Polemik Ojol Diangkat Jadi Karyawan, Ekonom Sarankan Masuk Kategori UMKM


Sejumlah ekonom menilai usulan Pemerintah agar mitra pengemudi ojek online (ojol) dimasukkan ke dalam kategori pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) merupakan jalan tengah antara fleksibilitas dalam bekerja dan meraih manfaat langsung.

Head of Center Digital Economy and SMEs Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Izzudin Al Farras mengatakan gagasan memasukkan ojol ke kategori UMKM diharapkan dapat memberikan keuntungan bagi pengemudi untuk mempertahankan fleksibilitas yang selama ini mereka miliki.

“Jika aspek tentang kerangka kebijakan yang memastikan pengemudi ojol harus terdaftar sebagai UMKM itu ada, maka ini membuka kesempatan bagi pengemudi untuk mendapatkan benefit sebagai pelaku usaha, misalnya terkait pelatihan literasi keuangan dan literasi digital,” kata Izzudin dikutip dari keterangan resmi Grab Indonesia di Jakarta, Kamis (30/4/2025).

Selain itu, dengan menjadi bagian dari UMKM, pengemudi ojol juga bisa memperoleh manfaat dari jaminan sosial yang lebih terjamin.

Sependapat, Direktur Ekonomi Digital Center of Economic and Law Studies (Celios) Nailul Huda juga mendukung gagasan ini, dengan catatan bahwa pengaturan yang lebih tepat harus berada di bawah Kementerian UMKM.

“Atas dasar itu pula, bentuk kemitraan tidak boleh seperti tenaga kerja yang mengharuskan bekerja sekian jam dan sebagainya. Aturan juga harus dibuat bersama dengan asosiasi driver dengan konsep setara, termasuk tarif,” imbuhnya.

Sedangkan, soal usulan menjadikan para pengemudi ojol sebagai pegawai tetap, Direktur Eksekutif Modantara Agung Yudha menilai kebijakan itu perlu dilihat dari perspektif keberlanjutan industri serta akses masyarakat terhadap pekerjaan.

“Menjadikan pengemudi ojol sebagai pekerja tetap dapat mengubah keseimbangan yang sudah ada antara fleksibilitas kerja dan akses ekonomi,” katanya.

“Jika status mereka berubah, sektor ini akan kehilangan karakter inklusivitas yang membuatnya dapat diakses oleh hampir semua orang,” imbuh Agung.

Sementara itu, Chief of Public Affairs Grab Indonesia Tirza Munusamy mengatakan kebijakan untuk menjadikan mitra sebagai pegawai tetap justru bisa merugikan ekosistem transportasi digital yang telah terbentuk.

“Jika pengemudi menjadi karyawan, maka akan ada seleksi, kuota, dan pembatasan jam kerja. Saat ini, siapa pun bisa mendaftar dan langsung bekerja tanpa batasan waktu,” katanya.

Lebih lanjut, Tirza menambahkan jika pengemudi diubah menjadi pekerja tetap, maka perusahaan akan menanggung biaya tetap yang mungkin tidak selalu sebanding dengan tingkat permintaan.

“Biaya operasional bisa melonjak, yang pada akhirnya akan berdampak pada harga layanan yang harus dibayar oleh konsumen,” ujarnya.

 

 

Exit mobile version