Market

Pertumbuhan Ekonomi RI Terancam di Bawah 5 Persen, Sebaiknya Kebijakan Efisiensi Dianulasi


Ramalan horor Bank Dunia menyebut pertumbuhan ekonomi Indonesia sulit menembus 5 persen. Diprediksi pertumbuhan hanya sampai pada level 4,8 persen pada periode 2025-2027. Pemerintah diminta menganulasi kebijakan efisiensi

Direktur Ekonomi Digital dari Center of Economic and Law Studies (Celios) Nailul Huda mengatakan, ramalan bank dunia mengenai pertumbuhan ekonomi yang tak menembus 5 persen menandakan terjadinya kontraksi. Ditambah, laporan S&P global, Purchasing Managers Index (PMI) Indonesia menyebut adanya penurunan daya beli yang lebih dalam di tahun ini, dibandingkan periode 2024.

“Dampaknya adalah kepada pertumbuhan ekonomi yang terbatas. Prediksi beberapa lembaga internasional saya rasa cukup mencerminkan di mana pertumbuhan ekonomi di 2025 hanya 4,7 persen. Celios sendiri memprediksi di angka 4,5 persen,” ujar Huda kepada Inilah.com, Jakarta, Rabu (25/6/2025).

Dia mengingatkan, jika tarif resiprokal Amerika Serikat (AS) jadi diterapkan maka bisa lebih rendah lagi pertumbuhan ekonomi Indonesia. Dampaknya, dia sebut panjang dan memakan waktu beberapa tahun untuk bisa kembali normal.

Baca Juga:  Wujudkan Lifting Minyak Sejuta Barel, Menteri Bahlil Kirim Tim Belajar ke Angola dan AS

Menurutnya perlu ada evaluasi mengenai kebijakan efisiensi anggaran yang dilakukan oleh pemerintah. Kemudian dialokasikan sebagai stimulus perekonomian dalam beberapa sektor.

“Belanja barang berupa kunjungan ke lapangan dan acara di hotel bisa dilakukan kembali untuk mendorong sektor perhotelan dan pariwisata, terutama untuk di daerah luar jabodetabek. Ciptakan permintaan dari sisi pemerintah untuk sektor perhotelan. Hitung dampak ketika ada hilangnya dana dari setiap mata anggaran yang dilakukan efisiensi. Ketika ada dampak yang cukup signifikan dari efisiensi, maka patut dilakukan efisiensi,” kata dia.

Huda mengatakan pemerintah juga perlu memberikan stimulus agar perusahaan mampu bertahan. Dia memprediksi pada triwulan II dan III, konsumsi rumah tangga akan melambat sama seperti tahun sebelumnya pasca lebaran.

“Adanya PHK menyebabkan permintaan barang secara agregat akan semakin melemah. Terlebih sudah 3/4 bulan, pesangon dan JHT sudah habis. Mereka akan mengurangi konsumsi. Secara agregat, permintaan rumah tangga akan melambat. Konsumsi rumah tangga, yang jadi andalan, akan cukup tertekan akibat adanya kasus PHK akhir-akhir ini,” jelasnya.

Baca Juga:  OJK Hormati KPPU Bongkar Dugaan Kartel Penetapan Bunga Pinjol Oleh AFPI

Diwanti-wanti Huda, permintaan domestik merupakan kunci pertumbuhan ekonomi yang tinggi. Jika konsumsi rumah tangga bermasalah, maka pertumbuhan ekonomi sulit bergerak ke arah positif.

“Maka saya rasa pemerintah perlu meningkatkan daya beli masyarakat dengan memberikan stimulus terutama bagi kelas menengah. Kedua, jangan ada kebijakan yang mereduksi daya beli dan konsumsi rumah tangga,” tegas dia.

Sebelumnya, Lead Economist World Bank Indonesia dan Timor Leste, Habib Rab menyebut, tantangan utama pemerintah Indonesia adalah melemahnya daya beli. Alhasil, pertumbuhan ekonomi di Indonesia sulit bergerek di level 5 persen.  

Rab menuturkan, pelemahan daya beli atau konsumsi di Indonesia, dipicu minimnya lapangan kerja di satu sisi, serta maraknya PHK (Pemutusan Hubungan Kerja) di sisi lain.

Baca Juga:  Partai Golkar Khawatir Isu Tambang Nikel di Raja Ampat Digunakan untuk Serang Bahlil Lahadalia

Alhasil, laju konsumsi di Indonesia, menurut Bank Dunia terus tertinggal dari golongan kelas bawah atau termiskin, serta golongan kelas atas atau para orang kaya sejak 2019-2024.

Pada periode itu, Bank Dunia mencatat, sebanyak 40 persen masyarakat termiskin, mengalami peningkatan konsumsi 2-3 persen per tahun. Bisa terpenuhi lantaran pemerintah mengguyur bantuan sosial (bansos) dengan memperhitungkan inflasi. Sementara 10 persen kelompok terkaya mengalami peningkatan konsumsi tahunan sebesar 3 persen.

Untuk kelas menengah maupun calon kelas menengah, atau mereka yang berada dalam persentil ke 40-90 dari distribusi konsumsi, hanya mengalami pertumbuhan sekitar 1,3 persen per tahun.

“Artinya, kelas menengah justru semakin tertinggal. Ini tantangan besar bagi Indonesia, karena pertumbuhan kelas menengah adalah indikator pasar yang berkembang untuk barang dan jasa bernilai tambah tinggi serta canggih yang mendorong pertumbuhan ekonomi,” ucap Rab, Senin (23/6/2025).

Back to top button