Apa yang dilakukan Presiden Prabowo, yakni menyerukan tindakan tegas untuk memerangi penyelundupan tekstil, adalah benar. Namun, seruan ini memerlukan langkah nyata dari pemerintah, termasuk peningkatan pengawasan di pelabuhan, penegakan hukum yang lebih ketat, dan kebijakan yang mendukung industri lokal.
“Penyelundupan tekstil mengancam industri tekstil kita dan mengancam kehidupan ratusan ribu pekerja kita,” kata Presiden Prabowo Subianto dalam pidatonya pada Musyawarah Perencanaan Pembangunan Nasional (Musrenbangnas) untuk Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2025-2029 di Gedung Bappenas, Jakarta, tanggal 30 Desember 2024.
Menurut Prabowo, persoalannya tidak sesederhana soal hitung-hitungan kerugian. “Ini bukan hanya soal ekonomi, ini soal kedaulatan bangsa. Kita tidak boleh membiarkan keuangan negara bocor hanya untuk mengakomodasi praktik ilegal. Penyelesaian masalah ini membutuhkan komitmen semua pihak, dari penegak hukum hingga masyarakat.”
Presiden Prabowo wajar gusar. Data dari Asosiasi Produsen Serat dan Benang Filament Indonesia (APSyFI) menunjukkan bahwa pada 2022, ekspor tekstil dan produk tekstil (TPT) dari China ke Indonesia mencapai US$6,5 miliar—sekitar Rp 97,5 triliun untuk kurs 15.000. Namun, impor resmi yang tercatat di Badan Pusat Statistik (BPS) hanya sebesar US$3,55 miliar atau Rp 53,25 triliun. Selisih US$2,94 miliar, atau sekitar Rp44,1 triliun, mengindikasikan adanya penyelundupan dalam skala besar.
Tidak hanya itu, data pihak lain yang meminta anonimitas menyebutkan bahwa pada 2021, ekspor tekstil China ke Indonesia mencapai Rp58,1 triliun, sementara angka impor resmi hanya Rp28,4 triliun. Selisih yang mencapai Rp29,7 triliun ini menunjukkan betapa masifnya masalah penyelundupan tekstil di Indonesia. Angka-angka itu menunjukkan bagaimana pelabuhan internasional sering menjadi jalur masuk utama barang ilegal yang tidak terpantau dengan baik.
Dampak pada Industri dan PHK
Pakaian bekas atau “thrifting” juga menjadi bagian dari problematika ini. Data Indonesia mencatat bahwa pada 2022, Indonesia mengimpor 26,22 ton pakaian bekas dengan nilai US$272.146, sekitar Rp 4,1 miliar pada kurs 15.000. Angka ini meningkat tajam hingga 230,40 persen dibandingkan tahun sebelumnya, meskipun impor pakaian bekas telah dilarang pemerintah.
Fenomena tersebut tidak hanya merugikan secara ekonomi, tetapi juga menyisakan dampak sosial yang signifikan. Menurut sosiolog ekonomi Richard Sennett, barang-barang bekas dari negara maju sering kali dianggap sebagai simbol ketimpangan global yang merusak harga diri negara berkembang.
Penyelundupan tekstil tidak hanya merugikan negara dari sisi penerimaan pajak, tetapi juga menghancurkan industri tekstil lokal. Menurut APSyFI, maraknya tekstil ilegal telah menyebabkan penurunan kapasitas produksi hingga 30 persen di banyak pabrik lokal. Dampaknya tidak main-main: menurut Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API), lebih dari 60 pabrik tekstil di berbagai wilayah mengalami penurunan kapasitas produksi, dengan beberapa di antaranya terpaksa tutup permanen. Kondisi ini juga menyebabkan pemutusan hubungan kerja (PHK) terhadap lebih dari 120.000 pekerja pada 2022.
Kondisi ini diperburuk oleh maraknya thrifting yang membanjiri pasar lokal. Pakaian bekas, meskipun murah, memberikan persaingan tidak sehat terhadap produk lokal. “Industri tekstil kita sedang menghadapi tantangan besar. Penyelundupan ini merusak ekosistem pasar,” kata Ketua Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API), Ade Sudrajat.
Efek domino juga terlihat di sektor hulu, seperti industri serat dan benang. Data menunjukkan penurunan signifikan dalam permintaan bahan baku lokal akibat maraknya produk ilegal. Hal ini menyebabkan efek berantai yang menggerus lapangan kerja di sektor pendukung.
Proteksi Itu Adil
Ekonom Paul Krugman pernah menulis bahwa globalisasi yang tidak terkendali dapat merugikan sektor-sektor tertentu dalam perekonomian domestik. Fenomena penyelundupan tekstil di Indonesia membuktikan argumen ini. Ketika produk ilegal membanjiri pasar tanpa pengawasan, industri lokal menjadi korban utama.
Ha-Joon Chang, dalam bukunya “Kicking Away the Ladder”, mengingatkan bahwa negara-negara maju pernah menggunakan proteksi ketat untuk membangun industri domestiknya. Ia mengkritik negara-negara berkembang yang tidak melindungi industrinya dari gempuran produk asing. Kasus tekstil Indonesia adalah contoh nyata betapa perlunya kebijakan proteksionisme yang lebih efektif.
Sementara itu, Amartya Sen, peraih Nobel Ekonomi, menyoroti bahwa pembangunan ekonomi tidak hanya soal angka, tetapi juga bagaimana melindungi martabat manusia. “Jika pekerja lokal kehilangan pekerjaan karena praktik perdagangan ilegal, maka kita gagal dalam tugas utama pembangunan,” ujar Amartya Sen.
Karena itu, apa yang dilakukan Presiden Prabowo, yakni menyerukan tindakan tegas untuk memerangi penyelundupan tekstil, adalah benar. Namun, seruan ini memerlukan langkah nyata dari pemerintah, termasuk peningkatan pengawasan di pelabuhan, penegakan hukum yang lebih ketat, dan kebijakan yang mendukung industri lokal.
Selain itu, edukasi kepada masyarakat juga penting. Konsumen perlu memahami dampak negatif dari pembelian produk ilegal, baik terhadap ekonomi negara maupun terhadap masa depan pekerja di industri tekstil. Sebagai contoh, kampanye publik yang mengedukasi konsumen tentang pentingnya mendukung produk lokal dapat menjadi langkah awal yang efektif.
“Kita harus bekerja sama untuk melindungi industri kita sendiri. Tanpa dukungan masyarakat, upaya pemerintah akan sulit berhasil,” kata Agus Salim, seorang pelaku industri tekstil di Bandung.
Ala kulli hal, penyelundupan tekstil adalah ancaman serius bagi perekonomian Indonesia. Dengan data yang menunjukkan selisih miliaran dolar antara ekspor dan impor resmi, serta dampak langsung terhadap ribuan pekerja industri tekstil, masalah ini tidak bisa diabaikan. Pernyataan Presiden Prabowo untuk memerangi penyelundupan tekstil harus menjadi momentum untuk melakukan reformasi mendalam dalam pengawasan perdagangan dan kebijakan industri.
Seperti yang pernah diungkapkan oleh filsuf ekonomi Adam Smith, “Kesejahteraan suatu bangsa tergantung pada kekuatan industrinya.” Sudah saatnya Indonesia memperkuat industri tekstil lokal demi masa depan yang lebih baik, tidak hanya untuk ekonomi, tetapi juga untuk martabat bangsa secara keseluruhan. [ ]