Pengadilan yang Kehilangan Jiwa Keadilan

Pengadilan adalah salah satu pilar peradaban yang dibangun atas fondasi keyakinan bahwa kebenaran dan keadilan dapat ditegakkan melalui mekanisme hukum. Ia adalah ruang di mana keadilan seharusnya dijadikan tujuan utama, melampaui kepentingan individu atau kelompok. Namun, ketika pengadilan tidak lagi berfungsi sebagai penjaga moralitas publik, ia berubah menjadi panggung tempat prosedur formal menggantikan substansi moral. Inilah yang tampak dalam vonis Harvey Moeis, sebuah kasus yang menyiratkan betapa rapuhnya sistem hukum kita dalam menjalankan perannya sebagai penjaga keadilan universal.
Pengadilan dan Ironi Hukum
Secara teoritis, pengadilan adalah arena di mana hukum bertemu dengan keadilan. Namun, dalam realitas, pengadilan sering menjadi panggung teatrikal yang memperlihatkan jurang antara keduanya. Vonis ringan terhadap Harvey Moeis menggambarkan bagaimana hukum, yang seharusnya menjadi instrumen moral, sering kali kehilangan arah. Hukum diperlakukan secara mekanistik, tunduk pada kepentingan prosedural dan formalitas, sementara substansi moralnya terabaikan.
Dalam The Social Contract, Jean-Jacques Rousseau menegaskan bahwa hukum hanya sah selama ia mencerminkan kehendak umum (general will). Ia menyatakan: “Hukum adalah ekspresi dari kehendak umum. Semua warga negara memiliki hak untuk berkontribusi secara pribadi atau melalui perwakilan mereka dalam pembentukan hukum.” Ketika vonis Harvey Moeis dipandang tidak mencerminkan kehendak masyarakat untuk memberantas korupsi, legitimasi hukum itu dipertanyakan. Pengadilan kehilangan esensi moralnya, dan hukum berubah menjadi sekadar alat prosedural yang tidak memiliki jiwa.
Hukum sebagai Alat Kekuasaan
Michel Foucault dalam Discipline and Punish mengingatkan bahwa hukum tidak pernah netral. Ia menyatakan, “Hukum beroperasi sebagai teknologi kekuasaan.” Dalam perspektif ini, hukum sering digunakan oleh mereka yang berada dalam posisi kekuasaan untuk melestarikan status quo. Pengadilan, sebagai institusi hukum, sering kali berfungsi sebagai perpanjangan tangan dari relasi kekuasaan, bukan sebagai penjaga keadilan universal.
Vonis Harvey Moeis menjadi contoh nyata. Ketika terdakwa yang bertanggung jawab atas kerugian negara hingga Rp300 triliun dihukum dengan vonis yang relatif ringan, pengadilan tidak hanya gagal menegakkan keadilan, tetapi juga memperkuat persepsi bahwa hukum melindungi yang kuat dan menindas yang lemah. Dalam konteks ini, pengadilan menjadi alat reproduksi ketidakadilan, alih-alih penegak keadilan.
Keadilan yang Reduktif
Salah satu masalah mendasar dalam sistem hukum modern adalah kecenderungan untuk memprioritaskan prosedur di atas substansi. Pengadilan terlalu sering terjebak dalam formalitas, sehingga kehilangan kepekaan terhadap dampak moral dan sosial dari keputusannya. Dalam Groundwork of the Metaphysics of Morals, Immanuel Kant menegaskan: “Hukum yang adil adalah hukum yang dapat diterima secara universal.” Namun, vonis Harvey Moeis, yang mempertimbangkan faktor-faktor seperti “kesopanan” dan “tanggung jawab keluarga” terdakwa, tidak memenuhi prinsip ini.
Pertimbangan tersebut mungkin sah secara prosedural, tetapi gagal menangkap esensi moral dari kasus ini. Korupsi yang menyebabkan kerugian negara sebesar itu adalah tindakan yang merusak tatanan sosial dan melukai moralitas publik. Dengan memberikan hukuman ringan, pengadilan tidak hanya mengabaikan prinsip moral universal, tetapi juga mengirimkan pesan yang salah: bahwa kejahatan besar dapat “dibayar” dengan hukuman kecil.
Krisis Legitimasi Pengadilan
Legitimasi pengadilan bergantung pada persepsi masyarakat bahwa keputusan yang diambil mencerminkan keadilan substantif. Dalam The Morality of Law, Lon L. Fuller menyatakan: “Moralitas internal hukum terletak pada kemampuannya untuk membimbing perilaku manusia melalui aturan.” Namun, ketika aturan hukum digunakan untuk menghasilkan vonis yang tidak mencerminkan rasa keadilan masyarakat, hukum kehilangan kapasitas moralnya.
Vonis Harvey Moeis mencerminkan krisis ini. Kerugian negara yang begitu besar dibandingkan dengan hukuman yang ringan menciptakan ketidakpuasan yang mendalam. Jika pengadilan terus-menerus memberikan keputusan yang tidak sejalan dengan keadilan substantif, masyarakat akan kehilangan kepercayaan terhadap sistem hukum dan mulai mencari keadilan di luar hukum.
Keadilan sebagai Proyek Moral
Keadilan bukan sekadar hasil dari kepatuhan terhadap prosedur hukum. Ia adalah proyek moral yang menuntut keberanian untuk melampaui batas-batas positivisme hukum. Dalam The Morality of Law, Fuller menekankan bahwa hukum yang baik adalah hukum yang dapat menciptakan keteraturan moral dalam masyarakat. Pengadilan harus lebih dari sekadar institusi teknokratis; ia harus menjadi penjaga nilai-nilai moral yang hidup dalam masyarakat.
Hakim, sebagai aktor utama dalam sistem peradilan, harus memiliki keberanian moral untuk mengambil keputusan yang benar secara substansial, meskipun mungkin tidak populer atau melibatkan risiko politik. Seperti yang disampaikan Kant, hukum yang adil adalah hukum yang dapat diterima oleh semua orang sebagai prinsip universal. Namun, untuk mencapai ini, hakim harus menempatkan keadilan substantif di atas formalitas prosedural.
Pengadilan sebagai Cermin Peradaban
Pengadilan adalah cermin moral masyarakat. Vonis Harvey Moeis menunjukkan bahwa cermin ini telah buram. Pengadilan tidak lagi menjadi ruang di mana nilai-nilai moral dipertahankan, tetapi menjadi tempat di mana kekuasaan dan privilese dipertontonkan. Dalam situasi ini, pengadilan kehilangan fungsinya sebagai penjaga keadilan dan hanya menjadi alat mekanistik yang tidak memiliki jiwa.
Foucault mengingatkan bahwa hukum, ketika digunakan secara mekanistik, dapat menjadi alat penindasan. Pengadilan harus direformasi agar kembali menjadi ruang di mana hukum bertemu dengan nilai-nilai moral yang lebih tinggi. Reformasi ini membutuhkan keberanian intelektual dan moral dari semua aktor hukum, mulai dari hakim hingga pembuat kebijakan.
Vonis Harvey Moeis adalah pengingat bahwa pengadilan, sebagai institusi yang dibangun untuk menegakkan keadilan, dapat dengan mudah terjebak dalam logika kekuasaan dan formalitas prosedural. Ketika hukum kehilangan jiwa moralnya, pengadilan tidak lagi menjadi penjaga keadilan, tetapi instrumen yang memperdalam jurang ketidakadilan.
Sebagai akademisi hukum, saya percaya bahwa keadilan adalah fondasi peradaban. Jika pengadilan gagal menegakkan keadilan, maka masyarakat akan kehilangan kepercayaan pada hukum dan mulai mencari keadilan di luar institusi formal. Ini bukan hanya ancaman bagi pengadilan, tetapi juga bagi tatanan sosial itu sendiri. Pengadilan harus kembali kepada esensi moralnya: menjadi tempat di mana keadilan dirasakan, bukan hanya diputuskan.