Permak Angka Kemiskinan Demi Citra Malah Jadi Petaka

Pepatah: ‘Sepandai-pandai menyimpan bangkai, bakal ketahuan’, rasa-rasanya pantas disematkan untuk data kemiskinan yang diriis BPS. Karena standarnya jauh dari realitas. Orang yang nyata-nyata miskin menjadi tak tercatat.
Peran Badan Pusat Statistik (BPS) dalam menghitung jumlah orang miskin di Indonesia, kembali digugat banyak orang. Karena kuat dugaan hasil polesan demi meningkatkan citra. Padahal, efeknya justru mempersulit pemerintah dalam pengentasan kemiskinan.
Ekonom dari Pergerakan Kedaulatan Rakyat (PKR), Gede Sandra, misalnya, mempertanyakan standar kemiskinan yang dianut BPS saat ini.
Di mana, BPS menghitung orang miskin dari sisi pengeluaran yang ditetapkan hampir Rp600 ribu per orang per bulan. Atau setara Rp20 ribu per orang per bulan.
Ketika orang yang belanjanya kurang dari Rp20 ribu per hari, langsung masuk kategori miskin. Masalahnya, nilai belanja Rp20 ribu/hari sudah tak sesuai realitas harga saat ini.
“Harga sebutir kelapa saja sudah di atas Rp20 ribu. Saya kira BPS layak mengevaluasi standar kemiskinannya,” papar Gede kepada Inilah.com, Jumat (9/5/2025).
Terkuaknya dugaan poles data kemiskinan ini, berasal dari laporan World Bank atau bank Dunia bertajuk ‘Macro Poverty Outlook’ edisi April 2025 yang bikin heboh.
Pasalnya, Bank Dunia menyebut 60,3 persen dari total penduduk Indonesia, atau setara 171,8 juta jiwa masuk kategori kemiskinan pada 2024.
Alhasil, jumlah orang duafa di Indonesia masuk rangking 4 tertinggi di kalangan negara berpenghasilan menengah ke atas atau Upper-Middle Income Country (UMIC). Di bawah Afrika Selatan (63,4 persen), Namibia (62,5 persen) dan Botswana (61,9 persen).
Masih menurut laporan Bank Dunia, jumlah warga miskin di Indonesia pada 2024 itu, cenderung turun ketimbang 2023 sebanyak 61,8 persen atau 2022 sebanyak 62,6 persen. Untuk tahun ini, angka kemiskinan diprediksi turun menjadi 58,7 persen, kemudian turun lagi 57,2 persen pada 2026, dan 55,5 persen pada 2027.
Atas munculnya data 171,8 juta rakyat Indonesia yang miskin versi Bank Dunia itu, sangat bikin gaduh.
Apalagi, BPS sebelumnya telah melansir data jumlah penduduk miskin di Indonesia per September 2024, hanya 8,57 persen atau sekitar 24,06 juta jiwa. Selisihnya dengan data Bank Dunia, cukup gede. Sekitar 147,74 juta orang.
Ternyata, itu tadi, biang keroknya standar kemiskinan dari BPS yang beda dengan Bank Dunia.
Di mana, Bank Dunia memiliki 3 standar kemiskinan sebagai acuan. Pertama, Bank Dunia mematok US$2,15 per orang per hari, untuk mengukur tingkat kemiskinan dunia (international poverty rate) atau kemiskinan ekstrem.
Kedua, angka standar US$3,65 per orang per hari, untuk mengukur angka kemiskinan negara berpendapatan menengah ke bawah (Lower Middle Income Country/LMIC). Ketiga, standar US$ 6,85 per orang per hari, untuk menghitung orang miskin di negara berpendapatan menengah ke atas (UMIC).
Karena sejak 2023, Indonesia masuk UMIC maka Bank Dunia menggunakan standar kemiskinan US$6,85 per orang/hari. Sehingga ketemu nyaris 172 juta orang Indonesia masuk kategori miskin.
Sementara BPS menggunakan standar kemiskinan sebesar Rp595.242 per orang per bulan. Atau hampir Rp20 ribu per orang per hari. Berdampak kepada rendahnya angka kemiskinan di Indonesia.
Tak main-main, antara data kemiskinan di Indonesia versi Bank Dunia dan BPS, muncul selisih yang cukup gede yakni 147 juta jiwa. Tentunya ini akan menjadi masalah serius.
Atas perbedaan angka kemiskinan ini, Kepala BPS Amalia Adininggar Widyasanti terlihat santai-santai saja. Mungkin ini bukan masalah besar yang perlu ditanggapi serius.
“Perbedaan angka ini memang terlihat cukup besar, namun penting untuk dipahami secara bijak bahwa keduanya tidak saling bertentangan,” kata Amalia, Jumat (2/5/2025).
Di hanya mengatakan, perbedaan data kemiskinan dengan Bank Dunia terjadi, merupakan imbas dari perbedaan standar garis kemiskinan yang digunakan. “Dan untuk tujuan yang berbeda,” tegasnya.
Amalia menjelaskan Bank Dunia punya 3 pendekatan untuk memantau pengentasan kemiskinan secara global. Pendekatan itu katanya, bukan standar untuk masing-masing negara, melainkan sebagai perbandingan tingkat kemiskinan antarnegara.
Masyarakat awam, kata dia, kerap salah paham dalam membaca data Bank Dunia. Pasalnya, mereka langsung mengalikan dengan kurs dolar AS sekarang.
Indonesia baru masuk dalam golongan UMIC sehingga diperbandingkan dengan pendekatan ketiga, yakni US$6,85 PPP. Angka ini muncul dari median garis kemiskinan 37 negara berpendapatan menengah atas, bukan kebutuhan dasar penduduk Indonesia secara spesifik.
Sedangkan gross national income (GNI) per kapita Indonesia baru US$4.870 pada 2023, capaian itu hanya sedikit di atas batas bawah kategori UMIC yang rentang nilainya US$4.516-US$14.005 alias cukup lebar. Otomatis, jumlah penduduk miskin Indonesia cukup tinggi jika menggunakan pendekatan Bank Dunia.
“BPS mengukur kemiskinan di Indonesia dengan pendekatan kebutuhan dasar atau cost of basic needs (CBN). Jumlah rupiah minimum yang diperlukan untuk memenuhi kebutuhan dasar ini dinyatakan dalam Garis Kemiskinan,” tambahnya.
Sah-sah saja jka bs BPS, berkelit. Peran kali ini emang harus dijalankannya begitu. Tapi, dikhawatirkan, gara-gara menggunakan data kemiskinan abal-abal menghasilkan kebijakan yang jauh dari akurat. Apalagi menyangkut kepanitngan rakyat miskin.
Kritik Data BPS
Kritik dari berbagai kalangan atas data yang disajikan BPS, sudah terjadi sejak lama. Salah satu yang mengemuka terjadi pada November 2019. Kala itu, ekonom senior Asia dari Capital Economics, Gareth Leather menduga BPS telah memoles angka pertumbuhan ekonomi Indonesia konsisten di angka 5 persen dalam beberapa tahun.
Dia mencurigai, pertumbuhan Produk Domestik Bruto (PDB) di Indonesia yang stabil di angka 5 persen dalam lima tahun terakhir, adalah settingan. Oleh karenanya, dia mempertanyakan angka pertumbuhan ekonomi triwulan III-2019 itu.
“Peneliti kami yang khusus meneliti aktivitas Indonesia menunjukkan bahwa ekonomi Indonesia tumbuh di kecepatan yang jauh lebih lemah,” kata Gareth, Selasa (5/11/2019).
Dalam artikelnya berjudul Why we don’t trust Indonesia’s GDP data, Gareth mengatakan, pertumbuhan ekonomi Indonesia terus melambat pada beberapa tahun terakhir.
Hal ini terjadi, karena pertumbuhan kredit cenderung rendah, kebijakan fiskal tidak memiliki daya ungkit perekonomian, dan tertekannya harga komoditas seperti batu bara dan CPO yang berdampak menekan angka pertumbuhan ekonomi.
“Tetapi, pertumbuhan PDB Indonesia secara mencurigakan tumbuh stabil di kisaran 5 persen dalam lima tahun terakhir, dan tidak mengejutkan RI kembali tumbuh di kisaran tersebut di kuartal III tahun ini. Menurut kami, ekonomi Indonesia tumbuh lebih lambat,” ujar Gareth.
Selain Gareth, ekonom di Natixis SA di Hong Kong, Trinh Nguyen juga mempertanyakan angka-angka dalam sebuah posting di twitter, saat ini berganti menjadi X.
Kepala BPS kala itu, dijabat Suhariyanto, menjamin BPS tidak bisa asal mengeluarkan data. Sehingga apa yang diumumkan BPS adalah data yang akurat.
“BPS ini dimonitor forum masyarakat statistik. Teman-teman IMF (International Monetary Fund) juga selalu datang ke BPS, minimal sekali setahun dengan timnya untuk check,” paparnya.
Main-main Data Kemiskinan
Ekonom sekaligus Pakar Kebijakan Publik dari UPN Veteran Jakarta, Achmad Nur Hidayat mengingatkan pemerintah agar tidak mengabaikan perbedaan data kemiskinan di Indonesia.
Ia menilai, persoalan ini bukan sekadar perbedaan angka, melainkan menyangkut kehidupan nyata jutaan rakyat kecil yang terdampak langsung oleh kebijakan sosial.
“Masalahnya, data ini jadi acuan kebijakan. Kalau angka kemiskinan versi nasional terlalu rendah, maka jutaan rakyat rawan miskin tidak akan terjangkau bansos. Kebijakan jadi bias, karena menyasar angka, bukan realitas,” ujar Achmad Nur, Jakarta, Rabu (7/5/2025).
Masuk akal, dia mengkhawatirkan, jika BPS ‘ngawur’ dalam menghitung angka kemiskinan, maka kebijakan pemerintah bisa dipastikan salah sasaran. Misalnya, program, bantuan sosial (bansos) bakal tidak tepat sasaran.
Selain itu, kata dia, program dana daerah semakin jauh dari keadilan. Karena, data kemiskinan juga menjadi dasar alokasi dana transfer ke daerah.
“Jika angka kemiskinan di satu daerah terlihat rendah, dana yang masuk pun bisa kecil. Padahal, kemiskinan bisa saja masih tinggi, tetapi tak terdata. Ini menciptakan ketimpangan fiskal antarwilayah,” kata dia.
Hal lain, lanjut Achmad Nur, citra palsu pembangunan. Secara internal, pemerintah bisa bangga karena angka kemiskinan tampak turun. Tetapi, di mata dunia, Indonesia tetap dilihat sebagai negara dengan kemiskinan tinggi. “Ini membuat laporan capaian pembangunan seperti SDGs tidak kredibel,” ungkapnya.
Untuk itu, dia mengingatkan, Indonesia perlu melakukan evaluasi terhadap definisi dan metode pengukuran kemiskinan yang digunakan secara nasional.
Menurutnya, data bukan sekadar angka, tetapi menentukan siapa yang perlu dibantu dan siapa yang ditinggalkan. “Banyak warga yang dianggap tidak miskin versi BPS, namun sebenarnya masih hidup dalam kondisi sangat rentan,” imbuhnya.
Ia mengatakan, mereka bisa dikategorikan bukan miskin absolut, tetapi miskin fungsional lantaran sulit memenuhi kebutuhan dasar, mudah terguncang jika harga barang pokok naik atau mengalami sakit. Atas dasar itu, ia mendorong pemerintah mengevaluasi ulang definisi kemiskinan nasional.
“Jangan hanya pakai patokan konsumsi Rp550 ribu per bulan. Hidup layak hari ini butuh lebih dari itu. Gunakan pendekatan yang lebih realistis, bahkan multidimensi, yakni akses air bersih, pendidikan, sanitasi, dan konektivitas digital. Jangan biarkan rakyat tak terlihat hanya karena mereka tidak memenuhi definisi “miskin” versi statistik lama,” terangnya.
Ia menuturkan bahwa pemerintah perlu bersikap transparan terkait metodologi dan bersinergi dengan lembaga global. Menurutnya, BPS bukan pihak yang keliru, namun data yang dihasilkan harus terus diperbarui agar selaras dengan perkembangan zaman dan kondisi nyata di lapangan. (ipe/Clara).