News

Niat Atasi Putus Sekolah, Kebijakan 50 Siswa Gubernur Jabar Justru Dinilai Merusak Pendidikan


Niat baik Pemerintah Provinsi Jawa Barat untuk menekan tingginya angka putus sekolah melalui kebijakan penambahan kuota siswa per kelas menuai kritik tajam. 

Perhimpunan Pendidikan dan Guru (P2G) menilai kebijakan Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi yang mengizinkan 50 siswa dalam satu kelas justru merupakan langkah kontraproduktif yang berpotensi merusak kualitas dan ekosistem pendidikan secara keseluruhan.

Meskipun memahami itikad baik di balik kebijakan tersebut, P2G menegaskan bahwa solusi yang ditawarkan adalah solusi instan jangka pendek yang mengabaikan dampak negatif yang jauh lebih besar bagi siswa, guru, dan institusi pendidikan.

“Kami menilai, memasukkan 50 murid SMA ke satu kelas justru solusi instan jangka pendek,” ujar Kepala Bidang Advokasi P2G, Iman Zanatul Haeri, dalam keterangan resminya kepada inilah.com, Minggu (6/7/2025).

Menurut P2G, kebijakan ini tidak menyentuh akar masalah putus sekolah yang kompleks, seperti pernikahan dini, kemiskinan ekstrem, anak berhadapan dengan hukum, atau anak yang memilih menjadi pekerja.

Baca Juga:  Putusan MK Soal Pemisahan Pemilu Nasional dan Daerah Dinilai Memicu Revisi UU

Kualitas Pendidikan dan Hak Siswa Terancam

Kerusakan pertama yang disorot P2G adalah penurunan drastis kualitas proses belajar mengajar. Dengan 50 siswa berdesakan dalam ruang kelas yang idealnya dirancang untuk 36 orang, kondisi belajar dinilai tidak akan efektif.

“Kelas akan terasa sumpek, seperti penjara. Kelas jadi pengap, suara guru tidak terdengar apalagi jika siswa berisik, kelas tidak kondusif, dan interaksi murid sangat terbatas,” terang Iman.

Lebih fatal lagi, kebijakan ini secara terang-terangan menabrak aturan pemerintah pusat, yaitu Permendikbudristek Nomor 48 Tahun 2023 dan Keputusan Kepala BSKAP Nomor 071/H/M/2024, yang secara tegas membatasi rombongan belajar tingkat SMA/SMK maksimal 36 siswa.

Koordinator Nasional P2G, Satriwan Salim, menambahkan adanya ancaman serius terhadap hak-hak dasar siswa. Siswa yang diterima di luar kuota resmi berisiko tidak terdaftar dalam Data Pokok Pendidikan (Dapodik), yang dapat berujung pada status mereka yang tidak diakui.

Baca Juga:  Larangan Perjalanan Trump Mulai Berlaku, Warga 12 Negara Ini Dilarang Masuk AS

“P2G khawatir murid-murid ini tidak akan dapat ijazah. Bisa dianggap sebagai siswa ilegal di kelas dan tentu merugikan hak-hak dasar anak dalam mendapatkan pendidikan,” tegas Satriwan.

Membunuh Sekolah Swasta Secara Perlahan

Di sisi lain, kebijakan ini dinilai akan menjadi lonceng kematian bagi sekolah-sekolah swasta. Dengan konsentrasi siswa yang menumpuk di sekolah negeri, sekolah swasta akan kehilangan calon pendaftar secara signifikan.

Fenomena ini dilaporkan sudah mulai terasa. P2G mencontohkan SMA Bhakti Putra Indonesia di Garut Selatan yang hanya menerima 13 pendaftar dan SMA Pasundan di Tasikmalaya yang hanya mendapat 4 calon murid.

“Jangan sampai kebijakan Gubernur Jabar KDM ini ‘membunuh’ pelan-pelan sekolah swasta, yang selama ini sudah berjuang bersama untuk mencerdaskan kehidupan bangsa,” ujar Satriwan.

Baca Juga:  MPR Minta Pemerintah Tindak Tegas Oknum yang Masukan Pulau RI ke Situs Jual-Beli Online

Sebagai solusi yang lebih komprehensif, P2G menawarkan empat langkah konkret:

  1. Menambah ruang kelas baru (RKB) atau rombongan belajar.
  2. Membangun Unit Sekolah Baru (USB) dengan mempertimbangkan keberadaan sekolah swasta di sekitarnya.
  3. Melibatkan sekolah swasta dalam “Skema PPDB Bersama” di mana biaya siswa ditanggung pemerintah, mencontoh model yang sudah berjalan di DKI Jakarta.
  4. Sinergi pemerintah pusat dan daerah untuk mewujudkan sekolah gratis berkualitas sesuai amanat konstitusi.

P2G berharap pemerintah provinsi dapat mempertimbangkan kembali kebijakannya dan memilih solusi yang tidak hanya fokus pada penurunan angka, tetapi juga pada peningkatan mutu dan keberlanjutan sistem pendidikan di Jawa Barat.
 

Back to top button