Produksi Beras tak Meningkat Signifikan

Beberapa waktu lalu, Presiden Prabowo mengumumkan bahwa produksi beras nasional berlimpah. Klaim itu disampaikan dengan nada optimistis, seolah panen tahun ini bisa menjadi titik balik kedaulatan pangan Indonesia. Tapi seperti biasa, euforia semacam ini sering kali muncul tanpa disertai uraian data yang jernih dan utuh.
Dalam pidatonya, Presiden juga menyinggung rencana ekspor beras ke luar negeri. Pernyataan ini langsung menimbulkan tanda tanya besar. Apakah kita memang sudah benar-benar surplus? Apakah stok dalam negeri benar-benar aman? Atau hanya sedang dalam kondisi penuh karena sisa-sisa impor tahun lalu?
Produksi beras memang naik jika dibandingkan dengan tahun 2024. Tapi tahun itu adalah periode pemulihan pasca-El Niño yang menghantam pertanian sejak pertengahan 2023. Bandingannya tidak setara. Tahun 2024 bukanlah patokan yang ideal untuk menilai keberhasilan produksi tahun ini.
Jika dibandingkan dengan tahun 2023—yang juga terdampak El Niño—produksi gabah tahun ini pun nyaris stagnan. Berdasarkan data BPS, pada Januari–Juni 2023, produksi gabah kering giling (GKG) mencapai 32,35 juta ton. Tahun 2025, pada periode yang sama, hanya naik tipis ke angka 32,58 juta ton. Satu persen pun tak sampai.
Di Balik Klaim Melimpah: Impor dan Stok Lama
Dengan peningkatan produksi yang sangat kecil, narasi “produksi melimpah” menjadi tampak janggal. Lebih masuk akal jika disebut “stok melimpah”, itu pun karena impor besar-besaran yang dilakukan dalam dua tahun terakhir. Tapi pemerintah tampaknya lebih senang menjual sensasi ketimbang menjelaskan realitas.
Pemerintah seperti menutup mata terhadap fakta bahwa selama dua tahun terakhir, impor beras Indonesia melonjak drastis. Tahun 2023, impor beras Indonesia mencapai sekitar 3 juta ton. Tahun 2024, jumlahnya membengkak hingga 4,5 juta ton—tertinggi dalam sejarah impor beras nasional. Angka ini menunjukkan bahwa stok beras kita saat ini bukan murni hasil panen, tapi juga akumulasi dari impor dalam jumlah besar.
Coba kita tengok lebih dalam, selisih produksi antara 2022 dan 2023 hanya sekitar 600 ribu ton. Namun, dengan selisih yang cukup sedikit, pemerintah justru mengimpor beras sebanyak jutaan ton. Padahal jika dibandingkan tahun 2022, impor beras hanya sekitar setengah juta ton. Artinya, lonjakan impor tidak selalu berkaitan dengan anjloknya produksi. Ada masalah dalam manajemen stok dan pengambilan kebijakan pangan nasional. Hal ini tentunya perlu dijelaskan lebih lanjut oleh pemerintah.
Jika stok beras kita memang melimpah karena impor, janganlah pemerintah buru-buru mengekspor. Jika surplus kita bukan karena kekuatan produksi domestik, ekspor justru bisa menimbulkan kerentanan baru di kemudian hari. Pemerintah perlu memutuskan hal ini lebih matang. Karena ketika ekspor dilakukan tanpa surplus riil, dan impor dijadikan solusi instan, maka kemandirian pangan hanya akan menjadi mitos tahunan yang dijual setiap musim panen.
Kebutuhan konsumsi beras nasional kurang lebih sekitar 31 juta ton per tahun. Untuk mengekspor, produksi harus jauh di atas angka tersebut. Kalau tidak, ekspor hanya akan mengganggu ketersediaan dalam negeri dan membuka potensi lonjakan harga di pasar lokal.
Harga Tak Turun, Legitimasi Tergerus
Celakanya, klaim produksi melimpah ini tidak diikuti oleh realitas harga. Berdasarkan data Pusat Informasi Harga Pangan Strategis (PIHPS) per 23 Mei 2025, harga beras medium justru naik 0,7 persen secara tahun berjalan (year-to-date). Secara bulanan pun tidak ada penurunan. Jika produksi dan stok betul-betul melimpah, seharusnya harga bisa melandai. Tapi faktanya tidak demikian. Ini anomali yang jelas menohok klaim pemerintah.
Kalau betul stok melimpah, kenapa harga tidak turun? Kemungkinan pertama: beras belum masuk pasar. Kemungkinan kedua: distribusinya buruk. Kemungkinan ketiga, yang lebih mengkhawatirkan: pasar dikuasai segelintir pelaku yang bisa mengatur harga. Pemerintah harus menjelaskan hal ini.
Pemerintah tampaknya lupa, bahwa harga pangan bukan sekadar soal logistik dan angka produksi. Ini soal kepercayaan publik. Ketika masyarakat mendengar bahwa produksi melimpah, mereka berharap harga turun. Tapi ketika harga tetap tinggi, narasi pemerintah langsung kehilangan legitimasi. Yang tersisa hanya kebingungan dan kekecewaan.
Pemerintah juga harus menghindari jebakan glorifikasi. Setiap tahun, kita menyaksikan siklus yang sama: panen raya, klaim surplus, lalu krisis distribusi dan kenaikan harga. Pola ini harus dihentikan. Jika tidak, rakyat hanya akan jadi penonton dari sebuah panggung retorika yang tidak pernah menyentuh dapur mereka. Dan lambat laun, kepercayaan terhadap pemerintah akan luntur.
Kita juga harus jujur bahwa krisis pangan global bukan lagi potensi, tapi kenyataan. Negara-negara produsen utama pernah menahan ekspor untuk menjaga stok dalam negeri ketika El Niño melanda. Perubahan iklim memperburuk ketidakpastian. Dalam kondisi seperti ini, keputusan untuk ekspor beras justru bisa memperlemah pertahanan pangan kita sendiri. Jangan sampai kita terjebak dalam ambisi dagang jangka pendek dan melupakan fondasi kedaulatan pangan jangka panjang.
Kebijakan pangan tidak bisa dibangun hanya dengan klaim angka-angka bombastis. Ia harus dibangun dari bawah: dari petani, dari data lapangan, dari sistem distribusi yang adil. Pemerintah perlu membalik paradigma: bukan dari yang tampil heroik di media, tapi dari yang hadir nyata di lumbung dan pasar-pasar rakyat.
Jika tidak ada koreksi arah, bukan tidak mungkin kita akan terus tersandera pada logika pangan semu: tampak melimpah di media, tapi langka di meja makan rakyat. Dan saat krisis datang, pemerintah kembali kelabakan, lalu menyalahkan cuaca, distribusi, atau “pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab”. Padahal, biang utamanya adalah kebijakan yang dibangun di atas ilusi dan abai terhadap kenyataan.