News

Siapakah Bishara Bahbah, Mediator Jalur Belakang Hamas dan Pemerintah AS?


Bishara Bahbah seorang akademisi Palestina-Amerika dan pendukung lama hak-hak Palestina secara tak terduga berperan besar dalam negosiasi jalur belakang antara Hamas dan pemerintah AS di tengah perang Israel di Gaza.

Meskipun ia tidak memegang jabatan diplomatik resmi, Bahbah telah muncul sebagai titik kontak utama antara kedua belah pihak dan membantu memfasilitasi pembebasan tawanan AS-Israel Edan Alexander.

Menurut Bahbah, peran itu datang kepadanya secara tidak sengaja ketika, pada bulan April, ia menerima panggilan telepon dari pejabat senior Hamas, Ghazi Hamad, yang memintanya menyampaikan pesan kepada pejabat Amerika. “Itulah yang saya lakukan,” kata Bahbah kepada Channel 12 Israel dalam sebuah wawancara minggu lalu.

Keterlibatannya membantu mengarah pada pembicaraan rahasia selama lebih dari sebulan antara Hamas dan utusan AS Steve Witkoff, yang menghasilkan pembebasan Alexander pada 12 Mei.

Presiden AS Donald Trump memuji perkembangan ini sebagai sebuah kesuksesan yang monumental. Sementara Hamas dilaporkan berharap hal ini akan mendorong Washington untuk menekan Israel agar menyetujui gencatan senjata.

Bahbah sejak itu menjadi perantara utama Hamas dalam serangkaian negosiasi tidak resmi yang melibatkan AS, Israel, dan pimpinan politik kelompok tersebut. Menurut laporan Axios, kontak lanjutan Witkoff dengan Hamas masih dilakukan melalui Bahbah, di bawah instruksi langsung Trump.

Baca Juga:  Belasan Ribu Pecalang Tolak Kehadiran Preman Berkedok Ormas di Bali

Pendukung Solusi Dua Negara

Lahir pada 1958 di Yerusalem Timur yang diduduki, keluarga Bahbah melarikan diri ke Yordania selama Nakba pada 1948 dan kemudian menetap secara permanen di Amerika Serikat pada 1970-an.

Setelah menyelesaikan gelar PhD bidang keuangan di Harvard, tempat ia kemudian mengajar dan menjabat sebagai direktur asosiasi di Middle East Institute, Bahbah memulai karier yang menggabungkan keuangan, analisis politik, dan advokasi Palestina. Meskipun membangun kehidupan di AS, Bahbah tidak pernah goyah dalam hubungannya dengan tanah airnya.

“Ini akan selalu menjadi rumah saya, di mana pun saya tinggal,” katanya kepada Arab News  dalam sebuah wawancara tahun 2018. “Anak-anak saya lahir di AS, tetapi saya mendaftarkan mereka di UNRWA. Ketika saya meninggal, saya ingin UNRWA menyatakan bahwa kami adalah orang Palestina. Itu hak abadi kami.”

Ia merupakan bagian dari delegasi Palestina dalam perundingan damai Arab-Israel tahun 1992–1993 dan tetap menjadi pendukung vokal solusi dua negara. Namun, dalam beberapa tahun terakhir, afiliasi politiknya telah berubah.

Baca Juga:  Jerman Disebut telah Membangun Kembali Tembok Berlin

Bahbah, yang dulunya pemilih Demokrat, memutuskan hubungan dengan partai tersebut karena penanganan mantan Presiden Joe Biden terhadap perang di Gaza. “Saya menjadi seorang Republikan. Kita sudah muak dengan Joe Biden dan keterlibatannya dalam genosida terhadap rakyat Palestina di Gaza,” katanya dalam wawancara dengan TRT World pada Juni 2024 menjelang pemilu AS.

Frustrasi dengan apa yang disebutnya “janji-janji kosong” oleh Biden dan Wakil Presiden Kamala Harris, Bahbah bergabung dengan kampanye Trump pada bulan Mei 2024 setelah diundang untuk membantu membentuk komite aksi politik, ‘Warga Arab Amerika untuk Amerika yang Lebih Baik’.

Dia kemudian mendirikan dan memimpin ‘Arab Americans for Trump’, sebuah platform yang membantu meningkatkan jumlah pemilih Partai Republik di wilayah mayoritas Arab di Michigan dan merupakan salah satu negara bagian penting dalam pemilihan kembali Trump.

Bahbah telah bekerja sama erat dengan utusan khusus Trump, Richard Grenell dan pengusaha Lebanon-Amerika Massad Boulos, ayah mertua putri Donald Trump, Tiffany, dan penghubung utama dengan komunitas Arab-Amerika.

Seorang Kritikus dari Dalam

Meskipun merupakan pendukung setia Trump, Bahbah tidak malu mengkritik kebijakan presiden secara terbuka ketika usulan tersebut melewati batas. Ia menentang keras pernyataan kontroversial Trump pada 5 Februari, di mana presiden mengusulkan untuk mengubah Gaza menjadi “Riviera Timur Tengah” dengan mengusir penduduknya.

Baca Juga:  14 Rumah di Kaltim Tertimbun Longsor Bekas Tambang Ilegal, 4 Orang Terluka

“Ide-ide presiden sama sekali tidak dapat diterima. Gaza adalah milik Palestina – bukan tanah milik yang dapat diperjualbelikan,” kata Bahbah dalam sebuah posting di X. Sebagai tanggapan, ia mengubah nama organisasinya dari ‘Arab Amerika untuk Trump’ menjadi ‘Arab Amerika untuk Perdamaian’, yang menandakan penekanan baru pada resolusi diplomatik.

Meski begitu, Bahbah tetap menjaga hubungannya dengan pemerintahan Trump dan terus mendesak gencatan senjata, pemulihan bantuan kemanusiaan, dan transisi pemerintahan di Gaza ke Otoritas Palestina.

Ia berperan penting dalam merancang surat ucapan selamat yang dikirim Presiden Palestina Mahmoud Abbas kepada Trump setelah terpilihnya kembali, sebuah isyarat yang berujung pada panggilan telepon langsung pertama antara kedua pemimpin tersebut.

Bahbah juga menyambut baik gencatan senjata 19 Januari di Gaza, yang ia bantu mediasi secara informal, meskipun akhirnya dipatahkan oleh tindakan militer Israel pada 18 Maret.

Back to top button