Risiko Medis Kerap Dianggap Malpraktik, Perlu Ada Revisi Regulasi agar tak Jadi Momok Dokter

Pengamat hukum dari Universitas Bung Karno menilai permasalahan malpraktik dalam dunia medis perlu diakomodasi dalam RUU KUHAP. Sebab, hal ini menjadi momok kalangan dokter dalam menjalankan tugasnya.
“Salah satunya itu ke depan kalau bisa kan dibentuk hukum apakah KUHP baru, hukum acara (KUHAP) baru tuh, masalah terkait medis,” kata Hudi melalui keterangannya di Jakarta, dikutip Senin (30/6/2025).
Diharapkan melalui revisi peraturan hukum, dapat dipisahkan sekaligus memberi batas jelas soal hal-hal yang berkaitan dengan risiko kesehatan dan mana yang berkaitan dengan malpraktik.
“Kalau yang namanya malpraktik itu misalnya ini spesialis paru, yang sakit paru harusnya ditangani spesialis paru tapi dikasih spesialis jantung, misalnya. Itu baru ada malpraktiknya, itu baru ada ranah pidananya di pihak kepolisian. Tapi kalau ada spesialis paru, dokter hanya berusaha semampunya. Tidak ada mens rea (niat jahat),” katanya.
Brigadir Jenderal TNI dr. Amin Ibrizatun, M.A.R.S., M.H., seorang purnawirawan TNI AD yang terakhir menjabat sebagai Wakil Dekan Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Unhan, juga menyoroti polemik dalam kasus malpraktik tersebut.
Menurutnya, banyak kasus yang diusut pihak kepolisian dianggap sebagai malpraktik, padahal bisa saja kasus tersebut berkaitan dengan risiko kesehatan.
“Nah, ini sebenarnya bukan kesalahan pada kami. Jadi itu bukan malpraktik. Tetapi risiko medis. Nah, hanya saja masyarakat, kalau polisi sudah turun tangan, dia dalam pikirannya pasti salah,” ucap Ibrizatun dalam kesempatan yang sama.
Ia juga menyoroti adanya tumpang tindih antara Majelis Kehormatan Etik Kedokteran (MKEK) di tingkat Ikatan Dokter Indonesia (IDI) dan pihak kepolisian dalam menangani perkara medis di ranah etik dan pidana.
“Kepada kode etiknya itu bukan sekadar kode etik. Akan dilihat secara profesi dokter, apakah dia melakukan pelanggaran berdasarkan yang sudah ditentukan. Kalau memang tidak, berarti dia tidak bisa dimasukkan ke dalam delik (pidana),” tuturnya.
Sekadar catatan, polemik antara malpraktik dan risiko medis dalam dunia kesehatan memang kerap menjadi sorotan, terutama saat terjadi kasus-kasus yang menimbulkan kerugian pada pasien. Malpraktik merujuk pada tindakan kelalaian atau kesalahan oleh tenaga medis yang seharusnya tidak terjadi, sedangkan risiko medis adalah konsekuensi yang mungkin timbul dari tindakan medis — baik disengaja maupun tidak — yang bisa berdampak negatif pada pasien. Perbedaan utama terletak pada unsur kesengajaan atau kelalaian dalam malpraktik, sedangkan risiko medis lebih kepada kemungkinan terjadinya efek samping atau komplikasi yang tidak sepenuhnya bisa dihindari.
Salah satu kasus yang pernah menjadi sorotan adalah kasus dr. Dewa Ayu Sasiari Prawani. Mahkamah Agung mengabulkan permohonan Peninjauan Kembali (PK) yang diajukan dr. Dewa Ayu Sasiari Prawani dan kawan-kawan, sehingga mereka bebas dari hukuman penjara 10 bulan.
“Majelis PK mengabulkan permohonan PK dr. Ayu dkk. Menyatakan pemohon PK tidak menyalahi SOP dalam menangani operasi cieto cisaria,” kata Kepala Biro Hukum dan Humas MA, Ridwan Mansur, di Jakarta, Jumat 7 Februari 2014.
Ridwan mengungkapkan bahwa putusan PK ini diketok pada hari itu juga oleh majelis hakim yang terdiri dari Prof. Dr. Surya Jaya, Dr. Saripudin, Dr. Margono, Maruap Pasaribu, dan Dr. Mohammad Saleh.
Ia menyebut majelis PK juga memerintahkan agar para terpidana dikeluarkan dari lembaga pemasyarakatan dan memulihkan nama baik mereka.
“Membatalkan putusan yudex yurist (putusan kasasi) dan menyatakan pertimbangan yudex facti (pengadilan negeri) sudah tepat dan benar,” ungkap Ridwan Mansur.
Dalam putusan kasasi sebelumnya, Mahkamah Agung menghukum dokter Dewa Ayu Sasiari Prawani, dokter Hendry Simanjuntak, dan dokter Hendy Siagian dengan hukuman penjara 10 bulan karena dinilai melakukan kealpaan yang menyebabkan orang meninggal dunia.
Kasus ini bermula dari dugaan malpraktik saat operasi caesar terhadap pasien Siska Makatey yang dirawat di Rumah Sakit Umum Kandouw Malalayang, Manado. Pasien tersebut meninggal dunia akibat dugaan salah penanganan oleh ketiga dokter tersebut.
Pengadilan Negeri Manado sebelumnya membebaskan para terdakwa, namun putusan kasasi MA yang diketuai Hakim Agung Artidjo Alkostar menyatakan sebaliknya. Setelah putusan itu, ketiga dokter mengajukan PK, dan hasilnya dikabulkan, sehingga mereka akhirnya dapat menghirup udara bebas.