Jika ada yang beranggapan lulusan kampus swasta tidak mampu berdampak global, mungkin mereka belum mengenal Safiya. Perempuan yang menempuh pendidikan di Indonesia ini kini bekerja sebagai public health specialist di Somalia. Ya, benar—di Somalia, negara di Afrika Timur yang lebih sering dikenal lewat konflik dan krisis kemanusiaan daripada sistem layanan kesehatannya.
Siang itu, melalui layar Zoom, Safiya hadir sebagai pembicara dalam sesi Alumni Talk Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Muhammadiyah Jakarta (FKM UMJ), almamater tempat ia dahulu belajar dan berorganisasi. Menariknya, diskusi ini dipandu oleh Fayyaza Zakaria, mahasiswi FKM UMJ yang aktif di ERDAMS sekaligus penggagas Nabastala Semesta, organisasi yang fokus pada pengembangan kapasitas dan pendidikan berbasis nilai sosial.
Kehadiran Fayyaza sebagai moderator tidak hanya memperkaya perspektif diskusi, tetapi juga menunjukkan kontribusi nyata mahasiswa dalam mencari solusi untuk masalah kesehatan global. Dengan gaya komunikatif dan reflektif, Fayyaza menyambut kisah Safiya melalui pertanyaan tajam namun hangat.
Duduk tenang dengan latar dinding polos, Safiya berbagi pengalamannya sebagai tenaga kesehatan di wilayah serba terbatas: mulai dari sulitnya akses air bersih, minimnya tenaga medis, hingga tantangan budaya dalam mengedukasi masyarakat tentang kesehatan ibu dan anak. “Apa yang saya pelajari di kampus dulu—komunikasi kesehatan, public speaking, hingga advokasi melalui organisasi—semuanya terpakai di sini,” ujar Safiya.
Jauh sebelum bekerja di Somalia, Safiya adalah mahasiswi aktif yang gemar berdiskusi dan berorganisasi. Ia pernah menjabat Ketua Nasional AMIPERS, aliansi mahasiswa yang fokus pada isu kesehatan reproduksi dan seksual. Selain itu, ia aktif di IMM, HIMA KESMAS, dan SEMESTA. Melalui aktivitas ini, Safiya belajar bekerja untuk dan bersama masyarakat, tidak hanya melalui teori di kelas, tetapi langsung di lapangan.
Bagi Safiya, FKM UMJ adalah lingkungan yang mendorong mahasiswa untuk vokal dan peka terhadap isu sosial. Dari sana, ia menyadari bahwa kesehatan masyarakat tidak sekadar tentang angka, melainkan upaya menciptakan perubahan nyata di komunitas, sekecil apa pun.
“Dulu saya sering diminta menjadi moderator, presentasi, atau berdebat. Ternyata itu melatih kemampuan menyampaikan pesan secara jelas kepada masyarakat,” tambahnya.
Kemampuan komunikasi inilah yang menjadi kunci ketika Safiya harus mengedukasi kelompok rentan di Somalia. Mulai dari ibu hamil, remaja, hingga pengungsi internal di kamp-kamp darurat.
Langkah Kecil, Dampak Global

Lalu, bagaimana Safiya bisa bekerja di Somalia? Semua berawal dari program magang internasional yang ia ikuti tak lama setelah lulus. Saat itu, Safiya ditempatkan di sebuah lembaga kemanusiaan yang bermitra dengan organisasi lokal di Afrika.
Ia sempat menjelajahi beberapa negara, tetapi Somalia meninggalkan kesan paling mendalam. “Saya menyaksikan langsung betapa akses layanan dasar seperti vaksinasi, air bersih, hingga layanan kehamilan masih sangat terbatas. Saat itu, saya tahu saya harus kembali,” ujarnya.
Akhirnya, Safiya menerima tawaran sebagai public health specialist di Kementerian Kesehatan Somalia, dengan fokus pada program promotif dan preventif. Tugas utamanya adalah memperkuat edukasi kesehatan serta mengkoordinasikan program di wilayah rawan. Dari sinilah ia mulai berhadapan langsung dengan sistem kesehatan Somalia yang sarat tantangan.
Somalia bukanlah negara dengan sistem kesehatan mapan. Banyak wilayahnya kekurangan fasilitas medis layak, apalagi tenaga kesehatan yang memadai. Data WHO menunjukkan rasio dokter di Somalia hanya 0,4 per 10.000 penduduk—jauh di bawah Indonesia yang mencapai lebih dari 3 dokter per 10.000 penduduk.
Mayoritas layanan kesehatan bergantung pada lembaga internasional, sementara pemerintah setempat masih berjuang membangun infrastruktur dasar pasca konflik berkepanjangan. “Banyak tenaga kesehatan di sini bekerja tanpa gaji tetap. Mereka mengandalkan insentif dari organisasi kemanusiaan atau program donor,” papar Safiya.
Ia mengakui kondisi ini memprihatinkan, tetapi sekaligus menjadi motivasi untuk terus berkontribusi. Salah satu fokus pekerjaannya adalah kampanye cuci tangan dan kebersihan di kamp pengungsian. Meski terdengar sederhana, di Somalia, cuci tangan bisa menjadi “kemewahan”. Di sejumlah wilayah, air bersih harus diangkut dari jarak jauh, sementara sabun seringkali langka.
“Kami harus kreatif menyampaikan pentingnya kebersihan dalam situasi ekstrem. Terkadang saya melakukan demonstrasi langsung, atau melibatkan tokoh agama lokal untuk membantu menyebarkan pesan,” jelasnya.
Tantangan tak hanya datang dari keterbatasan fasilitas, tetapi juga budaya dan kepercayaan masyarakat. Di beberapa komunitas, isu kesehatan reproduksi masih dianggap tabu. “Saya pernah menjelaskan kontrasepsi kepada ibu-ibu yang sama sekali belum pernah mendapat informasi sebelumnya. Ini harus dilakukan dengan hati-hati, melalui pendekatan yang menghormati nilai lokal,” tambahnya.
Menumbuhkan Harapan, Melahirkan Arah Baru

Menariknya, meski bekerja di lingkungan dengan budaya yang berbeda, Safiya justru merasa kedekatan sebagai sesama perempuan memudahkan proses pendekatannya. “Sebagai perempuan, saya lebih mudah diterima untuk mendampingi perempuan lain, terutama dalam isu sensitif. Saya yakin peran perempuan sangat krusial di sini,” ujarnya.
Dari pengalaman tersebut, Safiya menyadari bahwa membangun kepercayaan adalah langkah awal yang tak boleh diabaikan. “Terkadang kita terlalu fokus pada target program, padahal kuncinya adalah mendengarkan kebutuhan mereka terlebih dahulu. Setelah itu, baru kita bisa membahas solusi,” tegasnya.
Dalam sesi Zoom yang dihadiri puluhan alumni dan mahasiswa FKM UMJ, Safiya juga menyelipkan cerita ringan tentang makanan. Saat ditanya tentang makanan favoritnya di Somalia, ia tertawa dan menjawab, “Indomie versi Somalia!”
Ternyata, mi instan asal Indonesia itu populer di Somalia, meski dengan cita rasa yang sedikit berbeda. “Setiap kali menyantapnya, rasanya seperti membawa sepotong rumah dalam mangkuk,” katanya sambil tersenyum. Momen sederhana itu mencairkan suasana diskusi yang awalnya serius, menjalin kehangatan antara Safiya dengan peserta.
Meski jauh dari tanah air, semangat dan nilai-nilai yang ditanamkan almamaternya tetap menjadi panduan. Safiya meyakini bahwa perubahan tidak harus dimulai dari hal besar. “Semua bisa dimulai dari satu orang, satu komunitas, dan satu ide kecil yang dijalani dengan konsistensi,” ucapnya.
Ia pun berpesan kepada mahasiswa: “Jangan pernah meremehkan peran kalian di organisasi atau kampus. Dari sanalah kalian belajar empati, keberanian, dan cara bekerja yang akan berguna di dunia nyata.”
Kini, Safiya menjadi bukti nyata bahwa perempuan Indonesia mampu berperan penting di panggung kemanusiaan global. Ia tidak hanya mengharumkan nama kampus dan bangsa, tetapi juga membawa optimisme bahwa sistem kesehatan yang inklusif dan adil dapat diwujudkan—dimulai dari keberanian menginjakkan kaki di wilayah yang kerap diabaikan.
Dari Cirendeu ke Mogadishu, dari ruang kelas ke kamp pengungsian, Safiya membuktikan bahwa kontribusi anak muda Indonesia tak terbatas oleh geografi. Asal ada tekad dan komitmen, dunia bisa menjadi medan pengabdian.
Di balik dinding pusat kesehatan Somalia, ada secercah cahaya yang bersumber dari semangat seorang alumni FKM UMJ yang dahulu hanya ingin menjadi manusia berguna. Kini, ia membuktikan bahwa kebermanfaatan tak mengenal batas jarak, budaya, atau bahasa. Yang diperlukan hanyalah satu hal: keberanian untuk peduli.