Momentumnya tak Pas, Ekonom: Program 3 Juta Rumah, Mimpi Besar yang Pasti Gagal

Program 3 juta rumah di era pemerintahan Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka bertujuan mulia, menyediakan hunian layak bagi rakyat berkantong tipis.
Selain itu, program ini bertujuan untuk mengurangi angka backlog 12,7 juta unit, sekaligus stimulus sektor properti dan lapangan kerja.
Namun, menurut ekonom UPN Veteran Jakarta, Achmad Nur Hidayat, realisasi program pembangunan 3 juta rumah, menghadapi jalan terjal. Bukan hanya dari sisi teknis dan pembiayaan, melainkan juga kegagalan membaca konteks sosial-ekonomi masyarakat saat ini.
Dia pun mengkritisi pernyataan Wakil Menteri Perumahan dan Kawasan Permukiman (PKP), Fahri Hamzah terkait adanya komitmen pinjaman lunak senilai Rp50 triliun dari lembaga multilateral seperti World Bank, ADB, dan AIIB.
“Ini, tentunya angin segar secara fiskal. Namun apakah solusi pendanaan, otomatis menjawab seluruh tantangan dalam eksekusi program ini? Jawabannya tidak sesederhana itu,” kata Achmad Nur, Jakarta, Rabu (7/5/2025).
Dia mengingatkan, program perumahan rakyat bakal ‘gatot’ atau gagal total jika calon penghuninya tidak memiliki kapasitas ekonomi untuk mencicil rumah, bahkan sekelas rumah bersubsidi sekalipun. Cukup beralasan karena Indonesia dihadapkan kepada gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK), terutama sektor manufaktur dan tekstil.
“Ribuan pekerja kehilangan pekerjaan atau mengalami pemangkasan jam kerja dan penghasilan. Sementara itu, inflasi harga pangan dan energi terus menekan daya beli rumah tangga menengah ke bawah,” ungkapnya.
Ketika masyarakat sibuk bertahan hidup dan memenuhi kebutuhan dasar seperti makan dan transportasi, lanjut Achmad Nur, keinginan memiliki rumah menjadi mimpi kesekian kali.
“Bahkan skema Kredit Pemilikan Rumah (KPR) subsidi pun tetap tak terjangkau jika pendapatan tetap, tidak mencukupi untuk bayar uang muka dan cicilan bulanan,” imbuhnya.
Maka, keliru besar bila pemerintah hanya berfokus kepada aspek pembangunan fisik namun melupakan kesiapan sosial ekonomi dari masyarakat penerima manfaat.
Agar program 3 juta rumah tidak menjadi proyek politis semata, menurut Achmad Nur, sejumlah langkah strategis mutlak diperlukan. Pertama, publikasikan roadmap yang rinci dan kredibel. Dokumen perencanaannya harus mencakup pembagian peran antar lembaga, skema pembiayaan, target kawasan prioritas, hingga mekanisme partisipasi swasta.
Kedua, kata Achmad Nur, sederhanakan perizinan pembangunan. Reformasi birokrasi, termasuk digitalisasi proses izin, akan menurunkan cost of doing business dan meningkatkan minat investor.
“Ketiga, kembangkan skema pembiayaan campuran (blended finance). Kombinasi antara APBN, obligasi daerah, pembiayaan swasta, hingga crowdfunding bisa menciptakan ekosistem investasi yang inklusif dan efisien,” imbuhnya.
Keempat, lanjutnya, dirikan kembali Kementerian Perumahan Rakyat. Institusi ini penting untuk mengonsolidasikan kebijakan, mempercepat pengambilan keputusan, dan memastikan proyek ini tidak kehilangan arah.
“Kelima, bangun sistem pengawasan berbasis digital. Transparansi dan akuntabilitas dalam penggunaan dana, baik publik maupun donor, harus menjadi prinsip utama. Publik perlu tahu, setiap rupiah dalam program ini digunakan untuk siapa dan bagaimana,” pungkasnya.