Pengamat hukum dari Universitas Bung Karno (UBK), Hudi Yusuf, menilai pelaku pencurian dengan motif kebutuhan ekonomi seharusnya dapat diselesaikan melalui mekanisme restorative justice (RJ) dalam proses penyidikan.
Hudi menjelaskan, tidak semua pelaku kasus pencurian dapat diperlakukan dengan sanski sama. Motif di balik tindakan tersebut harus menjadi pertimbangan utama.
“Ada sebab mencuri misalnya buat hura-hura. Ada sebab mencuri karena kejiwaan. Ya karena hobi mencuri itu klepto kan. Atau juga ada sebab mencuri karena kebutuhan. Nah kalau menurut teori Hans Kelsen kan berarti tiga-tiganya 4 tahun penjara,” kata Hudi melalui keterangannya di Jakarta, Minggu (29/6/2025).
Oleh karena itu, kata dia, aparat penegak hukum seperti kepolisian perlu mengusut motif pelaku sebelum melanjutkan proses hukum. Jika pencurian dilakukan karena alasan ekonomi, maka Hudi menilai layak diselesaikan melalui RJ.
“Kalau enggak mencuri dia tidak bisa makan atau istrinya tidak terobati. Nah yang begini kan akan berbeda nih. Dengan yang mencuri karena hobi. Mencuri karena buat hura-hura. Ini penting nih di RJ nih,” ujarnya.
Menurut Hudi, pendekatan RJ terhadap kasus pencurian bermotif ekonomi perlu menjadi perhatian serius pemerintah dan aparat penegak hukum. Ia pun menyinggung Pasal 34 ayat 1 UUD 1945 yang menyatakan bahwa fakir miskin dan anak-anak terlantar dipelihara oleh negara. Maka dari itu, menurutnya kasus pencurian harus di RJ dalam proses penyidikan tidak perlu melewati proses panjang melalui jalur pengadilan terlebih dahulu.
“Cuma kan sayang nih kalau sampai ke pengadilan harus mendekam di penjara dulu nih. Yang kita sayangkan kan itu. Seharusnya kalau mencuri itu langsung tuh di RJ aja,” tutur Hudi.
Namun demikian, dia menekankan, asas keadilan bagi korban tetap harus diperhatikan dalam penerapan RJ, terutama bagi korban pencurian yang mengalami kerugian materiil.
“Sehingga itu menjadi kerugian korban itu hanya puas di hati aja bahwa pelakunya sudah di penjara, sudah puas. Tapi kan secara materi ada kerugian. Dan itu yang tidak pernah diselesaikan selama ini dalam hal tindak pidana tadi,” ucapnya.
Sebagai informasi, restorative justice (RJ) atau keadilan restoratif di luar pengadilan adalah pendekatan penyelesaian perkara pidana yang menitikberatkan pada pemulihan hubungan antara pelaku, korban, keluarga mereka, dan pihak terkait lainnya. Tujuannya adalah mencapai kesepakatan yang adil dan memuaskan semua pihak, berbeda dengan sistem peradilan pidana konvensional yang menekankan pada hukuman.
Apa yang disampaikan Hudi selara dengan Plt Wakil Jaksa Agung RI, Asep N Mulyana. Dia mengakui bahwa lembaganya menjadi salah satu penyumbang permasalahan overkapasitas penjara. Ia menyebut Korps Adhyaksa seringkali tetap memproses perkara-perkara sepele yang berujung hukuman pidana penjara.
Hal tersebut ia sampaikan dalam seminar nasional di UIN Ar-Raniry, Banda Aceh, Rabu (25/6/2025). Asep menjelaskan bahwa alasan jaksa tetap memproses perkara kecil kerap berkaitan dengan jenis delik yang bukan delik aduan.
Ia mencontohkan kasus pencurian sandal. Menurutnya, jika pihak-pihak yang terlibat sudah berdamai, maka tidak perlu dilanjutkan ke proses hukum formal.
“Maka kalau pihak sudah bersepakat, saya sama Pak Rektor sudah cipika-cipiki, sendalnya sudah saya kembaliin ke Pak Rektor, selesai di situ. Itu disebut dengan keadilan restoratif,” jelas Asep.
Ia menambahkan, banyaknya perkara ringan yang diproses hingga ke pengadilan berkontribusi pada penumpukan perkara dan kelebihan kapasitas lembaga pemasyarakatan.
“Makanya perkara numpuk bisa sampai segini, karena sering kali masalah remeh-temeh kemudian diproses, dimasukkan ke peradilan, dan lebih celakanya lagi dihukum penjara. Makanya kalau hari ini bapak ibu melihat ada overcapacity, gara-gara kami-kami ini jaksa terutama, paradigmanya paradigma retributif,” ucap Asep.
Sebagai informasi, situs Sistem Database Pemasyarakatan (SDP) Ditjenpas mencatat jumlah penghuni rutan, lapas, dan LPP di Indonesia telah melebihi kapasitas yang tersedia. Penambahan kapasitas tidak sebanding dengan peningkatan jumlah tahanan dan narapidana.
Contohnya, jumlah penghuni lapas pada 2015 sebanyak 120.309 orang. Pada 19 November 2024, angka ini meningkat hampir 70 ribu, sementara kapasitas hanya bertambah sekitar 11 ribu. Akibatnya, jumlah penghuni hampir dua kali lipat dari kapasitas.
Hal serupa terjadi di rutan, di mana jumlah penghuni meningkat 24.828 orang selama 2015–2024, sementara kapasitas hanya bertambah untuk 3.886 orang.