Dadang bukan sekadar penjual jasa sol sepatu, ia adalah penjaga mimpi anak-anaknya yang masih sekolah di Garut, Jawa Barat yang mungkin tak pernah tahu bahwa tiap helai benang ayahnya adalah potongan cinta yang dirajut dari keringat jalanan.
Suaranya terdengar lirih, memantul pelan di antara dinding-dinding gang sempit di Utan Kayu, Jakarta Timur. “Sol sepatu… sol sepatu…” Berulang-ulang ia menyebutnya, semakin mendekat semakin nyaring.
Suara itu mungkin terdengar seperti angin lalu, nyaris lenyap ditelan laju suara kendaraan dan pedagang keliling lainnya yang bersahut-sahutan. Tapi bagi Dadang (55), itu bukan sekadar panggilan dagang. Suaranya seperti doa yang diucapkan keras-keras, sebuah mantra sederhana yang diulang saban hari, berharap ada yang mendengar dan membuka pintu rezeki.
Lelaki itu memikul sebatang bambu panjang dengan dua kotak kayu tua berisi alat-alat ‘perangnya’ yakni jarum, benang, lem, palu mungil, dan serpihan kulit. Semua itu ia pikul di bahu yang sudah renta, tapi tetap kokoh menopang beban yang menjadi saksi bisu perjuangannya menaklukkan kerasnya ibu kota.
Langkahnya pelan, tapi pasti, menyusuri lorong-lorong sempit perkampungan di metropolitan yang panas, kadang becek, kadang berdebu. Mata Dadang menatap ke depan, tajam namun tenang. Setiap hari ia menelusuri jalur yang sama, dari Utan Kayu, Jatinegara, hingga Pasar Minggu.
Mendengar suaranya yang khas, siang itu Inilah.com memanggilnya, lalu memintanya memperbaiki sepatu olahraga yang bolong. Ia menyambut dengan senyum ramah, seakan beban hidupnya bisa luluh dengan sedikit rezeki yang datang.
Topi bundar dengan warna pudar bertengger di kepalanya, menutupi rambut yang mulai beruban. Kemeja putih dan celana lusuh menjadi seragam kerjanya. Tak ada pelindung tubuh dari terik dan hujan. Yang ada hanyalah tekad dan cinta yang tak bisa ditakar.
Tangannya mulai bekerja, merogoh benang hitam dari kotaknya. Jemari itu cekatan, bergerak luwes meski kulitnya keras dan penuh kapalan. Luka bekas goresan benang dan tusukan jarum jadi bagian dari keseharian. “Udah lama. Awal-awal mah sering luka kesabet benang, ketusuk jarum. Tapi ya namanya cari rezeki, dijalanin aja,” ucapnya sembari terus menjahit.
Profesi ini sudah dijalaninya selama 35 tahun. Sejak usia muda, ia meninggalkan Garut demi mengadu nasib. Sempat merantau ke Palembang, kemudian ke Jakarta. Di kota inilah ia menemukan tapak panjang kehidupannya—berjalan kaki menyusuri aspal demi aspal, menawarkan jasa yang semakin jarang dilirik.
“Orang kampung mah kuat-kuat,” tuturnya, sambil menyeka keringat yang mengalir di pelipis dengan handuk kecilnya. Di balik senyumnya yang tulus, tidak bisa dipungkiri, tersimpan letih. Tubuhnya kurus, tapi tak rapuh. Ia tetap tangguh mengangkat beban di pundak dan di hati.
Pekerjaan ini tak selalu menjanjikan. Kadang ia pulang dengan kantong kosong dan perut keroncong. “Kadang nol terus. Kalau dapat seratus ya alhamdulillah. Kadang harus nahan makan,” katanya lirih, sambil membentuk angka nol dengan jarinya.
Harga jasanya tak seberapa: Rp15.000 hingga Rp25.000 per pasang sepatu. Di era modern yang banyak menawarkan sepatu murah sekali pakai di e-commerce, jasanya nyaris dilupakan. Tapi Dadang tak pernah menyerah. Di sela waktu sepi, ia menjadi buruh bangunan, mengangkut semen, pasir, dan batu bata. “Ada kerjaan selain sol sepatu mah, ya saya ambil jadi buruh bangunan. Yang penting halal. Buat nambah-nambah,” ucapnya mantap.
Namun di balik semua itu, ada alasan yang membuatnya tetap berdiri yakni keluarga. Di kampung, ada istri dan empat anak yang menanti kiriman dari ayah mereka. Anak-anaknya masih duduk di bangku SMP dan SMA, bermimpi seperti remaja lain, tanpa tahu bahwa mimpi mereka dijahit dari keringat ayah mereka di jalanan.
“Sedikit-sedikit ada rezeki, saya kirim. Anak perlu sekolah, perlu makan,” ujarnya lirih dengan senyum tipis penuh menanggung beban.
Ia tak pernah sekalipun mengeluh tentang lelahnya. Tentang panasnya aspal. Tentang hari-hari tanpa pelanggan. Dadang percaya, selama kaki masih bisa melangkah dan tangan masih bisa menjahit, hidup ini bisa terus diperjuangkan.
Ketika ditanya apakah ia ingin berhenti dan pulang ke kampung halaman, ia menggeleng. “Kalau saya pulang, siapa yang nyari duit? Anak saya masih sekolah. Kalau saya nggak kerja, mereka gimana?”
Kalimat itu menggantung lama, seperti berat untuk diucapkan, lebih berat dari beban yang ia pikul.
Di tengah bisingnya kota dan riuh orang-orang mengejar ambisi, langkah Dadang mungkin tak terdengar. Tapi ia meninggalkan jejak. Jejak dari benang-benang harapan, yang dijahit dengan cinta, ketulusan, dan pengorbanan.
Dalam sepasang sepatu yang kembali utuh berkat tangannya, tersembunyi kisah tentang seorang ayah yang tak menyerah. Tentang cinta keluarga yang tak pernah putus. Tentang seorang lelaki sederhana yang menjadikan jalanan sebagai ladang ibadah.