Pemerintah Belum Terima Nota Diplomatik dari Brasil Buntut Kematian Juliana Marins


Menteri Koordinator bidang Hukum, HAM, Imigrasi, dan Pemasyarakatan Yusril Ihza Mahendra menyatakan pemerintah belum menerima surat atau nota diplomatik apapun dari Pemerintah Brasil yang mempertanyakan insiden kematian pendaki Gunung Rinjani, Juliana Marins. 

Ia mengatakan pihaknya terus berkoordinasi dengan Menteri Koordinator bidang Politik dan Keamanan Budi Gunawan dan Menteri Luar Negeri Sugiono dalam menyikapi insiden kematian tersebut.

“Yang bersuara lantang atas insiden kematian Juliana Marins ini adalah Pembela HAM dari The Federal Public Defender’s Office of Brazil (FPDO), sebuah lembaga independen negara seperti Komnas HAM di sini, yang menangani advokasi atas laporan kasus-kasus pelanggaran HAM di Brasil,” kata Yusril dalam konferensi pers di Kantor Kumham Imipas, Kuningan, Jakarta Selatan, Jumat (4/7/2025).  

Yusril menegaskan pemerintah Indonesia memberi perhatian dengan seksama berbagai statemen yang dikemukakan lembaga tersebut, termasuk ancaman mereka untuk membawa insiden kematian ini ke ranah hukum internasional. 

Bahkan, ungkapnya, mereka disebut-sebut akan menuntut Pemerintah RI ke Inter American Commission on Human Rights.

“Pemerintah RI bukanlah pihak dalam konvensi maupun anggota dari komisi tersebut. Setiap upaya untuk membawa negara kita ke sebuah forum internasional apapun, bahkan termasuk lembaga peradilan seperti International Court of Justice (ICJ) ataupun International Criminal Court (ICC) di Den Haag tidak mungkin dapat dilakukan tanpa kita menjadi pihak dalam konvensi atau statutanya, dan kita setuju lebih dahulu untuk membawa sebuah kasus ke badan itu. Itu adalah prinsip dalam hukum dan tata krama internasional,” ujarnya.  

Dalam kesempatan yang sama, Yusril menjelaskan pemerintah Indonesia telah melakukan upaya evakuasi dan otopsi yang dilakukan di sebuah Rumah Sakit di Denpasar. Di mana, hasil otopsi dengan jelas menunjukkan Juliana Marins meninggal antara 15 hingga 30 menit setelah badannya terhempas di bebatuan gunung akibat kerusakan organ dan patah tulang yang parah karena terjatuh dari ketinggian 600 meter itu.

“Pihak keluarga memang mempertanyakan jarak waktu antara saat terjatuh dan kematian, karena mereka berpikir ada keterlambatan datangnya pertolongan, sementara korban diduga masih hidup. Secara medis, secepat apapun pertolongan datang, upaya untuk menyelamatkan nyawa korban dalam insiden jatuh seperti itu hampir mustahil dapat dilakukan,” tuturnya.

Sebelumnya, Brasil berencana menempuh jalur hukum jika hasil autopsi lanjutan mendiang Juliana Marins menunjukkan ada kelalaian yang menyebabkan perempuan 26 tahun itu meninggal dunia. Marins meninggal dunia usai terjatuh saat mendaki pada 21 Juni lalu dan baru berhasil dievaluasi oleh Tim SAR setelah 4 hari karena banyaknya kendala.

Advokat HAM dari Kantor Federal Pembela Publik Brasil (Federal Public Defender’s Office/DPU), Taisa Bittencourt, menuturkan otoritas Brasil tengah melakukan autopsi ulang kepada Marins setelah mendapat permintaan dari pihak keluarga.

Hasil autopsi ini disebut akan menentukan apakah otoritas Brasil akan mengajukan penyelidikan internasional atas kematian Marins atau tidak.
 

Exit mobile version