Tak sedang bercanda, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Bahlil Lahadalia bakal mengalihkan impor bahan bakar minyak (BBM) dari Singapura ke Amerika Serikat (AS). Lho kenapa?
Saat ini, kata Menteri Bahlil, alokasi impor BBM dari Singapura berada di kisaran 54 persen hingga 59 persen. Rencananya akan diganti BBM asal AS.
“Setelah saya cek, kok harganya sama dibandingkan dengan dari negara Middle East. Ya, kalau begitu kita mulai berpikir, kita akan mengambil minyak dari negara lain yang bukan dari negara itu,” kata Menteri Bahlil di Jakarta, dikutip Senin (12/5/2025).
Kata Menteri Bahlil, harga BBM asal Singapura cenderung sama dengan harga BBM dari Timur Tengah (Timteng). Seharusnya, Singapura sebagai negara tetangga menerapkan tarif yang lebih murah dibandingkan BBM dari Timur Tengah. Logikanya, ongkos pengiriman lebih murah.
“Justru harusnya lebih murah dong. Masa barangnya lebih dekat, jualnya lebih mahal. Tidak hanya itu, ini ada persoalan geopolitik, geoekonomi. Kita kan harus juga membuat keseimbangan bagi yang lain,” jelasnya.
Ketua Umum Partai Golkar ini, memastikan, pengalihan impor BBM dari Singapura ini, dilakukan bertahap. Pelan-pelan dikurangi 50 persen kemudian meningkat hingga 0 persen. Jika tak ada aral, pengalihan impor BBM ini, dimulai 6 bulan lagi atau sekitar November 2025.
Saat ini, kata Menteri Bahlil, Pertamina tengah membangun sejumlah dermaga untuk bersandarnya kapal tanker yang membawa BBM impor berkapasitas besar asal AS atau Timteng. Selama ini, BBM impor asal Singapura diangkut menggunakan kapal kecil.
“Jadi kita membangun yang besar, supaya satu kali angkut, enggak ada masalah. Maka, pelabuhannya yang diperbesar, dan kedalamannya harus dijaga,” tuturnya.
Sebelumnya, pengamat ekonomi energi dari Universitas Gadjah Mada (UGM), Fahmy Radhi mengatakan, kebijakan impor minyak mentah dan BBM asal AS atau Timteng, harus benar-benar dihitung untung dan ruginya. Jangan sampai pengalihan importasi baik minyak mentah maupun BBM, justru menambah biaya.
Dia mengatakan, importasi minyak mentah dan BBM dari AS, belum tentu sesuai dengan kilang minyak milik Pertamina. Di mana, AS belum mampu menyediakan Pertalite sehingga harus diblending dulu di kilang Pertamina.
“Karena Pertalite tidak dijual di AS. Masalah lain, harga impor minyak mentah dari AS, bisa lebih mahal ketimbang Singapura. Karena ada biaya logistik yang lebih mahal karena jarak Indonesia dengan AS, cukup jauh,” imbuhnya.
Dikatakan mantan Anggota Tim Anti Mafia Migas itu, pemerintah jangan terlalu memaksakan untuk mengimpor minyak mentah dan BBM dari AS.
Perlu dipastikan dulu spesifikasi minyak mentah milik AS apakah sesuai dengan kilang milik Pertamina. Sehingga proses blending untuk menghasilkan Pertalite, tidak menimbulkan ongkos tambahan. “Dan, harga impor dari AS, minimal sama dengan harga impor dari minyak dari Singapura,” kata Fahmy.