Selain Tas Hitam, Harun Masiku Juga Titip Koper Abu-abu Isi Rp850 Juta di Rumah Aspirasi Hasto

Jaksa Penuntut Umum (JPU) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) bukan cuma mencecar staf Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto, Kusnadi, terkait titipan tas hitam berisi uang yang dititipi Harun Masiku di DPP PDIP. Turut juga dikorek soal koper berwarna abu-abu diduga berisi uang Rp850 juta.
Awalnya, jaksa mencecar Kusnadi soal titipan tas ransel hitam dari Harun di Kantor DPP PDIP, Jalan Diponegoro. Kemudian, jaksa menelisik pertemuan Kusnadi dengan Harun selanjutnya, yakni saat Harun ingin menemui kader PDIP, Saeful Bahri, di Rumah Aspirasi, Jalan Sutan Syahrir No. 12A—kantor yang kerap digunakan oleh Hasto—pada akhir 2019 untuk menyerahkan sebuah koper.
“Pagi-pagi di situ ada orang buka pintu pak di situ, yang ternyata itu Pak Harun,” kata Kusnadi dalam sidang di Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat, Kamis (8/5/2025).
“Apa yang disampaikan?” tanya jaksa.
“Yang disampaikan mau ketemu Pak Saeful,” jawab Kusnadi.
“Itu di Rumah Aspirasi ya?” tanya jaksa.
“Di Rumah Aspirasi,” sahut Kusnadi.
“Di akhir Desember 2019, Pak Harun kemudian mau ketemu siapa?,” tanya Jaksa.
“Saeful,” jawab Kusnadi.
“Keperluannya apa?,” tanya jaksa.
“Mau menitipkan barang,” kata Kusnadi.
“Barang apa yang dititipkan?,” tanya Jaksa.
“Seingat saya koper,” jawabnya.
“Warnanya apa?,” tanya Jaksa
“Warnanya kalau nggak salah abu-abu,” ungkap Kusnadi.
Namun, koper yang dititipkan Harun kepada Kusnadi itu tidak diambil langsung oleh Saeful, melainkan oleh orang kepercayaannya, Patrick Gerrard Masoko alias Gerry. Gerry juga telah memberikan keterangan pada Jumat (25/4/2025).
“Oh gitu, janjian sama Saeful di Rumah Aspirasi. Bertemu nggak dengan Saeful?” tanya jaksa.
“Nggak bertemu, Pak,” jawab Kusnadi.
“Terus bagaimana nasib kopernya tadi?,” tanya jaksa.
“Saya lagi merokok di situ, Pak Harun main HP, tak tik tak tik, nggak tahu itu mungkin janjian atau apa. Terus selang berapa menit dia baru ngomong ke saya, ‘Mas, ini ada titipan dari saya buat Saeful. Saya sudah komunikasi.’ Tapi dia kayaknya juga nggak bisa ke sini. ‘Saya buru-buru juga, Mas, tapi sudah komunikasi saya sama Saefulnya. Nanti mau diambil sama stafnya.’” jelas Kusnadi.
“Menyebutkan nama nggak siapa staf yang kemudian mengambil?,” tanya jaksa.
“Kalau nggak salah Gerry,” kata Kusnadi.
“Kemudian disampaikan nggak berapa lama Gerry akan mengambil tas itu?,” tanya jaksa.
“Agak lama, Pak,” jawab Kusnadi.
“Berapa jam setelah dititipkan tadi?,” tanya Jaksa.
“Satu jam lebih pokoknya, Pak,” jawab Kusnadi.
“Kemudian saudara serahkan pada Gerry?,” tanya Jaksa.
“Iya, sama Gerry,” jawab Kusnadi.
“Kalau nggak salah, seingat saya itu setelah Dzuhuran,” tambah Kusnadi.
“Di BAP jam 12.30 WIB, betul?” tanya jaksa.
“Betul,” sahut Kusnadi.
Kusnadi mengaku tidak mengetahui isi koper tersebut karena koper dalam kondisi terkunci dan Harun Masiku tidak menjelaskan isinya.
“Saudara tahu nggak isinya koper itu?” tanya jaksa.
“Saya nggak tahu, Pak.” jawab Kusnadi.
“Uang bukan isinya?,” tanya jaksa.
“Ya saya nggak tahu,” ujar Kusnadi.
“Ini koper dikunci. Apakah Pak Harun sempat menyampaikan ini isinya uang?”
“Nggak,” jawab Kusnadi.
Dalam kasus ini, Hasto didakwa menghalangi penyidikan KPK sebagaimana diatur dalam Pasal 21 UU RI Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001, serta Pasal 65 Ayat (1) KUHP.
Jaksa menyebut Hasto memerintahkan Harun Masiku untuk menenggelamkan ponselnya saat operasi tangkap tangan (OTT) KPK pada 2020, serta meminta Kusnadi membuang ponselnya saat Hasto diperiksa di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta Selatan, pada Juni 2024.
Selain itu, Hasto juga didakwa terlibat dalam pemberian suap sebesar Rp600 juta kepada mantan Komisioner KPU, Wahyu Setiawan. Suap itu diberikan oleh Donny Tri Istiqomah, Saeful Bahri, dan Harun Masiku melalui mantan anggota Bawaslu, Agustiani Tio Fridelina.
Menurut jaksa, suap tersebut bertujuan agar Harun Masiku ditetapkan sebagai anggota DPR RI periode 2019–2024 melalui mekanisme pergantian antarwaktu (PAW).
Atas perbuatannya, Hasto didakwa melanggar Pasal 5 Ayat (1) huruf a UU RI Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001, serta Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP jo Pasal 64 Ayat (1) KUHP.