Perang Israel Ubah Stadion dan Pusat Hiburan jadi Tempat Penahanan dan Penyiksaan

Stadion Yarmouk, yang pernah menjadi simbol kegembiraan warga Gaza, kini tinggal puing-puing setelah dibombardir pasukan Israel, dan dipenuhi tenda-tenda pengungsi. Sementara Kota Hiburan Asdaa di Khan Yonis yang sebelumnya menjadi tempat berekreasi juga berubah menjadi salah satu kamp pengungsi terbesar.
Dengan antusiasme luar biasa, Mouin Khalil, 31 tahun menyemangati pemain Klub Palestina Al-Ahly Mohammed Barakat saat ia bersiap melakukan tendangan penalti yang menentukan melawan tim lawan di Stadion Yarmouk di pusat Kota Gaza. Suasananya semarak dengan sportivitas dan kegembiraan.
“Akankah Barakat melakukannya dan mengamankan kemenangan untuk kita?” Teman Khalil, yang duduk di sebelahnya di tribun stadion, bertanya. Dengan senyum percaya diri, Khalil menjawab, “Barakat adalah pemain berpengalaman dan pesepakbola Palestina pertama yang mencetak 100 gol. Ia pasti akan melakukannya.”
Beberapa saat kemudian, stadion bergemuruh dalam perayaan saat Barakat berhasil mencetak gol, memastikan kemenangan bagi timnya di turnamen sepak bola Liga Primer tahunan Gaza
Khalil tersadar dari kenangan indahnya, kembali ke masa sebelum perang Israel di Gaza dimulai pada 7 Oktober 2023. Kini ia mengungsi bersama keluarganya yang beranggotakan empat orang, tinggal di tenda di halaman stadion, yang telah dialihfungsikan sebagai tempat penampungan bagi keluarga yang rumahnya dihancurkan oleh Israel.
Stadion Yarmouk, yang dulunya merupakan simbol semangat gembira warga Gaza, kini hanya tinggal reruntuhan setelah dibom pasukan Israel, dipenuhi tenda-tenda yang didirikan di tengah kehancuran. Kesedihan Khalil semakin dalam setelah mendengar berita kematian pemain favoritnya, Mohammed Barakat, yang tewas dalam serangan udara Israel di rumah Barakat pada 11 Maret 2024.
“Saya telah kehilangan begitu banyak hal dalam perang ini—bukan hanya rumah saya, tetapi juga kenangan indah yang terkait dengan stadion ini. Saya tidak pernah membayangkan tempat yang penuh kegembiraan dapat berubah menjadi tempat berlindung bagi kesedihan dan ketakutan,” kata Khalil kepada The New Arab (TNA) sembari mencoba menghibur anak-anaknya yang bermain di samping tenda.
Ia berbicara lebih lanjut tentang bagaimana pasukan Israel menghancurkan sebagian tribun stadion dan meratakan lapangan hijau suburnya, yang dulunya menyerupai stadion kelas dunia.
Khalil menunjukkan bahwa lampu sorot yang dulu menerangi pertandingan sepak bola kini digunakan untuk mengamankan tenda. Tribun penonton telah berubah menjadi tempat bagi perempuan dan anak-anak, yang digunakan untuk mencuci pakaian dan piring. Ruang ganti kini menjadi area umum untuk mandi dan menyimpan barang.
Meskipun menghadapi tantangan ini, Khalil tetap memiliki semangat untuk bertahan di kamp. “Kami mencoba menyelenggarakan beberapa kegiatan rekreasi untuk anak-anak agar mereka tidak kehilangan harapan. Stadion ini adalah sumber kebahagiaan, dan saya tidak akan membiarkannya menjadi simbol kesedihan yang abadi dalam ingatan anak-anak saya,” katanya.
Menghancurkan Mimpi
Stadion Yarmouk merupakan salah satu stadion tertua di Palestina yang didirikan pada 1938. Tentara Israel pernah menggunakannya sebagai pusat penahanan dan penyiksaan bagi warga Palestina pada Desember 2023 selama invasi darat ke Kota Gaza.
‘Umm Ahmed’ yang tinggal di lingkungan Al-Rimal di pusat Kota Gaza, mengatakan kepada TNA, dengan syarat anonim, bahwa dia adalah salah satu dari puluhan pria, wanita, dan anak-anak yang dibawa ke stadion oleh tentara Israel, ditutup matanya, diinterogasi, dan dianiaya.
Dia mengatakan bahwa lapangan dan tribun stadion menjadi saksi penganiayaan tentara Israel, khususnya terhadap pria Palestina, yang ditelanjangi dan dipukuli dengan kasar. “Saya tidak menyangka akan berakhir di sini. Kami dulu datang ke stadion untuk bersenang-senang, dan sekarang kami tinggal di sana sebagai pengungsi tanpa harapan. Bahkan makanan dan air pun hampir tidak cukup,” tambahnya.
Stadion Yarmouk bukanlah satu-satunya tempat hiburan atau olahraga yang diubah menjadi pusat penyiksaan, penahanan, dan kemudian tempat berlindung. Sebagian besar stadion, pusat kebugaran, dan taman umum terkena dampak perang Israel. Sebanyak 45 klub olahraga, termasuk 7 stadion besar seperti Yarmouk, Beit Hanoun, Beit Lahia, Jabalia, dan Rafah, telah dihancurkan pasukan Israel, sementara tempat-tempat lain digunakan untuk menguburkan warga Palestina.
“Pendudukan Israel menargetkan pemuda Palestina dan impian mereka dengan menghancurkan stadion, fasilitas olahraga, dan hiburan,” kata Abdel Salam Haniyeh, Sekretaris Jenderal Dewan Tertinggi Pemuda dan Olahraga, kepada TNA.
Ia menunjukkan bahwa serangan sistematis ini bertujuan untuk mengubah wajah kehidupan di Gaza, dengan menggunakan kekerasan dan pelecehan sebagai alat menghancurkan semangat masyarakat. Ia juga menekankan bahwa pendudukan Israel berusaha, dengan menyasar stadion dan taman, untuk membuat kehidupan di Gaza menjadi mustahil setelah perang berakhir.
Lebih jauh, Haniyeh mengkritik kebungkaman dunia dalam menghadapi kejahatan ini. “Apa yang terjadi mencerminkan pengabaian total pendudukan [Israel] terhadap hukum internasional yang melindungi hak asasi manusia, menjaga martabat manusia, dan melarang penargetan fasilitas publik dan properti pribadi,” katanya.
Nasib Kota Hiburan
Di kota Khan Younis di Jalur Gaza selatan, ‘Kota Hiburan Asdaa’, yang selalu menjadi tempat berkumpul keluarga untuk bersenang-senang dan berekreasi pada hari libur mingguan, telah berubah menjadi salah satu kamp pengungsi terbesar. Kota Asdaa didirikan di atas lahan seluas sekitar 1 km2 dan mencakup ruang hijau yang luas, permainan air, dan kebun binatang.
Raafat Al-Najjar, 51 tahun, terpaksa mendirikan tendanya di kota Asdaa setelah melarikan diri dari desa Al-Zana, yang terletak di sebelah timur Khan Younis, setelah diserbu dan dihancurkan sepenuhnya oleh tentara Israel.
Al-Najjar menganggap pengungsian sebagai salah satu pengalaman terberat yang dihadapi seseorang. “Tidak pernah terpikir bahwa kami akan mencapai tahap kehidupan primitif yang keras ini,” katanya kepada TNA.
Ia menunjukkan tantangan besar yang dihadapi para pengungsi di kota Asdaa, karena kota itu dirancang sebagai tempat untuk hiburan dan perjalanan singkat, bukan untuk tempat berlindung jangka panjang.
“Kami biasa mengunjungi Asdaa untuk menghabiskan liburan bersama keluarga, dan kini bulan demi bulan telah berlalu, dan kami terjebak di tempat yang didominasi oleh kesedihan dan depresi. Orang dewasa dan anak-anak di sini menderita, dan wajah anak-anak menceritakan kisah penderitaan tanpa kata-kata,” imbuh Al-Najjar.
Semua impian Al-Najjar adalah berakhirnya perang Israel dan kehidupan untuk kembali ke Gaza, meskipun di atas puing-puing dan kehancuran yang ditinggalkan mesin perang genosida Israel.