Misteri Mahalnya Tiket Pesawat Domestik

Fenomena mahalnya tiket pesawat domestik yang lebih tinggi daripada tiket pesawat ke luar negeri membuat dahi berkerut bagi banyak warga negara Indonesia. Ke negara-negara tetangga, misalnya, terkadang terasa lebih terjangkau dibandingkan menjelajahi kepulauan Nusantara melalui jalur udara. Bagaimana mungkin sebuah perjalanan dari Jakarta ke Singapura atau Kuala Lumpur bisa dibanderol dengan harga yang setara, bahkan tak jarang lebih murah, daripada jarak dan rute yang sama dengan periode waktu yang sama?
Paradoks harga tiket pesawat domestik yang cenderung lebih mahal dibandingkan rute internasional ini bukan sekadar keluhan iseng, melainkan isu krusial yang memiliki implikasi luas terhadap konektivitas nasional, pertumbuhan pariwisata dalam negeri, dan pemerataan ekonomi. Topik ini penting dibahas karena menyentuh langsung daya beli masyarakat dan potensi besar Indonesia sebagai negara kepulauan yang sangat bergantung pada transportasi udara untuk integrasi dan pembangunan.
Dalam opini ini, saya berpendapat bahwa harga tiket pesawat domestik di Indonesia sering kali lebih mahal dibandingkan tiket internasional karena berbagai faktor regulasi dan biaya operasional yang unik, diperparah dengan dinamika persaingan pasar yang berbeda.
Masalah utama yang ditimbulkan oleh mahalnya tiket pesawat domestik sangatlah nyata, yaitu terbatasnya aksesibilitas bagi masyarakat. Biaya transportasi udara yang tinggi secara langsung membatasi mobilitas warga antarpulau, menghambat kunjungan keluarga, tujuan bisnis, maupun pendidikan. Lebih jauh lagi, ini menjadi pukulan telak bagi sektor pariwisata dalam negeri. Bagaimana kita bisa mendorong masyarakat untuk berlibur di destinasi domestik seperti Labuan Bajo, Mandalika, atau Danau Toba—apalagi ke Raja Ampat atau Pulau Natuna yang memiliki potensi pariwisata besar—jika biaya transportasinya jauh melampaui ongkos perjalanan ke Bangkok, Singapura, atau bahkan beberapa kota di Australia? Biaya dari Batam ke Natuna, dengan jarak tempuh 1 jam 15 menit hingga 1 jam 45 menit, dipatok lebih dari Rp2,7 juta.
Mahalnya tiket domestik membuat destinasi-destinasi indah di pelosok negeri menjadi kurang kompetitif dan sulit dijangkau oleh segmen pasar yang lebih luas. Padahal, pariwisata adalah salah satu tulang punggung ekonomi daerah dan nasional. Potensi ketimpangan ekonomi antardaerah juga mengintai, di mana wilayah-wilayah yang sangat bergantung pada konektivitas udara akan tertinggal jika aksesibilitasnya mahal.
Ada beberapa penyebab fundamental mengapa fenomena harga tiket domestik yang ajaib ini terus terjadi.
Faktor pertama, sorotan utama sering jatuh pada aspek regulasi tarif. Menurut Yanengga (2023), salah satu faktor yang disorot adalah regulasi tarif batas atas dan bawah yang membatasi fleksibilitas harga maskapai. Sementara regulasi ini bertujuan melindungi konsumen dari predatory pricing dan menjaga keberlangsungan maskapai, dalam praktiknya tarif batas atas sering kali menjadi harga patokan yang cenderung diikuti oleh maskapai, terutama pada rute-rute padat penumpang dengan persaingan terbatas. Maskapai tidak memiliki insentif yang cukup kuat untuk menurunkan harga secara drastis di luar koridor tersebut, bahkan saat permintaan sedang rendah atau untuk mengisi kursi kosong. Fleksibilitas harga yang terbatas ini berbeda dengan skema harga dinamis yang lebih agresif di pasar internasional, di mana maskapai bersaing ketat untuk setiap kursi.
Faktor kedua adalah biaya operasional yang tinggi. Maskapai penerbangan dihadapkan pada berbagai komponen biaya signifikan. Biaya operasional yang tinggi juga menjadi momok, meliputi harga avtur dan fluktuasi nilai tukar mata uang, sebagaimana diungkap oleh Auliya dan Frisnawati (2024). Harga avtur merupakan komponen biaya terbesar bagi maskapai, dan harga bahan bakar ini sangat dipengaruhi dinamika pasar global dan nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat. Mengingat Indonesia masih mengimpor sebagian kebutuhan avtur, fluktuasi kurs rupiah sangat mempengaruhi beban operasional maskapai. Selain avtur, biaya perawatan pesawat (seringkali dalam dolar AS), sewa pesawat (juga dalam dolar AS), gaji awak kabin dan pilot, serta biaya kebandarudaraan (seperti biaya pendaratan dan parkir pesawat) turut menyumbang besarnya ongkos operasional. Ketika biaya-biaya ini tinggi, otomatis beban tersebut tercermin dalam harga tiket yang ditawarkan kepada konsumen.
Faktor ketiga yang tak kalah penting adalah pajak dan biaya tambahan. Maharani (2020) menyoroti bahwa pajak dan biaya tambahan untuk penerbangan domestik cenderung lebih tinggi, atau setidaknya memiliki komposisi yang berbeda dibandingkan penerbangan internasional jika dilihat dari perspektif maskapai yang beroperasi di Indonesia. Meskipun Passenger Service Charge (PSC) atau yang lebih dikenal sebagai airport tax sudah sering dimasukkan ke dalam komponen harga tiket, ada jenis pajak lain seperti Pajak Pertambahan Nilai (PPN) untuk jasa angkutan udara dalam negeri yang turut membebani maskapai dan pada akhirnya dibebankan ke harga tiket. Perbandingan ini bisa kompleks, namun total pungutan negara dan kebandarudaraan yang terkait dengan penerbangan domestik bisa jadi menambah signifikan beban harga jual tiket.
Faktor keempat, dinamika persaingan pasar internasional yang lebih ketat dan lebih banyak armada dibandingkan pasar domestik juga menjadi pembeda signifikan, sebagaimana dianalisis oleh Kurniawan (2023). Pasar penerbangan internasional yang melayani Indonesia melibatkan banyak maskapai global dengan armada sangat besar dan rute yang beragam. Persaingan dari maskapai-maskapai asing ini mendorong maskapai nasional maupun asing itu sendiri untuk menawarkan harga lebih kompetitif demi menarik penumpang. Sebaliknya, pasar domestik di Indonesia, meskipun memiliki beberapa pemain besar, mungkin tidak sekompetitif rute internasional tertentu, terutama untuk rute-rute kurus atau ke wilayah timur Indonesia. Jumlah armada maskapai domestik juga belum mencukupi untuk melayani seluruh potensi permintaan dengan frekuensi tinggi di semua rute, yang pada gilirannya membuat harga tetap tinggi karena hukum permintaan dan penawaran. Kurangnya persaingan efektif di rute-rute tertentu memberikan maskapai lebih banyak ruang untuk menetapkan harga di dekat batas atas.
Meskipun terlihat memberatkan konsumen, perlu diakui bahwa regulasi tarif batas atas dan bawah yang diterapkan pemerintah memiliki tujuan yang baik. Regulasi ini bertujuan menjaga stabilitas industri penerbangan dan mencegah perang harga yang ekstrem yang dapat mengancam kelangsungan maskapai, yang pada akhirnya dapat berdampak pada keselamatan penerbangan jika maskapai terpaksa menghemat biaya operasional dan perawatan. Selain itu, harga tiket yang relatif stabil di koridor batas atas juga dapat diargumentasikan sebagai cara untuk mendorong maskapai berinvestasi dalam peningkatan layanan dan fasilitas, meskipun implementasinya sering kali menjadi perdebatan di kalangan konsumen. Refleksi kritisnya adalah, apakah keseimbangan ini sudah optimal? Apakah ada cara lain untuk menjaga stabilitas dan keselamatan tanpa membuat harga tiket domestik terasa memberatkan?
Secara ringkas, fenomena harga tiket pesawat domestik yang kerap lebih mahal daripada internasional di Indonesia disebabkan kombinasi faktor rumit: regulasi tarif batas atas dan bawah yang membatasi fleksibilitas harga dinamis, tingginya biaya operasional maskapai yang sangat dipengaruhi harga avtur dan nilai tukar mata uang, komponen pajak dan biaya tambahan yang dikenakan, serta dinamika persaingan pasar domestik yang berbeda dengan pasar internasional—semuanya berkontribusi pada situasi ini.
Menegaskan bahwa faktor-faktor unik inilah yang menjadikan perjalanan udara dalam negeri terasa mahal. Penting sekali bagi pemerintah dan pelaku industri untuk serius mengevaluasi regulasi yang ada dan mencari solusi kreatif untuk menekan biaya operasional yang memberatkan maskapai. Misalnya, kajian ulang struktur pajak dan pungutan, insentif terkait harga avtur untuk penerbangan domestik, atau upaya bersama untuk menstabilkan komponen biaya yang sangat dipengaruhi nilai tukar asing.
Sudah saatnya kita mencari solusi yang komprehensif agar tiket pesawat domestik menjadi lebih terjangkau. Aksesibilitas transportasi udara yang terjangkau bukan hanya masalah kenyamanan, tetapi kunci penting untuk mewujudkan pemerataan ekonomi, mendorong pertumbuhan pariwisata di seluruh pelosok negeri, dan memperkuat persatuan sebagai negara kepulauan. Ajakan ini ditujukan kepada pemerintah sebagai regulator, maskapai sebagai pelaku industri, dan seluruh pemangku kepentingan terkait, untuk duduk bersama dan merumuskan langkah-langkah strategis demi menciptakan ekosistem penerbangan domestik yang efisien, kompetitif, dan terjangkau bagi seluruh rakyat Indonesia. Hanya dengan begitu, kita bisa memastikan bahwa menjelajahi keindahan dan keragaman negeri sendiri tidak lagi menjadi sebuah kemewahan yang sulit digapai.