berita Acara Pemeriksaan (BAP) yang ada di tangan hakim, kemudian dia menanyakan tentang garis-garis berwarna dalam peta lokasi lahan tersebut.

Baca Juga:  KPK Cegah Delapan Tersangka Pemerasan RPTKA Kemnaker ke Luar Negeri

Salah satu garis yang menjadi sorotan adalah garis kuning, yang dianggap tumpang tindih oleh jaksa dan hakim anggota.

Pertanyaan hakim terkait garis kuning menyoroti kemungkinan adanya konflik atau ketidaksesuaian dalam penentuan batas atau perencanaan lahan.

Hal ini mengindikasikan bahwa masalah tumpang tindih lahan menjadi perhatian serius dalam sidang tersebut, dan mungkin menjadi salah satu fokus utama pembahasan selama persidangan.

“Garis kuning ini yang tumpang tindih, apakah ini tanah bermasalah? Menurut Anda selaku Kasi (Survei dan pemetaan),” tanya Hakim Anggota Farid.

“(Saksi mengangguk) ya,” jawabnya.

Dyah sebelumnya juga mengungkapkan bahwa sekitar 150 sertifikat lahan industri sampah di Makassar masih atas nama orang lain.

Menurutnya, hal ini menunjukkan bahwa lahan yang telah dibebaskan tersebut belum sepenuhnya menjadi milik Pemerintah Kota (Pemkot) Makassar.

Pernyataan ini mengisyaratkan bahwa ada masalah dalam proses pengalihan kepemilikan lahan tersebut kepada pemerintah setempat.

Baca Juga:  Dedi Mulyadi Instruksikan Pemprov tak Tanggung Biaya RS bagi Pelajar Korban Tawuran

Kemungkinan adanya kepemilikan lahan yang masih tercatat atas nama individu atau pihak lain dapat menghambat atau menimbulkan kendala dalam penggunaan atau pengelolaan lahan industri sampah oleh pemerintah kota.

Hal ini menjadi perhatian serius dalam upaya menyelesaikan masalah tumpang tindih lahan di Makassar.

“Belum (tercatat sebagai hak milik pemkot),” jawab Dyah.

Untuk diketahui, mantan Kabag Pemerintahan Pemerintah Kota Makassar, Sabri, menjadi terdakwa dalam kasus korupsi pembebasan lahan untuk proyek industri sampah menjadi energi listrik di Tamalanrea, Makassar, yang terjadi pada tahun 2012, 2013, dan 2014.

Ia dinyatakan bersalah karena mengadakan pembebasan lahan tanpa dokumen memadai dan tanpa melibatkan beberapa pihak berwenang yang seharusnya terlibat dalam proses tersebut.

“Tidak adanya penelitian mengenai status hukum tanah yang haknya akan dilepaskan atau diserahkan dan dokumen yang mendukungnya, tidak adanya lembaga penilai harga tanah, tidak melibatkan panitia pengadaan tanah sebagaimana Keputusan Walikota Makassar Nomor: 590.05/452/Kep/III/2012 tanggal 8 Maret 2012, tentang Pembentukan Panitia Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan Umum di Kota Makassar Tahun Anggaran 2012, khususnya pihak Kepala Kantor Pertanahan Kota Makassar,” demikian dakwaan JPU seperti dikutip dari Sistem Informasi Penelusuran Perkara (SIPP) PN Makassar, Minggu (3/3/2024) lalu.

Baca Juga:  Ukraina-Rusia Sepakati Pertukaran Ribuan Jenazah dan Tahanan Perang

“Akibat perbuatan Terdakwa Sabri bersama-sama dengan Muh. Yarman, M Iskandar Lewa, Abdullah Syukur Dasman, dan Abd Rahim secara melawan hukum mengakibatkan kerugian negara sebesar Rp 45.718.800.000 (sekitar Rp 45 miliar),” tandas jaksa.

Pada sidang sebelumnya, pihak BPN turut hadir dalam proses lanjutan kasus korupsi ini. Mantan Kepala BPN Makassar, Nahri, mengungkapkan bahwa ia sama sekali tidak mengetahui adanya pembebasan lahan.

Selain itu, ia juga menegaskan bahwa dirinya tidak pernah terlibat dalam panitia pengadaan tanah, dan mencatat bahwa tanda tangan dan namanya pada SK panitia pengadaan tanah tersebut merupakan hasil pemalsuan.

Back to top button