Pelajari Data PBB, Serikat Petani: Kelangkaan Pangan dan Kemiskinan Sudah di Depan Mata

Laporan PBB bertajuk The State of Food Security and Nutritionin the World-SOFI yang dirilis Juli 2024, memaparkan 733 juta manusia atau setara 9,2 persen penduduk dunia, berada dalam keadaan lapar. Ancaman kelaparan sudah di depan mata.
Ketua Umum Serikat Petani Indonesia (SPI), Henry Saragih mengatakan, situasi pangan dunia seperti laporan PBB, menunjukkan adanya ketidakberesan dalam pengelolaan pangan.
“Menurut data SOFI itu, angka kelaparan dunia mengalami peningkatan sejak 2019. Di mana, jumlahnya hanya 7,5 persen, sekarang naik menjadi 9,2 persen. Akibat orientasi tata kelola pangan yang masih sekadar ketahanan pangan, bukan kedaulatan pangan,” papar Henry, Jakarta, Rabu (16/10/2024).
Henry bilang, kelemahan terbesar dari ketahanan pangan adalah ketergantungan dan suboordinasi yang terjadi di setiap aspek produksi pangan. Di era Prabowo Subianto, perlu perubahan ke arah kedaulatan pangan yang menjamin hak setiap bangsa dan setiap rakyat untuk memroduksi pangan secara mandiri.
“Dalam rangka ‘Hari Pangan Sedunia’ yang diperingati setiap 16 Oktober, SPI mendorong agar kedaulatan pangan menjadi dasar kebijakan pangan. Tidak hanya di tingkat global, melainkan juga di level nasional,” ungkap Henry.
Upaya mendorong kedaulatan pangan sebagai dasar kebijakan pertanian/pangan di Indonesia, kata dia, semakin menemukan relevansi dengan kondisi saat ini.
Mengacu pada Global Hunger Index (GHI) 2024, Indonesia berada di tingkat ‘moderat’. Meski mengalami penurunan, nyatanya Indonesia tidak beranjak dari status ‘moderat’ sejak 2016. Hal ini tercermin dari berbagai permasalahan pangan yang masih mendera Indonesia, seperti kurang gizi hingga tengkes (stunting). “SPI mencatat terdapat 6 hal yang mengakibatkan kebijakan Indonesia saat ini semakin jauh dari kedaulatan pangan” ujarnya.
“Pertama, terkait reforma agraria sebagai perlindungan dan pemenuhan hak atas tanah bagi petani di Indonesia. Bagi petani, jaminan hak atas tanah adalah yang utama. Kondisi Indonesia saat ini, kita melihat bagaimana jumlah petani gurem meningkat,” imbuhnya.
Berdasarkan data Sensus Pertanian 2024, jumlah rumah tangga usaha dari petani gurem pada 2023, berjumlah 16,8 juta jiwa. Atau meningkat dari sebelumnya 14,2 juta jiwa pada 2013. “Bagaimana kita mau memastikan produksi cukup, kalau ternyata petani hak petani atas tanah dan luasan yang layak masih belum terpenuhi,” ujarnya.
Henry juga mengaitkan hal tersebut dengan gagalnya kebijakan reforma agraria diimplementasikan di Indonesia.
“Seharusnya hak atas tanah bagi petani dan produsen pangan skala kecil lainnya, bisa diatasi. Kalau reforma agraria dijalankan secara sungguh-sungguh. Melalui redistribusi tanah dan bantuan terhadap pengelolaan pasca redistribusi, para petani dapat memproduksi pangan dengan baik,” ungkapnya.
Kedua, Henry menyebut UU Cipta Kerja yang memperlemah sektor pertanian di Indonesia. Karena mengubah, menghapus, dan mengganti beberapa pasal dalam undang-undang yang memandatkan pelaksanaan kedaulatan pangan. “Ketiga, ketergantungan akan impor pangan yang semakin menguat di Indonesia. dipengaruhi tidak seriusnya pembenahan sektor pertanian Indonesia,” punglasnya.
Keempat, lanjutnya, ketidakstabilan harga pangan di Indonesia akibat masih lemahnya mekanisme pengaturan harga pangan di pemerintah. Mengakibatkan harga pangan strategis seperti minyak goreng sawit, dan beras mengalami gejolak harga.