Musim Kemarau 2025 Mundur, BMKG Ungkap Anomali Cuaca yang Mengejutkan


Musim kemarau tahun 2025 di Indonesia mengalami kemunduran dari jadwal normalnya. Hingga awal Juni 2025, Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) mencatat baru sekitar 19 persen zona musim (ZOM) di Indonesia yang telah memasuki musim kemarau. Sebagian besar wilayah masih tergolong dalam kategori musim hujan.

Kepala BMKG Dwikorita Karnawati menjelaskan, kondisi ini disebabkan oleh curah hujan yang lebih tinggi dari biasanya selama April hingga Mei, yang seharusnya menjadi masa peralihan dari musim hujan ke musim kemarau.

“Prediksi musim dan bulanan yang kami rilis sejak Maret lalu menunjukkan adanya anomali curah hujan di atas normal di beberapa wilayah selatan Indonesia. Ini menjadi dasar utama dalam memprediksi mundurnya musim kemarau tahun ini,” ujar Dwikorita dalam keterangan tertulis, Sabtu (21/6).

Kemarau Basah hingga Agustus

BMKG memperkirakan bahwa pola musim kemarau tahun ini tidak akan seragam secara nasional. Pada Juni hingga Agustus 2025, sebanyak 56 hingga 85 persen wilayah Indonesia diprediksi masih akan mengalami hujan dengan intensitas lebih tinggi dari normal. Fenomena ini dikenal dengan istilah kemarau basah.

Rinciannya, pada Juni 2025 diperkirakan 56,54 persen wilayah akan lebih basah dari biasanya. Angka itu naik menjadi 75,3 persen pada Juli, dan terus meningkat hingga 84,94 persen wilayah pada Agustus.

Berdasarkan data sifat hujan pada dasarian pertama Juni, sekitar 72 persen wilayah berada dalam kategori normal, 23 persen di bawah normal (lebih kering), dan hanya 5 persen yang mengalami curah hujan di atas normal.

BMKG juga mencatat, wilayah Sumatera dan Kalimantan menunjukkan tanda-tanda awal musim kemarau lebih cepat, karena telah mengalami beberapa dasarian berturut-turut dengan curah hujan yang rendah. Sebaliknya, wilayah Indonesia bagian selatan seperti Jawa, Bali, NTB, dan NTT justru masih mengalami hujan di atas normal.

Durasi Kemarau Diprediksi Lebih Pendek

Dalam proyeksi BMKG, durasi musim kemarau tahun ini kemungkinan lebih pendek dari biasanya, seiring berlanjutnya pola curah hujan tinggi hingga Oktober 2025.

Dwikorita menekankan pentingnya kesiapsiagaan seluruh pihak dalam menghadapi dinamika iklim yang kian tidak menentu.

“Kita tidak bisa lagi berpaku pada pola iklim lama. Perubahan iklim global memicu berbagai anomali yang harus diwaspadai. Adaptasi dan mitigasi harus dilakukan secara cepat dan tepat,” tegasnya.

BMKG mengimbau pemerintah daerah, pelaku pertanian, dan masyarakat luas untuk menyesuaikan aktivitas dan perencanaan terhadap kondisi cuaca yang tidak menentu, termasuk potensi gagal panen, banjir lokal, dan gangguan aktivitas harian akibat cuaca ekstrem di musim yang seharusnya kering.

Exit mobile version