Kanal

Merangka Hubungan Baik Pemerintah dengan Oligarki: Mungkinkah Penerapannya?


Membayangkan penataan pola hubungan antara Pemerintah Republik Indonesia dengan para pebisnis oligarki demi terciptanya keadilan dan kesejahteraan rakyat merupakan tantangan kompleks yang memerlukan pendekatan multiperspektif—yang terkadang memancing decak tanya: mungkinkah?

Oligarki, jika merujuk pada konsentrasi kekayaan atau kekuasaan pada segelintir individu atau kelompok yang memiliki pengaruh kuat dalam proses pengambilan kebijakan publik, adalah realitas yang tak terbantahkan. Tulisan ini hadir dengan semangat berandai-andai agar relasi antara pemerintah dan pelaku bisnis besar yang disebut oligarki dapat diarahkan untuk memberikan kontribusi besar bagi kemakmuran rakyat. Untuk itu, pemerintah dapat memulainya dengan langkah-langkah strategis bertahap, berdasarkan prinsip tata kelola pemerintahan yang baik, penegakan hukum yang tegas, serta partisipasi publik yang kuat dan bermakna.

Oligarki di Indonesia, sebagaimana telah dianalisis oleh sejumlah sarjana seperti Richard Robison & Vedi R. Hadiz (2004) serta Jeffrey A. Winters (2011), memiliki akar sejarah yang panjang dan telah bertransformasi mengikuti perubahan rezim politik dan ekonomi. Penguasaan atas sumber daya alam dan pengelolaan sektor-sektor kunci yang dekat dengan lingkar kekuasaan menjadi ciri utamanya. Dampak negatif dari dominasi oligarki ini sering kali terasa dalam bentuk kesenjangan ekonomi yang melebar, terhambatnya iklim dan persaingan usaha yang sehat, potensi korupsi, serta pengambilan kebijakan yang bias dan abai terhadap hak rakyat maupun kelestarian lingkungan hidup.

Langkah Strategis

Untuk mengarahkan potensi dan memitigasi risiko dari keberadaan pebisnis oligarki, Pemerintah Republik Indonesia sedapat mungkin mengambil langkah-langkah berikut:

Pertama, memperkuat kerangka regulasi dan penegakan hukum. Pemerintah perlu memastikan Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) bekerja secara independen dan efektif dalam mencegah praktik monopoli, kartel, dan penyalahgunaan posisi dominan. Penegakan hukum harus dilakukan dengan tegas demi menjaga martabat hukum.

Baca Juga:  Scooter Prix dan Mandalika Racing Series Bisa Jadi Katalisator Ekonomi

Sejalan dengan semangat itu, regulasi keterbukaan informasi kepemilikan manfaat (beneficial ownership) harus ditegakkan secara ketat untuk mencegah penyembunyian aset dan praktik pencucian uang, serta memetakan potensi konflik kepentingan. Pemerintah juga wajib memastikan para pebisnis oligarki membayar pajak secara adil dan proporsional sesuai keuntungan yang diperoleh, termasuk menutup celah penghindaran pajak dan memperkuat penegakan hukum perpajakan.

Regulasi yang jelas dan transparan mengenai praktik lobi serta reformasi pendanaan partai politik juga mendesak diterapkan untuk mencegah pengaruh tak semestinya dalam proses pembuatan kebijakan. Pemerintah perlu memperketat regulasi terkait analisis mengenai dampak lingkungan (AMDAL), perizinan usaha, dan penghormatan terhadap hak-hak masyarakat adat serta pekerja. Selain itu, regulasi anti-SLAPP (Strategic Lawsuit Against Public Participation) penting diterbitkan untuk melindungi aktivis lingkungan dan masyarakat dari kriminalisasi.

Kedua, membangun tata kelola pemerintahan yang baik (good governance). Semua proses pengambilan kebijakan, perizinan, dan tender pemerintah harus transparan, akuntabel, dapat diakses publik, dan melibatkan partisipasi masyarakat sipil. Pemanfaatan teknologi digital dapat memperkuat transparansi.

Pemerintah juga perlu memperkuat sistem pencegahan dan pemberantasan korupsi di semua lini, termasuk reformasi birokrasi dan penguatan lembaga seperti Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), serta memastikan integritas pejabat publik. Keputusan publik harus berbasis data dan analisis kuat, bukan tekanan kepentingan sempit.

Ketiga, mendorong tanggung jawab sosial dan kontribusi positif dari oligarki. Pebisnis oligarki harus didorong berinvestasi pada sektor bernilai tambah tinggi, padat karya, dan berkelanjutan, bukan hanya pada sektor ekstraktif atau spekulatif. Pemerintah perlu menciptakan skema kemitraan yang adil antara perusahaan besar dan UKM/koperasi guna mendorong ekonomi yang lebih inklusif.

Baca Juga:  Kasino untuk Negeri: Ketika Negara Kehabisan Cara, Meja Judi Jadi Panggung Solusi?

Program corporate social responsibility (CSR) juga harus diorientasikan pada dampak nyata terhadap kesejahteraan masyarakat dan lingkungan, bukan sekadar formalitas atau greenwashing. Program CSR harus menjawab kebutuhan riil dan sejalan dengan prioritas pembangunan nasional.

Keempat, memperkuat peran masyarakat sipil. Kebebasan berserikat, berpendapat, dan pers yang bebas harus dijamin sebagai pilar pengawasan terhadap praktik oligarki dan kebijakan pemerintah. Organisasi masyarakat sipil perlu diberdayakan untuk menjalankan investigasi, advokasi kebijakan, serta mendampingi masyarakat terdampak.

Penguatan lembaga pengawas independen seperti Ombudsman, Komnas HAM, dan media massa sangat diperlukan agar kebijakan publik berjalan sesuai koridor demokrasi dan keadilan.

Kelima, mendorong distribusi kekayaan yang lebih adil. Ini dapat ditempuh melalui kebijakan fiskal progresif, investasi pada layanan publik dasar (pendidikan, kesehatan, dan infrastruktur sosial), serta program jaminan sosial yang komprehensif. Akses terhadap sumber daya ekonomi—seperti lahan, modal, dan peluang usaha—harus terbuka bagi semua kelompok masyarakat.

Prinsip pembangunan berkelanjutan harus menjadi dasar seluruh kebijakan ekonomi untuk menjamin keseimbangan antara pertumbuhan, keadilan sosial, dan kelestarian lingkungan.

Menata Relasi Ideal

Hubungan antara pemerintah dan oligarki tidak harus selalu antagonistik. Namun agar relasi tersebut berkontribusi nyata pada keadilan dan kesejahteraan rakyat, pemerintah harus berpegang teguh pada prinsip tata kelola yang baik, supremasi hukum, dan keadilan sosial. Diperlukan pula political will yang kuat untuk mendahulukan kepentingan rakyat di atas kepentingan kelompok elit.

Baca Juga:  Spiritualitas Fungsional

Pola hubungan yang ideal memang belum terbangun. Tetapi perlu disusun rencana aksi yang terukur dan bertahap untuk mewujudkan hubungan profesional, transparan, akuntabel, dan berbasis hukum.

Hubungan tersebut tidak boleh lagi didominasi oleh potensi konflik kepentingan atau pengaruh yang berlebihan, melainkan harus didasarkan pada prinsip-prinsip berikut:

  • Kepatuhan mutlak pada hukum. Pebisnis oligarki harus beroperasi dalam kerangka hukum yang adil dan ditegakkan tanpa diskriminasi.
  • Transparansi penuh dan akuntabilitas publik. Interaksi antara pemerintah dan oligarki, terutama dalam perumusan kebijakan dan perizinan, harus terbuka dan dapat dipertanggungjawabkan kepada masyarakat.
  • Kontribusi proporsional terhadap pembangunan nasional, melalui investasi yang menciptakan lapangan kerja, pembayaran pajak yang adil, dan program CSR yang berdampak nyata.
  • Pencegahan dominasi dan state capture, dengan membangun sistem politik dan ekonomi yang bebas dari intervensi kelompok kepentingan.
  • Kemitraan untuk pertumbuhan inklusif, melalui pemberdayaan UMKM dan masyarakat lokal.

Terakhir, pengawasan independen yang kuat sangat krusial. Peran masyarakat sipil, media yang bebas, dan lembaga-lembaga pengawas harus dijaga dan diperkuat. Relasi pemerintah–oligarki ke depan harus bergerak dari potensi eksploitasi menjadi kolaborasi yang terkendali dan terarah untuk kepentingan bangsa.

Pemerintah harus tampil sebagai regulator dan fasilitator yang tegas dan adil, memastikan bahwa kekuatan ekonomi besar berkontribusi optimal bagi kesejahteraan seluruh rakyat Indonesia, bukan hanya segelintir pihak. Diperlukan komitmen politik yang kuat dan berkelanjutan untuk mewujudkan pola hubungan ideal ini.

Wallāhu aʿlamu biṣ-ṣawāb.

Back to top button