Penghapusan Ambang Batas Capres Jangan Sampai Melenceng, Pilpres Malah Kembali ke MPR

Pakar hukum kepemiluan dari Universitas Indonesia (UI) Titi Anggraini mewanti-wanti pemerintah dan DPR jangan coba-coba salah mengartikan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) menghapus ambang batas pencapresan 20 persen.
Hal ini ia sampaikan terkait adanya kekhawatiran putusan tersebut dijadikan celah untuk mengembalikan pemilihan presiden ke mekanisme di MPR. Terlebih, wacana itu sempat bergulir beberapa waktu lalu.
“Kalau yang dilakukan adalah amendemen konstitusi pilpres dilakukan oleh MPR itu tidak sesuai dengan semangat putusan MK, semangat perubahan konstitusi dan juga semangat reformasi,” kata Titi saat dihubungi wartawan, Minggu (5/1/2025).
Jika sampai indikasi itu, kata Titi, masyarakat tidak akan ragu turun ke jalan seperti gerakan ‘peringatan darurat’ ketika MK memutus soal revisi ambang batas pencalonan kepala daerah. “Kalau belajar dari ‘peringatan darurat’ itu sebagai pembacokan terhadap hak politik warga,” tegasnya.
Dia menegaskan, pemerintah dan DPR sebagai pembuat undang-undang harus turut memastikan supaya penyelenggara Pemilu 2029 tidak main mata dan memanipulatif.
Diberitakan sebelumnya, Mahkamah Konstitusi (MK) secara resmi menghapus ketentuan ini, usai mengabulkan gugatan bernomor 62/PUU-XXII/2024 yang digelar di Ruang Sidang MK, Jakarta, Kamis (2/1/2025).
“Mengabulkan permohonan para pemohon untuk seluruhnya,” ujar Ketua MK, Suhartoyo saat membacakan putusan.
Dia menjelaskan, dikabulkan permohonan tersebut karena norma Pasal 222 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2017 Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6109) bertentangan dengan UUD 1945.
Adapun Pasal 222 UU Nomor 7 Tahun 2017 berbunyi, “Pasangan Calon diusulkan oleh Partai Politik atau Gabungan Partai Politik Peserta Pemilu yang memenuhi persyaratan perolehan kursi paling sedikit 20 persen (dua puluh persen) dari jumlah kursi DPR atau memperoleh 25 persen (dua puluh lima persen) dari suara sah secara nasional pada Pemilu Anggota DPR periode sebelumnya.”
Pada poin putusan berikutnya Suhartoyo menyatakan, “pengusulan pasangan calon presiden dan wakil presiden oleh partai atau gabungan partai politik peserta pemilu tidak didasarkan pada persentase jumlah kursi di DPR atau suara sah secara nasional.”