Pendidikan Dokter Spesialis: Tempat Belajar atau Sarang Predator?


Dunia pendidikan dokter spesialis belakangan ini ramai menjadi sorotan karena marak terjadi kasus pelecehan seksual hingga perundungan. Kementerian Kesehatan (Kemenkes) mencatat ada sebanyak 620 laporan kasus perundungan di lingkungan kerja Program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS) dalam dua tahun terakhir.

Indonesia digemparkan kabar tentang kekerasan seksual oleh peserta PPDS Anestesiologi Universitas Padjadjaran (Unpad) terhadap anak seorang pasien di Rumah Sakit Hasan Sadikin Bandung (RSHS).

Dokter itu, Priguna Anugerah Pratama (PAP), mengumpulkan sisa-sisa obat bius, lantas menggunakannya untuk melancarkan aksi kriminalnya di sebuah ruangan yang tidak terpakai di rumah sakit itu. Dengan dalih untuk crossmatch darah, korban pun dibius belasan kali.

Belum selesai shock karena kejadian itu, publik kembali dikagetkan oleh kelakuan Muhammad Azwindar Eka Satria, seorang peserta PPDS Universitas Indonesia yang iseng memanjat ke atas plafon kamar dan mengarahkan kamera ponselnya ke lubang angin untuk merekam tetangga kosnya yang sedang mandi. Keisengan itu pun berbuntut ancaman 12 tahun penjara.

Seolah berita tak mengenakkan tak kunjung usai, yang terbaru, diduga seorang konsulen menendang testis seorang peserta PPDS Universitas Sriwijaya Palembang di Rumah Sakit M Hoesin. Kementerian Kesehatan (Kemenkes) sudah mengonfirmasi laporan tersebut, dan saat ini sedang ditindaklanjuti.

Deretan kasus yang mencuat ini lanjutan dari berbagai isu serupa terkait PPDS dari 2024; perundungan atau bullying serta pungutan liar di RSUP Kandou Manado, hingga kasus dr. Aulia Risma Lestari, seorang peserta PPDS Universitas Diponegoro yang ‘terpaksa’ mengakhiri hidupnya karena perundungan.

Kasus-kasus ini belum termasuk berbagai insiden lainnya di awal 2025 yang mencoreng dunia kedokteran, seperti dokter kandungan cabul dari Garut, serta dugaan pelecehan seksual oleh dokter di Malang.

Inspektur Jenderal Kemenkes Murti Utami mengatakan bahwa sejak dibukanya akses layanan pelaporan perundungan pada 2024, sudah ada sebanyak 2.621 laporan yang masuk, dan sebanyak 620 di antaranya masuk dalam kategori perundungan dengan 363 terjadi di RS milik Kementerian Kesehatan, dan 257 terjadi di luar RS vertikal.

Untuk kasus yang terjadi di luar RS vertikal, Kemenkes bekerja sama dengan Kementerian Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi (Kemendikti Saintek) untuk penyelesaiannya.

Adapun secara spesifik, laporan tentang pemerkosaan tidak ada, namun ada tiga laporan tentang pelecehan seksual dari peserta PPDS. Ketiganya sudah ditindaklanjuti.

post-cover
Polda Jabar saat menghadirkan tersangka Priguna Anugerah Pratama (PAP) atas kasus kekerasan seksual yang terjadi kepada keluarga pasien di Bandung, Jawa Barat, Rabu (9/4/2025). (Foto: Antara/Rubby Jovan)

Keharusan untuk Lakukan Evaluasi

Sejak kasus kekerasan seksual di RSHS, banyak yang menyoroti perlunya pembenahan sistem pendidikan ini. Yang paling banyak ditekankan adalah evaluasi tentang akses ke obat-obat anestesi, solusi bagi status ambigu para peserta yang belajar sambil bekerja, kejelasan prosedur operasional standar (SOP), hingga pemantauan kondisi kejiwaan secara berkelanjutan.

Pengamat manajemen kesehatan lulusan Universitas Airlangga dr. Puspita Wijayanti, MMRS mengatakan perlunya pemantauan kejiwaan secara berkelanjutan, karena tes psikologi yang dilakukan saat rekrutmen atau seleksi hanya memberikan gambaran kesehatan jiwa pada momen pengerjaan saja.

Menurut dia, hal itu tidak dapat memprediksi kondisi psikis di kemudian hari, setelah para peserta diberatkan oleh beban emosional dari pasien, jam kerja panjang, kompetisi, hingga hubungan antarhierarki yang alot. Ketika tekanan tidak dikawal, burnout bisa menjelma menjadi disosiasi, dan jika diabaikan, luka internal bisa berubah menjadi kekerasan eksternal.

Oleh karena itu, perlu ada sejumlah langkah, seperti evaluasi psikologis berkala sebagai bagian dari kurikulum tersembunyi pendidikan dokter spesialis, dilakukan setiap 6 bulan atau tiap transisi rotasi besar.

Terkait status ambigu para peserta PPDS, secara hukum, peserta PPDS adalah peserta pendidikan klinik lanjutan, sebagaimana diatur dalam Undang-Undang No. 20 Tahun 2013 tentang Pendidikan Kedokteran dan Permenkes No. 51 Tahun 2018 tentang Rumah Sakit Pendidikan.

Para peserta masuk ke rumah sakit bukan sebagai pegawai tetap, melainkan untuk menjalani rotasi pembelajaran praktik profesional. Namun pada kenyataannya, para peserta bekerja layaknya dokter definitif, yang memegang wewenang klinis, mengakses data pasien, hingga memutuskan tindakan yang terkadang tanpa pengawasan yang layak.

Puspita menilai, ketika peserta didik diberi beban dan akses pelayanan, tapi tidak diletakkan dalam sistem otorisasi dan pengawasan yang ketat, maka lahirlah area abu-abu mengenai tanggung jawab klinis.

post-cover
Pengamat manajemen kesehatan dr. Puspita Wijayanti, MMRS. (Foto: nosel.id)

Ketua Umum Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Slamet Budiarto juga menggarisbawahi perlunya membatasi waktu kerja atau pendidikan residen. Dia selalu menekankan untuk membatasi waktu maksimal 40-50 jam kerja atau belajar per minggunya.

Slamet juga menyebutkan perlunya SOP yang jelas terkait penanganan atau pemeriksaan lab, bius, dan semacamnya, dan tidak boleh memeriksa pasien sendirian.

Asosiasi Institusi Pendidikan Kedokteran Indonesia (AIPKI) juga mendorong penguatan sistem etika, termasuk SOP interaksi antara tenaga kesehatan dan pasien/keluarga pasien. Rumah sakit pendidikan harus memiliki standar etik dan pengawasan yang tegas dalam kesehariannya.

Perlu Adanya Tes Psikologi

Menteri Kesehatan (Menkes) Budi Gunadi Sadikin mengatakan, pemerintah akan mewajibkan calon mahasiswa PPDS menjalani tes psikologi. Budi menjelaskan, tes psikologi diadakan untuk melihat kondisi kejiwaan para calon siswa tersebut.

“Saat rekrutmen calon peserta pendidikan dokter spesialis itu diwajibkan untuk mengikuti tes psikologis. Sehingga dengan demikian kita bisa mengetahui kondisi kejiwaan dari yang bersangkutan untuk bisa melakukan pendidikan ini,” kata Budi, dalam konferensi pers di Gedung Kemenkes, Jakarta, Senin (21/4/2025).

Menurut Menkes, penting untuk melakukan tes psikologis agar masyarakat dapat terlayani dengan baik. Selain itu, Budi juga meminta ada skrining selama enam bulan sekali untuk melihat kondisi mental pada peserta PPDS selama menjalani pendidikan.

“Sehingga kalau ada hal-hal yang menunjukkan ada tekanan yang sangat di mental mereka bisa kita identifikasi dengan lebih tinggi,” ujar Budi.

Menkes pun meminta agar proses rekrutmen calon dokter spesialis melalui PPDS diperbaiki guna mencegah kejadian serupa berulang.

“Kami merasa harus ada perbaikan yang serius, sistematis, dan konkrit bagi program pendidikan dokter spesialis ini,” ucap dia.

Terkait kasus perundungan, Menkes Budi mengaku banyak mendengar jam kerja mahasiswa PPDS sering kali mendapat beban kerja yang sangat banyak. Apalagi kata Budi, mahasiswa PPDS sering kali bekerja melebihi jam kerja yang seharusnya.

“Kami mendengar bahwa peserta didik dokter spesialis ini dipaksa bekerja luar biasa. Banyak yang bilang ini untuk latihan mental, tapi menurut saya terlalu berlebihan,” kata Budi.

Ia menjelaskan, aturan mengenai jam kerja bagi PPDS sebenarnya sudah ada aturan dan diterapkan di seluruh dunia. Oleh karena itu, Budi meminta semua rumah sakit yang berada di bawah naungan Kemenkes untuk mematuhi aturan jam kerja yang ada.

“Aturan-aturan mengenai jam kerja bagi peserta didik itu dan seluruh dunia juga ada. Saya minta ini benar-benar dipatuhi,” ujarnya. 

post-cover
Menteri Kesehatan (Menkes) Budi Gunadi Sadikin. (Foto: Antara/Aditya Pradana Putra) 

Kendati memang harus bekerja lembur, Budi meminta agar mahasiswa PPDS diberi libur pada hari berikutnya untuk mencegah kelelahan yang berdampak pada kesehatan mental.

“Kalau mereka harus bekerja over time harus libur di satu hari berikutnya. Karena beban kerja yang sangat tinggi kalau dilakukan terus menerus akan sangat menekan kondisi psikologis,” ungkapnya.

Menkes juga minta pada semua rumah sakit Kementerian Kesehatan yang melakukan pendidikan dokter spesialis ini secara disiplin mematuhi jam kerja para peserta didik.

Langkah Bersama Kemenkes dan Kemendikti Saintek

Sementara itu, Kementerian Pendidikan Tinggi Sains Teknologi (Kemendikti Saintek) bersama Kemenkes menyiapkan panduan penanganan dan pencegahan kekerasan seksual di lingkungan pendidikan kedokteran. Panduan tersebut akan disusun oleh komite bersama yang dibentuk oleh Kemendikti Saintek dan Kemenkes.

“Kami telah membentuk Komite bersama untuk menyusun pedoman pencegahan dan penanganan kekerasan (seksual) di pendidikan kedokteran,” ujar Mendikti Saintek Brian Yuliarto dalam siaran YouTube, Senin (21/4/2025).

Panduan tersebut nantinya diharapkan bisa menjadi langkah preventif agar kasus kekerasan seksual di lingkungan pendidikan kedokteran tak terjadi lagi. Selain itu, diharapkan bisa menjadi langkah perbaikan dan perubahan sistem pendidikan profesi dokter bisa berjalan lebih baik.

Brian juga menegaskan, kasus pemerkosaan anak pasien yang dilakukan dokter residen Unpad bernama Priguna Anugerah Pratama mencederai rasa keadilan dan martabat manusia. Selain itu, kasus pemerkosaan oleh Priguna merusak kepercayaan publik terhadap institusi pendidikan kedokteran dan rumah sakit sebagai tempat belajar.

“Peristiwa ini tentu mencederai rasa keadilan, martabat kemanusiaan, dan kepercayaan publik terhadap institusi pendidikan kedokteran serta rumah sakit sebagai tempat belajar dan memberikan pelayanan,” kata Brian.

Brian menegaskan, segala bentuk kekerasan seksual di ruang pendidikan dan pelayanan kesehatan harus harus ditindak tegas tanpa toleransi baik secara akademik, administratif, dan hukum. Karena tekanan, kasus ini tidak dapat dianggap sebagai peristiwa yang hanya terjadi pada suatu hari.

“Kita tidak boleh memandang kasus ini sebagai peristiwa individual semata. Kasus ini sebagai alarm atas perlunya evaluasi dalam sistem pendidikan profesi kedokteran kita,” tambah Brian.

Ia pun mengapresiasi langkah cepat Unpad telah menonaktifkan Priguna dari seluruh kegiatan pendidikan dan klinik dalam waktu 24 jam sejak kasusnya dilaporkan.

post-cover
Menteri Pendidikan Tinggi Sains Teknologi (Mendikti Saintek) Brian Yuliarto. (Foto: Antara/Sean Filo Muhamad)

Selain itu, Rektor Unpad juga telah mengeluarkan Priguna dari studi secara permanen. Pelaku langsung dinonaktifkan dari seluruh kegiatan akademik maupun klinik, investigasi internal juga dilakukan dan pelaku sudah mengakui perbuatannya.

Menurut Brian, kasus kekerasan seksual ini merupakan ujian sistem pendidikan profesi kedokteran untuk semua pihak baik dari pemerintah maupun institusi pendidikan.

“Kami dari Kemdikti Saintek bersama Kemenkes dan institusi lainnya, kami akan bekerja tanpa ada kompromi. Dunia tambah pendidikan harus bersih dari kekerasan,” Brian.

Ia pun mengingatkan para pimpinan perguruan tinggi yang memiliki fakultas kedokteran, rumah sakit pendidikan, pendidikan klinik, dan masyarakat untuk bersama-sama membenahi sistem pendidikan profesi kedokteran.

“Menjadikan ruang pendidikan termasuk sistem di rumah sakit sebagai tempat yang aman dan aman,” tambah Brian.

Sejauh ini, Kemenkes telah membekukan tiga program studi dokter spesialis, yakni prodi anestesi di Rumah Sakit Kariadi, prodi penyakit dalam di Rumah Sakit Kandou, dan prodi anestesi di Rumah Sakit Hasan Sadikin. Hal ini sebagai salah satu upaya evaluasi sistem pendidikan.

Orang bijak berkata, “waktu terbaik pertama untuk memulai adalah kemarin, dan waktu terbaik kedua untuk memulai adalah sekarang.”

Dokter sering disebut-sebut sebagai penyelamat jiwa, dan sekarang adalah waktu yang tepat bagi bangsa untuk menyelamatkan jiwa para calon dokter spesialis ini, sebelum bakat dan niat luhur mereka hangus oleh sesuatu yang sebenarnya bisa dicegah.

 

 

Exit mobile version