Kanal

Menakar Ulang Konsumsi Rokok dalam Agenda Pembangunan Gizi


Kita sering mengira bahwa masalah gizi di Indonesia hanyalah soal keterbatasan akses terhadap makanan bergizi. Dalam asumsi ini, kelaparan atau malnutrisi adalah akibat langsung dari kemiskinan atau ketidaktahuan tentang pola makan sehat. Namun, menurut data BPS, masalahnya jauh lebih kompleks—dan lebih struktural. Kebiasaan merokok, yang selama ini ditempatkan sebagai isu kesehatan, ternyata memiliki dampak langsung terhadap konsumsi gizi rumah tangga.

Data dari Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) Maret 2024 menunjukkan bahwa rumah tangga dengan kepala rumah tangga perokok memiliki konsumsi kalori dan protein yang lebih rendah dibandingkan rumah tangga non-perokok. Hal ini terjadi di semua kelas ekonomi, meski dampaknya paling besar pada kelompok miskin dan rentan miskin. Rata-rata pengeluaran per kapita untuk rokok dan tembakau bahkan mencapai Rp94.476 per bulan, menjadikannya komoditas bahan makanan dengan pengeluaran terbesar ketiga. Dengan kata lain, rokok bukan sekadar kebiasaan personal, melainkan praktik konsumsi yang membentuk ulang prioritas rumah tangga—dengan mengorbankan makanan.

Namun pertanyaan yang lebih mendesak bukan hanya mengapa orang miskin tetap merokok, tetapi mengapa negara membiarkannya? Mengapa dalam struktur belanja yang sudah sempit, negara membiarkan produk seperti rokok begitu mudah diakses, begitu dominan dalam budaya populer, dan minim intervensi kritis dalam kebijakan kesejahteraan?

Dalam banyak hal, kita sedang menyaksikan bentuk laten dari “politik lapar”. Negara tidak hadir secara aktif untuk memastikan piring makan keluarga miskin terisi dengan gizi memadai, tetapi membiarkan sebagian anggaran rumah tangga dibakar menjadi asap. Negara mengatur harga beras, tetapi tidak memiliki komitmen yang setara dalam mengatur harga rokok atau membatasi promosi konsumsi tembakau. Negara menetapkan target ambisius penurunan stunting, namun belum serius menekan konsumsi produk yang secara tak langsung melemahkan gizi anak-anak di rumah tangga miskin.

Baca Juga:  Laporan Aduan Perilaku Hakim ke KY Sepanjang 2024

Kita tentu tidak bisa menyalahkan individu semata. Dalam ekosistem konsumsi yang timpang, pilihan rumah tangga miskin bukan sekadar soal preferensi, tetapi hasil dari interaksi kompleks antara kemiskinan, tekanan hidup, dan paparan budaya. Rokok bukan hanya soal kebiasaan pribadi, tetapi juga mencerminkan cara bertahan dalam tekanan hidup yang terus-menerus, di mana pilihan-pilihan sehat sering kali terasa tidak terjangkau. Dalam konteks ini, rokok kerap hadir sebagai pelipur sesaat—meski dengan konsekuensi jangka panjang yang tidak ringan.

Negara sendiri memiliki peran besar dalam melanggengkan ketergantungan ini. Industri rokok masih menjadi penyumbang signifikan penerimaan negara melalui cukai. Tidak mengherankan bila regulasi terhadap iklan rokok, distribusi produk, dan ruang bebas asap berjalan dengan kehati-hatian politis. Dalam banyak narasi kebijakan, rokok tetap diperlakukan sebagai urusan individu, bukan sebagai masalah struktural yang melemahkan kualitas hidup dan kesejahteraan generasi berikutnya.

Dalam banyak rumah tangga miskin, keputusan untuk membeli rokok bukanlah hasil dari kebebasan, tetapi dari keterbatasan. Ketika makanan sehat mahal, layanan kesehatan sulit dijangkau, dan tekanan ekonomi hadir setiap hari, maka rokok menjadi “solusi cepat” yang ironis. Ia mengisi kekosongan gizi secara semu, sambil mengosongkan isi kantong secara nyata.

Baca Juga:  Dokter Cabul, Sistem Mandul: PPDS dan Kejahatan yang Dilindungi Institusi

Data BPS juga menunjukkan adanya ketimpangan respons terhadap dampak merokok antar kelas ekonomi. Berdasarkan data Susenas Maret 2024, rumah tangga dari kelas ekonomi atas cenderung tetap memiliki tingkat konsumsi gizi dan pengeluaran makanan yang tinggi, meskipun kepala keluarganya merokok. Sebaliknya, pada kelompok ekonomi bawah, dampak negatif rokok terhadap konsumsi kalori dan protein terlihat lebih besar, dengan penurunan nyata dalam pengeluaran makanan. Ketimpangan gizi akibat rokok, dengan demikian, mencerminkan bentuk ketimpangan yang tersembunyi—tidak tercermin langsung dalam angka makro pertumbuhan, tetapi nyata di meja makan keluarga miskin.

Dalam logika pembangunan yang terlalu ekonomistik, konsumsi dianggap sebagai tanda kesejahteraan. Ketika pengeluaran rumah tangga meningkat, indikator makro mencatat itu sebagai pertumbuhan. Namun, jarang dipertanyakan untuk apa pengeluaran itu digunakan. Negara senang melihat roda konsumsi berputar, tanpa bertanya apakah uang itu digunakan untuk membangun kualitas hidup, atau justru untuk membakar masa depan.

Sudah waktunya negara melihat rokok bukan hanya sebagai produk legal, tetapi sebagai produk yang memiliki dampak sosial yang luas. Ini bukan semata persoalan moral atau medis, melainkan tantangan terhadap ketahanan gizi, produktivitas nasional, dan keadilan sosial. Kebijakan yang memadai tidak bisa berhenti pada cukai. Langkah-langkah seperti pembatasan iklan rokok, perluasan kawasan tanpa rokok, serta akses yang lebih luas terhadap layanan berhenti merokok harus menjadi bagian dari strategi pembangunan manusia.

Baca Juga:  Tarif, Trump, dan Tantangan Kita

Lebih jauh, hasil penerimaan dari cukai tembakau semestinya digunakan secara lebih strategis untuk memperkuat layanan gizi masyarakat, meningkatkan literasi finansial rumah tangga, serta menyediakan dukungan nyata bagi keluarga yang ingin berhenti merokok. Pendekatan ini akan lebih sejalan dengan semangat inklusi sosial dan pembangunan yang berorientasi pada perlindungan kelompok rentan.

Tak kalah penting adalah membangun wacana publik yang lebih kritis terhadap dominasi simbolik rokok dalam budaya kita. Kita perlu menghadirkan narasi yang menempatkan keputusan untuk tidak merokok bukan sebagai kewajiban moral, tetapi sebagai bentuk kepedulian terhadap keluarga, terutama anak-anak. Narasi ini dapat diperkuat di tingkat komunitas—melalui guru, kader kesehatan, tokoh agama, dan media lokal—yang dekat dengan ruang pengambilan keputusan rumah tangga.

Dalam masyarakat yang struktur ekonominya belum sepenuhnya adil dan budaya konsumsi masih dipengaruhi oleh ketimpangan informasi serta akses, rokok kerap hadir bukan hanya sebagai produk, tetapi sebagai simbol pengalihan—yang menjanjikan ketenangan, namun sering kali mengorbankan kesehatan dan gizi keluarga. Di ruang-ruang privat rumah tangga miskin, keputusan membeli rokok mungkin terasa kecil, tetapi akumulasinya menciptakan konsekuensi yang luas dan mendalam. Dan selama negara belum sepenuhnya hadir untuk membingkai ulang persoalan ini sebagai bagian dari tantangan pembangunan manusia, maka upaya perbaikan gizi, pengentasan kemiskinan, dan penguatan daya saing sumber daya manusia akan selalu berjalan pincang.

Back to top button