Teten: Nasib Industri Manufaktur RI Pernah Menjadi Raja, Kini Pecundang

Mungkin banyak yang tak tahu, industri manufaktur Indonesia pernah menjadi raja. Khususnya sektor sepatu olahraga menguasai 20 persen dunia. Kini hanya bisa dikenang.
Ya, betul. Kata Menteri Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah (Menkop dan UKM), Teten Masduki hanya bisa mengenang masa kejayaan manufaktur Indonesia di pertengahan 90’an.
“Dulu industri manufaktur kita, benar-benar disegani dunia. Kita pernah kuasai 20 persen industri sepatu olahraga dunia. Sekarang memprihatinkan, tersisa 2 persen,” papar Teten, Jakarta, dikutip Sabtu (12/10/2024).
Teten bercerita, Indonesia pernah sukses membangun industrialisasi besar-besaran di pertengahan 90′-an. Kala itu, prosesnya dilakukan dengan mengundang investasi asing dan relokasi industri manufaktur.
“Hanya mencari tenaga kerja, karena bahan bakunya segala macam, teknologinya dari luar,” kata Teten.
Adapun pabrik-pabrik asing ini termasuk dengan pabrik sepatu olahraga bermerek ternama dunia. Kondisi industrialisasi ini pun bahkan sempat membuat manufaktur Indonesia, menguasai 20 persen produk sepatu olahraga dunia. “Ini kan sunset industry. Kita pernah menguasai 20 persen sepatu olahraga dunia, hari ini tinggal 2 persen,” ujarnya.
Menurutnya, kondisi tersebut akan jauh berbeda apabila RI mendorong industrialisasi dengan berfokus pada hilirisasi sumber daya yang dimiliki dari dalam negeri.
“Ini saya berkeyakinan ini industri yang akan sustain, akan tumbuh. Nah jadi ini yang saya kira perlu dilakukan. Jadi bagaimana sekali lagi kita menciptakan lapangan kerja yang berkualitas,” kata dia.
Sedangkan dari sisi UMKM sendiri, menurutnya pemerintahan ke depan perlu melakukan intervensi dari sisi teknologi dan pembiayaan demi melahirkan UMKM berkelanjutan. Apalagi RI punya PR besar untuk memperbesar akses pembiayaan perbankan di lingkup UMKM yang baru mencapai 20-21%.
Teten menilai, akan lebih baik berfokus pada penciptaan lapangan kerja berkualitas ketimbang mengundang relokasi industri manufaktur asing yang membutuhkan banyak tenaga kerja. Ia juga mengingatkan agar jangan sampai peristiwa tahun ’80-’90-an itu terulang lagi.
“Kalau kita mau mengulang lagi seperti tahun ’80-an, mengundang relokasi industri manufaktur yang labor intensive. Hari ini dengan penerapan IOT di industri manufaktur, saya tidak terlalu optimis. Saya sudah lihat di Korea, di Jepang, tidak ada kepentingan mereka relokasi,” ujar Teten.
“Karena sudah sangat efisien dengan IOT smart factory. Bahkan di dalam negeri sudah ada perusahaan-perusahaan manufaktur yang menggunakan smart factory IOT yang sangat minimum membutuhkan tenaga kerja. Nah ini dari sisi produksi efisiensi bagus, tapi dari isu lapangan kerja kurang bagus,” sambungnya.