Ormas Ganggu Pabrik BYD dan Vinfast di Subang, Pemerintah Klaim Masalah Teratasi


Kasus dugaan gangguan organisasi masyarakat (ormas) terhadap pembangunan pabrik kendaraan listrik milik BYD dan Vinfast di Subang, Jawa Barat, akhirnya mendapat perhatian serius dari pemerintah. Meski sempat mengemuka adanya praktik premanisme, kedua pabrikan asal Tiongkok dan Vietnam itu kini diklaim telah kembali menjalankan pembangunan secara normal.

Wakil Menteri Perindustrian (Wamenperin) Faisol Riza menyatakan bahwa pihak BYD telah menangani gangguan tersebut secara mandiri.

“BYD menyatakan bahwa mereka bisa atasi,” kata Faisol di Jakarta, Senin (28/4/2025), setelah melakukan komunikasi langsung dengan perusahaan dan meninjau kondisi lapangan.

Faisol menegaskan, kejadian serupa tidak boleh terjadi kembali di masa mendatang, terutama karena dapat merusak iklim investasi industri kendaraan listrik yang tengah tumbuh di Indonesia. Ia menyebut pemerintah akan terus melakukan koordinasi dengan pemangku wilayah guna memastikan keamanan proyek-proyek strategis tersebut.

Investasi Besar, Target Produksi 2026

Pabrik BYD yang berlokasi di kawasan Subang Smartpolitan, dibangun dengan nilai investasi mencapai Rp11,7 triliun. Pabrik ini direncanakan mulai beroperasi pada tahun 2026, sebagai basis produksi kendaraan listrik BYD di kawasan Asia Tenggara.

BYD sendiri baru saja tampil agresif di PEVS 2025, dengan membawa enam model EV dan mencatat penguasaan pasar mobil listrik nasional sebesar 50 persen pada kuartal I 2025.

Gangguan Serupa Dialami Vinfast

Selain BYD, Vinfast juga dilaporkan pernah mengalami gangguan serupa saat memulai pembangunan pabrik mereka di wilayah Subang. Informasi ini disampaikan oleh Ketua Umum Periklindo, Moeldoko, yang mengaku turut membantu menyelesaikan persoalan tersebut.

“Saya juga pernah mendapat laporan seperti Vinfast ada gangguan, tapi kami sudah bantu untuk dikoordinasikan ke wilayah setempat,” ujar Moeldoko di Jakarta, Selasa (22/4).

Vinfast diketahui telah memulai konstruksi pabrik sejak 2024 dengan investasi tahap awal senilai US$200 juta atau sekitar Rp3,2 triliun. Fasilitas ini berdiri di lahan seluas lebih dari 100 hektare, dengan kapasitas produksi 50 ribu unit per tahun, dan ditargetkan menyerap 1.000–3.000 tenaga kerja lokal.

Exit mobile version