Kanal

Pilkada DPRD: Hemat Anggaran, Hilang Kedaulatan?


Seakan mem-veto hasil sidang paripurna DPR RI via voting 226 lawan 135 suara menolak tanpa Fraksi Demokrat yang mendadak walk-out, SBY menerbitkan dua Perppu untuk membatalkan aturan Pilkada lewat DPRD itu.  SBY menegaskan, Pilkada langsung adalah buah perjuangan reformasi. “Saya jadi presiden melalui Pemilu langsung oleh rakyat pada 2004 dan 2009!” kata dia. Keinginan Prabowo agar sistem Pilkada kembali dipilih DPRD, seketika kempes dan gagal.

Malam Jumat (12/12/2024). Di tengah gegap gempita perayaan HUT ke-60 Partai Golkar yang digelar di Sentul Internasional Convention Center, Bogor, Jawa Barat, sebuah pernyataan dilontarkan, langsung menggoyang jagat politik Indonesia. Tidak sekadar memukul nyaring periuk nasi para pegiat survey-riset dan konsultan politik, tentu. Lebih dari itu, sejatinya yang terlontar adalah pertanyaan sebuah cara berdemokrasi, yang tentu menyangkut hajat hidup kita semua, orang Indonesia.  

Saat itu Presiden Prabowo Subianto menyampaikan gagasan mengejutkan. Dalam pidatonya, Presiden mengusulkan agar mekanisme pemilihan kepala daerah dikembalikan ke sistem pemilihan oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD). Jelas, itu artinya mengganti Pilkada langsung yang telah bergulir puluhan tahun sejak era Reformasi. Alasannya? Penuh canda namun terasa serius, Prabowo berseru tegas, “Efisien! Nggak keluar duit, keluar duit, keluar duit!” Tiga kali, laiknya hadits Nabi yang menyebut “Ibumu” selama tiga kali penekan keharusan bati seorang anak.

Soal tidak efisiennya biaya pilkada itu, jelas Prabowo tak mengada-ada. Wakil Ketua Badan Anggaran (Banggar) DPR RI, Jazilul Fawaid, pernah mencontohkan tingginya biaya pemilihan gubernur pada Pilkada 2024. Misalnya, untuk Provinsi Jawa Barat saja, pemerintah harus mengeluarkan biaya lebih dari Rp1 triliun! “Itu bukan anggaran yang kecil. Kalau yang Rp1 triliun itu diberikan ke salah satu kabupaten di salah satu provinsi, di NTT misalnya, itu bisa membuat ekonomi bangkit,” kata Jazilul.

Tak berhenti di situ, Prabowo membandingkan Indonesia dengan negara-negara tetangga, seperti Malaysia, Singapura, dan India. Mereka diketahui menggunakan sistem pemilihan kepala daerah melalui perwakilan legislatif. “Puluhan triliun rupiah yang dihabiskan hanya dalam satu-dua hari itu, bisa digunakan untuk hal-hal yang lebih bermanfaat seperti memperbaiki sekolah, meningkatkan gizi anak-anak, atau membangun infrastruktur penting,” kata dia.

Pidato itu langsung menuai sorotan publik. Bagi sebagian pihak, usulan tersebut terlihat sebagai solusi untuk mengatasi masalah biaya politik yang semakin besar. Namun, bagi yang lain, hal itu dianggap sebagai ancaman. Mungkin bagi mereka yang kerap panen dari penyelenggaraan Pilkada, ini seba=uah ancaman. Yang lain juga menyebutnya sebagai ancaman, kali ini  terhadap demokrasi langsung yang sering dianggap sebagai menjadi salah satu pencapaian besar Reformasi.

Sebagaimana dimaklumi, pada 2004 Indonesia mencatat sejarah dengan melakukan pemilihan presiden secara langsung untuk pertama kalinya. Perubahan ini merupakan langkah maju yang signifikan dalam menegakkan prinsip demokrasi langsung dan memberikan wewenang lebih besar kepada rakyat untuk memilih pemimpin mereka. Langkah tersebut diikuti cara yang sama dalam Pilkada. Sisi minusnya, karena baik gubernur dan bupati-wali kota dipilih langsung oleh warga, wajar perasaan psikologis—katakanlah lotalitas–masing-masing mereka kepada pemimpin ranah di atasnya tidak sekuat di era Orde Baru. Misalnya, cukup wajar bila bupati merasa dirinya secara  de facto bukanlah bawahan gubernur, karena ia dipilih rakyatnya langsung.    

Baca Juga:  Tarif Impor Trump, antara Peluang dan Ancaman

Mengurangi Kadar Demokrasi?

Pernyataan Prabowo memicu reaksi beragam. Pendukungnya, seperti Sekjen Partai Golkar Muhammad Sarmuji, menganggap bahwa sistem pemilihan oleh DPRD tidak akan mengurangi nilai demokrasi selama prosesnya diawasi dengan baik.  “Golkar mendukung kajian menyeluruh untuk memastikan efisiensi sekaligus tetap menjaga prinsip demokrasi,” ujar Sarmuji,

Sebagai anak buah di kabinet, Menteri Hukum dan HAM, Supratman Andi Agtas, tentu saja tak bisa bersikap selain mendukung usulan tersebut. “Demokrasi tidak selalu berarti pemilihan langsung,”kata Supratman. “Yang penting adalah legitimasi dan dampaknya bagi masyarakat.”

Namun kemudian, kritik terhadap wacana tersebut ternyata cukup tajam. Lucius Karus dari Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi) menyatakan, itu membawa Indonesia setback ke belakang. “Mengembalikan Pilkada ke DPRD it langkah mundur. Risiko politik uang justru meningkat, sementara legitimasi kepala daerah menjadi lemah,” kata Lucius, berargumen.

Itu sejalan dengan sikap Direktur Lingkar Madani, Ray Rangkuti, yang menyebut usulan itu sebagai bentuk kemunduran demokrasi. “Pilkada langsung memberikan legitimasi yang kuat kepada kepala daerah. Menghapusnya berarti melemahkan kedaulatan rakyat,” kata Ray, tegas.

Bagi Felia Primaresti dari The Indonesian Institute, mekanisme ‘baru’ yang diusulkan itu justru mengabaikan aspirasi rakyat. “Kepala daerah akan lebih sibuk memenuhi keinginan DPRD daripada masyarakat yang mereka wakili,” kata Felia.

Berbeda pandangan dengan Prabowo, bagi Felia Primaresti menilai wacana pilkada dipilih lewat DPRD tidak serta-merta menjamin pengurangan biaya politik secara keseluruhan. “Negosiasi politik antarpartai, lobi, hingga potensi praktik politik uang dapat tetap terjadi dalam proses penunjukan ini.”

Sementara, belum sampai menyatakan pemilihan sikap, Ketua Umum Pengurus Pusat Muhammadiyah, Haedar Nashir, meminta dilakukan sebuah kajian mendalam dengan melibatkan berbagai elemen masyarakat. “Perubahan mekanisme harus memperhatikan prinsip-prinsip demokrasi substantif, bukan sekadar efisiensi administratif,” ujarnya.

Jejak Lama: Prabowo dan Pembatalan oleh SBY

Wacana tersebut sebenarnya bukan hal baru. Pada 2014, Prabowo bersama Koalisi Merah Putih (KMP) berhasil mendorong revisi UU Pilkada yang mengatur pemilihan oleh DPRD. Prosesnya panjang dan berliku, melalui voting, bahkan walk-out Sebagian anggota DPR. Saat itu DPR menggelar rapat paripurna pada Kamis (25/9/2014) dengan agenda pengesahan RUU Pilkada yang mengatur pemilihan oleh DPRD. Rapat pengesahan pun masih berlangsung alot, diwarnai adu argumen antaranggota dan antarFraksi. Rapat yang berlangsung hingga Jumat (26/9/2014) itu akhirnya diputuskan melalui voting.

KMP yang mendukung Pilkada dipilih DPRD memperoleh 226 suara. Sementara gabungan fraksi PDI-P, PKB, dan Hanura—para pendukung Jokowi saat itu—yang ingin pemilihan tetap di tangan rakyat, mendapatkan 135 suara. Fraksi Demokrat yang sebelumnya mendukung Pilkada oleh rakyat, entah mengapa justru mendadak walk out.

Baca Juga:  INFOGRAFIS: 9 Kasus Suap Hakim Gadaikan Keadilan Demi Cuan

Keputusan DPR itu masih berbuntut panjang di luar sidang Senayan. Datang gelombang penolakan di aneka media dan jalanan. Bahkan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) pun langsung bereaksi, menyatakan kekecewaannya terhadap hasil sidang paripurna. Melalui Julian Aldrin Pasha, juru bicaranya saat itu, SBY menyatakan keputusan DPR tersebut telah mengabaikan kedaulatan rakyat.

“Pak SBY dengan Partai Demokrat telah berjuang dengan mengajukan opsi untuk mempertahankan Pilkada langsung dengan perbaikan. Namun, tidak diakomodasi dalam opsi voting dan tidak didukung, bahkan ditolak fraksi parpol lain,” ujar Julian, yang segera bersipongang di media massa, Jumat (26/9/2014).

Langkah selanjutnya, SBY kemudian menerbitkan dua Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) untuk membatalkan aturan Pilkada lewat DPRD itu. Pertama, Perppu Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Wali Kota. Perppu itu mencabut UU Nomor 22 Tahun 2014 yang mengatur pemilihan kepala daerah oleh DPRD. Kedua Perppu Nomor 2 Tahun 2014 tentang Perubahan atas UU Nomor 24 Tahun 2014 Pemerintah Daerah, yang intinya menghapus tugas dan wewenang DPRD untuk memilih kepala daerah.

“Saya dukung Pilkada langsung dengan perbaikan-perbaikan mendasar.” kata SBY dalam pidatonya kala itu. Dia juga menegaskan, Pilkada langsung adalah buah perjuangan reformasi, seraya menambahkan “Saya jadi presiden melalui Pemilu langsung oleh rakyat pada 2004 dan 2009!”

DPR tak bisa lain kecuali menyetujui Perppu yang diterbitkan SBY. Keinginan Prabowo agar sistem Pilkada kembali dipilih DPRD, seketika kempes dan gagal.

Mana yang Ideal Menurut Pendiri Bangsa?  

Sejatinya, cara mana yang ideal, setidaknya diinginkan para pendiri bangsa kita? Apakah dengan pemilihan tak langsung laiknya era Orde Baru, atau pemilhan langsung di era Reformasi, yang setelah puluhan tahun juga terbukti mendatangkan aneka persoalannya sendiri?  

Frasa “hikmat dalam permusyawaratan/perwakilan” dalam sila keempat Pancasila menjadi landasan penting dalam diskusi ini. Menurut mantan Kepala Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP), Yudi Latif, demokrasi Indonesia adalah demokrasi deliberatif yang menekankan keseimbangan antara musyawarah dan keterwakilan. “Hikmat kebijaksanaan berarti bahwa keputusan yang diambil harus melalui proses dialog yang mencerminkan kepentingan bersama,” tulis Yudi dalam “Negara Paripurna”.

Namun, tantangan terbesar dalam demokrasi perwakilan adalah memastikan bahwa wakil rakyat benar-benar mewakili aspirasi rakyat. Dalam konteks Pilkada, hal ini menjadi semakin krusial ketika legitimasi kepala daerah dipertaruhkan. Jika mekanisme perwakilan tidak berjalan transparan, rakyat akan merasa teralienasi dari proses politik.

Menurut Prof. Kaelan dari Unversitas Gadjah Mada, “perwakilan” itu harus dijalankan dengan prinsip keadilan dan keberpihakan kepada rakyat. “Hikmat kebijaksanaan tidak boleh menjadi sekadar formalitas tanpa substansi yang melibatkan partisipasi aktif masyarakat,” kata dia, dalam “Pendidikan Pancasila”.

Dalam tafsir UUD 1945 sebelum amandemen, demokrasi perwakilan adalah sebuah gagasan yang selaras dengan nilai gotong-royong. Namun, pasca-Reformasi, muncul tuntutan untuk memberikan lebih banyak kekuasaan langsung kepada rakyat melalui mekanisme pemilihan langsung. Perdebatan itu menunjukkan bagaimana demokrasi di Indonesia terus berkembang seiring perubahan zaman.

Baca Juga:  Indonesia tak Boleh Menjilat Pantat Trump

Asian Values dan Efisiensi Demokrasi

Presiden Prabowo diketahui kerap merujuk pada “Asian values”, hal yang dipopulerkan oleh, dan menjadi argumen pendiri negara Singapura, Lee Kuan Yew. Lee berhasil membawa Singapura menjadi salah satu negara paling maju di dunia dengan pendekatan yang mengutamakan efisiensi dan stabilitas politik. Namun, Asian values sering dikritik karena cenderung mengesampingkan kebebasan individu demi kolektivitas. Michael D. Barr menulis bahwa Asian values sering digunakan sebagai justifikasi untuk membatasi demokrasi liberal.

Sementara Jan Mealino Ekklesia, sosiolog dan peneliti utama WAMESA Policy & Politics, menekankan bahwa Asian values versi Indonesia itu tak lain dan tak bukan kecuali Pancasila. “Nilai-nilai lokal Indonesia sudah mencakup gotong-royong dan musyawarah, yang jika diterapkan dengan benar dapat menjadi dasar efisiensi tanpa mengorbankan prinsip demokrasi,” tulisnya dalam sebuah artikel. Dalam konteks Pilkada, efisiensi adalah tujuan yang penting, tetapi tidak boleh mengorbankan transparansi dan partisipasi masyarakat.

Di sisi lain, benar pernyataan Bahlil Lahadalia, ketua umum Partai Golkar, yang menyebut bahwa demokrasi hanyalah instrumen untuk mencapai kesejahteraan rakyat. “Tujuan negara bukan hanya demokrasi, tetapi juga bagaimana menciptakan kesejahteraan dan pendidikan yang merata,” ujarnya.

Usulan Prabowo untuk mengembalikan pilkada ke DPRD berangkat dari niat untuk menekan biaya politik yang membengkak. Namun, sebagaimana diingatkan oleh Feri Amsari, pakar hukum tata negara, “Biaya politik yang tinggi sebenarnya disebabkan oleh sistem partai politik itu sendiri, bukan oleh rakyat yang memilih langsung.” Jika sistem partai tidak diperbaiki, pengalihan mekanisme ke DPRD hanya akan memindahkan masalah tanpa menyelesaikannya.

Kartiko Nurintias, direktur Tata Negara Ditjen AHU Kemenkumham, menambahkan bahwa pilkada langsung memiliki kelebihan seperti meningkatkan partisipasi masyarakat dan memberikan legitimasi yang kuat kepada kepala daerah. “Namun, sistem ini juga harus terus diperbaiki agar lebih efisien dan bebas dari politik uang,” kata dia.

Yang jelas, wacana mengembalikan pilkada ke DPRD mencerminkan dilema klasik antara efisiensi dan substansi demokrasi. Pendukungnya melihat ini sebagai langkah untuk menekan biaya politik, sementara pengkritiknya khawatir bahwa langkah ini akan melemahkan legitimasi politik dan kedaulatan rakyat.

Sebagaimana diingatkan cendikiawan Yudi Latif, “Demokrasi adalah jalan panjang yang memerlukan keseimbangan antara kepentingan rakyat dan mekanisme representasi. Pilihan sistem harus selalu didasarkan pada prinsip keberpihakan kepada rakyat.” Pada akhirnya, demokrasi yang sehat adalah demokrasi yang tidak hanya efisien, tetapi juga inklusif dan berkeadilan. Pilkada, baik langsung maupun tidak langsung, harus melayani kepentingan rakyat dengan tetap menjaga prinsip transparansi dan akuntabilitas.

[dsy/ vonita betalia/ syahidan/clara anna/reyhaanah asyaroniyyah]

Back to top button