Putusan MK soal Pemilu Jadi Polemik, PKB: UUD tak Atur Pemilu Nasional dan Lokal


Ketua Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) DPR RI Jazilul Fawaid mengaku masih belum paham dengan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang memisahkan antara Pemilu nasional dan lokal. Sebab dalam Undang-Undang Dasar (UUD) tidak mengatur soal dua istilah tersebut.

“Itu setahu saya, di undang-undang dasar itu enggak ada Pemilu nasional dan pemilu daerah. Pemilu nasional diikuti oleh Presiden, DPR RI, dan DPD. Pemilu daerah DPRD tingkat 2, DPRD Provinsi, Gubernur, Bupati Wali Kota,” kata Jazilul dalam diskusi yang digelar PKB di Gedung DPR RI Senayan, Jakarta Pusat, Jumat (4/7/2025).

Lebih lanjut, dia pun menyayangkan dengan potensi perpanjangan masa jabatan anggota DPRD selama dua atau dua tahun setengah imbas putusan tersebut.

“Saya, fraksi PKB DPR RI tentu enggak menolak, karena kalau saya tanya kepada anggota DPRD PKB, setuju semua itu. Tapi masalahnya, ini bukan soal enak enggak enak, soal setuju enggak setuju, tapi desain pemilu yang seringkali berubah-ubah, dan juga drastis yang paling banyak mengubah itu MK,” ujarnya.

Jazilul mengungkapkan MK seringkali mengubah-ubah frasa mulai dari persoalan batas usia calon Presiden dan Wakil Presiden, Presidensial Threshold, sampai pemisahan pemilu saat ini.

“Dengan alasan capek katanya. Makanya ada anggota DPRD tingkat II PKB tanya ke saya, Pak Jazil jangan diubah ini, karena saya dapet bonus 2 tahun. Oh enggak ada yang bisa mengubah di negeri ini. Ini sudah keputusan Mahkamah Konstitusi,” jelas Jazilul.

Namun seharusnya dengan kapasitas dan pengalaman Sembilan hakim konstitusi saat ini bisa mengeluarkan putusan yang tidak membingungkan.

“Saya tidak mengatakan final and binding, kemudian kita tidak akui. Tapi kontroversi. Dan itu muncul di mahkamah yang disitu putusannya enggak bisa lagi dibanding lagi. Sudah final, tapi kontroversi,” tegasnya.

Sebagai informasi, Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan penyelenggaraan pemilihan umum (pemilu) nasional dan daerah dipisahkan dengan jeda waktu paling singkat dua tahun atau paling lama dua tahun dan enam bulan.

Pemilu nasional antara lain pemilihan anggota DPR, DPD, serta presiden dan wakil presiden, sementara pemilu daerah terdiri atas pemilihan anggota DPRD provinsi, DPRD kabupaten/kota, serta kepala dan wakil daerah.

“Mengabulkan permohonan pemohon untuk sebagian,” kata Ketua MK Suhartoyo membacakan amar Putusan Nomor 135/PUU-XXII/2024 di Ruang Sidang Pleno MK, Jakarta, Kamis (26/6/2026).

Dalam hal ini, MK mengabulkan sebagian permohonan yang diajukan oleh Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) yang diwakili oleh Ketua Pengurus Yayasan Perludem Khoirunnisa Nur Agustyati dan Bendahara Pengurus Yayasan Perludem Irmalidarti.

Secara lebih perinci, MK menyatakan Pasal 167 ayat (3) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia (UUD NRI) Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat, sepanjang ke depan tidak dimaknai menjadi:

“Pemungutan suara dilaksanakan secara serentak untuk memilih anggota DPR, anggota DPD, presiden/wakil presiden, dan setelahnya dalam waktu paling singkat dua tahun atau paling lama dua tahun enam bulan sejak pelantikan anggota DPR dan anggota DPD atau sejak pelantikan presiden/wakil presiden dilaksanakan pemungutan suara secara serentak untuk memilih anggota DPRD provinsi, anggota DPRD kabupaten/kota, dan gubernur/wakil gubernur, bupati/wakil bupati, dan wali kota/wakil wali kota pada hari libur atau hari yang diliburkan secara nasional.”
    
 

Exit mobile version