News

Pemusnahan Amunisi TNI di Garut, Nyawa Pencari Uang Tambahan pun Ikut Musnah


Wajah-wajah muram dan mata sembab serta suara tangis terdengar dari ruangan kecil di sudut Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Pameungpeuk, Kabupaten Garut. Ada yang duduk sambil memeluk lutut, ada yang berdoa dalam diam, ada pula yang bertanya dalam hati, mengapa tragedi itu menimpa keluarganya.

Empat anggota TNI AD dan sembilan warga sipil tewas akibat ledakan saat pemusnahan amunisi tak layak pakai di Desa Sagara, Kecamatan Cibalong, Garut, Jawa Barat Senin (12/5/2025). Sebagian besar korban merupakan sosok tulang punggung yang bertaruh maut demi kehidupan keluarganya. 

Hingga Selasa (13/5/2025) jelang siang, puluhan warga dan anggota TNI masih memadati teras dan bagian samping bangunan RSUD itu di sekitar ruang kamar jenazah untuk menunggu hasil identifikasi. Beberapa di antaranya memilih untuk bermalam. 

Belasan lainnya duduk di selasar Masjid Syifaul Jabbar yang berada tak jauh dari ruang kamar jenazah. Beberapa di antaranya baru datang untuk membuat laporan keluarganya yang hilang setelah kejadian tersebut.

Pulang tanpa Nyawa

Dede (38), seorang ibu muda, terlihat bolak-balik mengintip ke dalam kamar jenazah. Matanya sembab, sesekali ia tampak memeluk anak laki-lakinya. Di dalam sana suaminya, Endang menjadi salah satu korban tewas akibat ledakan. Sudah 38 hari Dede tak bertemu dengan sang suami karena jarak tempat kerjanya yang jauh dari rumah.

Baca Juga:  Dirjen Dikti Siapkan Program Khusus untuk Sarjana Unggul, 4 Tahun Langsung Jadi Doktor

“Sudah 38 hari, suami tidak pulang ke rumah karena bekerja di Kecamatan Cibalong. Almarhum berjanji kepada saya dan anak-anak akan pulang Senin ini, tapi ternyata untuk selamanya,” kata Dede (38) saat ditemui Inilah.com.

Foto SYAHIDAN LEDAKAN GARUT1.jpg
Keluarga korban ledakan saat pemusnahan amunisi masih menunggu di depan Ruang Jenazah RSUD Pameungpeuk (Foto: Inilah.com/Syahidan)

Endang, seperti banyak warga lainnya, bukan pegawai tetap. Ketika ada tawaran ikut bekerja di pemusnahan amunisi, ia anggap itu berkah, bukan musibah. Dalam kesehariannya, pria berusia 44 tahun, menjalani hidup sebagai sopir serabutan. Ia mengangkut apa pun yang bisa menghasilkan nafkah, dari material bangunan hingga mesin-mesin-mesin pertanian. 

Hidupnya sederhana dan keras, hingga sekitar sebulan yang lalu, takdir membawanya pada sebuah peristiwa yang mengubah segalanya. Seseorang bernama Iyus yang juga korban dalam ledakan tersebut mengajak Endang untuk ikut dalam kegiatan berisiko tinggi yakni pemusnahan amunisi tak layak pakai di Desa Sagara. 

Baca Juga:  Anis Terpilih Jadi Ketua Komnas HAM Gantikan Atnike

Dari kediamannya di Desa Ciudian, Kecamatan Singajaya, Garut, Endang menempuh perjalanan sekitar tiga jam menuju Desa Sagara. Demi menekan biaya dan tetap bisa bekerja, ia tinggal di sebuah mes sederhana yang disediakan di tempat itu. Di sana, tugas Endang bukan sekadar mengemudi. Ia mengangkut amunisi dari gudang ke lokasi peledakan, menurunkannya dari kendaraan, dan memindahkannya satu per satu ke lubang-lubang tempat amunisi itu akan dimusnahkan.

Ia tak menyadari maut tengah mengintai setiap. ”Selama sebulan lebih, almarhum bekerja keras di sana untuk biaya hidup kami. Ternyata semangat juangnya berakhir dengan musibah ini,” ujar Dede yang mengaku pasrah dan berharap ada pihak yang bertanggung jawab dalam musibah ini. 

Sama seperti Dede, Ayat (35) juga kehilangan dua kakaknya Iyus dan Anwar. Iyus merupakan warga Desa Cidaho, sedangkan Anwar bermukim di Desa Cikoneng. Sehari-hari Iyus bekerja sebagai petani, sedangkan Anwar adalah buruh bangunan yang bekerja serabutan. 

Saat ledakan terjadi keduanya berada di lokasi untuk mendapatkan bahan kuningan dan besi untuk dijual. Mereka berdua berani mengambil risiko demi tambahan penghasilan. Hanya saja, risiko itu ternyata terlalu besar untuk dikompensasi dengan beberapa kilogram logam bekas.

Baca Juga:  Usai Disomasi, KPK Beri Sinyal akan Umumkan Tersangka Kasus CSR BI

”Keduanya tidak memiliki pekerjaan tetap. Salah satu cara untuk mendapatkan penghasilan tambahan, yaitu menjual besi dan bahan kuningan bekas pemusnahan amunisi tidak layak pakai,” ujar Ayat.

Salim (63) saksi mata dan keluarga salah satu korban mengaku bahwa saat pemusnahan amunisi itu banyak warga yang memburu kepingan sisa-sisa amunisi. “Ada sekitar seratus, malah lebih. Kemarin saya lihat lagi nyari-nyari itu (serpihan amunisi). Alhamdulillah tapi warga yang lagi nyari bekas ini tuh enggak ada yang celaka,” kata Salim saat ditemui di RSUD Pameungpeuk Garut, Selasa (12/5).

Tragedi ini membuka wajah lain dari kemiskinan di pelosok Tanah Air. Ketika warga harus mempertaruhkan nyawa demi pekerjaan yang sangat berisiko. Sepertinya di republik ini, besi tua dan nyawa punya nilai yang hampir sebanding yakni sama-sama dihargai murah.

Back to top button