Rencana Presiden Prabowo Subianto untuk mendirikan dua jenis sekolah, yaitu Sekolah Rakyat dan Sekolah Unggul Garuda, memunculkan berbagai tanggapan dari masyarakat. Sementara pemerintah menyebut program ini bertujuan menciptakan pendidikan yang inklusif dan berkualitas, kritik datang dari sejumlah pihak yang mengkhawatirkan dampak negatif seperti diskriminasi dan segregasi sosial.
Visi Pemerintah: Pendidikan Bermutu untuk Semua
Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah (Mendikdasmen) Abdul Mu’ti menjelaskan bahwa gagasan ini bertujuan untuk memberikan akses pendidikan berkualitas kepada semua lapisan masyarakat, terutama mereka yang berasal dari keluarga kurang mampu.
“Jangan berpikir bahwa mereka yang punya status sosial ekonomi tidak mampu itu pendidikannya tidak unggul. Justru yang dikehendaki Pak Presiden adalah mereka yang secara ekonomi belum beruntung berkesempatan mendapatkan pendidikan di sekolah yang bermutu,” ujar Abdul Mu’ti dalam sebuah acara di Jakarta, Rabu (15/1) kemarin.
Abdul Mu’ti memastikan bahwa Sekolah Rakyat, yang dikelola oleh Kementerian Sosial (Kemensos), dan Sekolah Unggul Garuda, di bawah Kementerian Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi (Kemendiktisaintek), akan berjalan dengan skema terintegrasi tanpa tumpang tindih. “Kami akan memastikan pelaksanaannya sejalan dan saling melengkapi,” tambahnya.
Konsep Sekolah Rakyat
Menteri Sosial Saifullah Yusuf (Gus Ipul) menjelaskan bahwa Sekolah Rakyat ditujukan untuk anak-anak dari keluarga penerima manfaat (KPM), terutama mereka yang masuk kategori miskin ekstrem. Sekolah ini dirancang menyerupai konsep asrama (boarding school), sehingga tidak hanya memberikan pendidikan gratis tetapi juga pemenuhan kebutuhan gizi.
“Ini untuk memastikan bahwa anak-anak yang tidak mampu tetap mendapatkan pendidikan yang layak dan berkualitas. Dalam pelaksanaannya, kami terbuka untuk kolaborasi dengan sektor swasta,” ujar Gus Ipul.
Kritik: Potensi Diskriminasi dan Segregasi Sosial
Koordinator Nasional Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI), Ubaid Matraji, menyoroti beberapa potensi masalah jika kebijakan ini diterapkan. Menurutnya, pembagian sekolah berdasarkan status sosial dapat menciptakan diskriminasi dan memperkuat segregasi sosial.
“Sekolah Rakyat berpotensi melanggengkan ketimpangan kelas atau kasta. Anak-anak dari keluarga miskin akan terus terjebak dalam siklus ketidaksetaraan, sementara anak-anak dari keluarga lebih mampu mendapatkan keuntungan besar dari Sekolah Unggul,” ujar Ubaid dalam keterangannya, Kamis (16/1).
Ia juga mengingatkan bahwa kebijakan serupa pernah dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi (MK) pada 2013, ketika Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional (RSBI) dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945.
“Layanan pendidikan itu harus inklusif, bukan diskriminatif. Semua anak punya hak yang sama untuk mendapatkan pendidikan berkualitas,” tegasnya.
Masalah Lain: Ketimpangan Mutu dan Akses
Data PISA 2022 menunjukkan bahwa mutu pendidikan Indonesia masih rendah dengan kesenjangan besar antara wilayah. JPPI menilai, jika pemerintah tidak fokus pada pemerataan kualitas sekolah, maka ketimpangan ini akan terus memburuk.
“Alih-alih memisahkan siswa berdasarkan status sosial, seharusnya pemerintah memastikan bahwa semua sekolah memiliki standar mutu yang sama. Jangan sampai ada sekolah yang dianggap ‘unggulan’ dan sekolah lain sebagai ‘pilihan terakhir’,” tambah Ubaid.