Sejak musim panas, setidaknya telah terjadi empat penusukan terhadap warga negara asing di China, termasuk insiden pada September lalu ketika seorang anak sekolah Jepang berusia 10 tahun terbunuh di Shenzhen. Ujaran kebencian terhadap warga asing memuncak lewat aplikasi Weibo.
Bagi pengguna di platform media sosial China, Weibo, warga Amerika menjadi ‘musuh’ paling dibenci. “Orang Inggris juga membuat saya cemas, tetapi saya benci orang Amerika,” tulis komentar salah pengguna platform tersebut.
Ada lagi yang berkomentar tentang orang Jepang. “Saya sangat berharap orang Jepang mati,” ujar pengguna tersebut mengulanginya sebanyak 25 kali dalam sebuah postingan.
Komentar-komentar yang bersifat xenofobia dan hiper-nasionalistis mudah ditemukan di platform media sosial China. Bahkan setelah beberapa perusahaan teknologi terbesar di negara itu tahun lalu berjanji menindak tegas ujaran kebencian menyusul serangkaian serangan menggunakan pisau terhadap warga negara Jepang dan Amerika di negara itu.
Sejak musim panas, setidaknya telah terjadi empat penusukan terhadap warga negara asing di China, termasuk insiden pada bulan September ketika seorang anak sekolah Jepang berusia 10 tahun terbunuh di Shenzhen.
Serangan itu, mendorong pemerintah Jepang menuntut penjelasan dari mitranya dari China serta jaminan bahwa mereka akan berbuat lebih banyak untuk melindungi warga negara Jepang. Setelah insiden tersebut, beberapa perusahaan Jepang menawarkan untuk memulangkan staf dan keluarga mereka ke rumah.
Beberapa bulan sebelumnya, serangan pisau melukai empat instruktur perguruan tinggi Amerika di Jilin membuat hubungan Amerika Serikat-China berada di bawah tekanan. Duta Besar AS R. Nicholas Burns menuduh pihak berwenang China tidak memberikan informasi tentang insiden tersebut, termasuk motif penyerangan.
Beijing, selain menyampaikan penyesalan atas serangan itu dan belasungkawa kepada keluarga korban, bersikeras bahwa serangkaian penusukan itu merupakan insiden yang terisolasi. “Kasus serupa dapat terjadi di negara mana pun,” kata Lin Jian, Juru Bicara Kementerian Luar Negeri China, dalam jumpa pers rutin setelah serangan di Shenzhen.
Juru bicara Kedutaan Besar China di Washington, DC mengatakan hukum Tiongkok dengan jelas melarang penggunaan internet untuk menyebarkan ekstremisme, kebencian etnis, diskriminasi, kekerasan, dan informasi lainnya.
“Pemerintah China selalu menentang segala bentuk diskriminasi dan ujaran kebencian, serta menyerukan kepada semua sektor masyarakat untuk bersama-sama menjaga ketertiban dan keamanan dunia maya,” kata juru bicara tersebut kepada Al Jazeera.
Meskipun kekerasan terhadap orang asing di China jarang terjadi, peningkatan serangan yang nyata pada 2024 dan maraknya ujaran kebencian daring telah memicu kekhawatiran di dalam negeri, kata Wang Zichen, mantan jurnalis media pemerintah China dan pendiri buletin Pekingnology. “Hal ini telah memicu diskusi domestik mengenai jenis ujaran semacam ini dan cara untuk mengekangnya,” kata Wang kepada Al Jazeera.
Pengawasannya tidak Mudah
Meskipun perusahaan teknologi China berjanji untuk menindak tegas ujaran kebencian terhadap orang asing, pengawasan konten tersebut masih jauh dari kata mudah, menurut Andrew Devine, mahasiswa PhD di Universitas Tulane di AS yang mengkhususkan diri dalam politik otoriter China. “Terutama karena perusahaan [teknologi] memiliki insentif untuk tidak mengendalikan ujaran kebencian,” kata Devine kepada Al Jazeera.
Meskipun algoritma yang digunakan platform media sosial China untuk mendistribusikan konten telah dibagikan kepada pemerintahnya, namun hal itu belum diungkapkan kepada publik, sehingga sulit mengetahui mekanisme pasti bagaimana ujaran kebencian menyebar luas secara daring.
Elena Yi-Ching Ho, seorang analis riset independen yang berfokus pada propaganda dan media sosial di China, mengatakan algoritma yang digunakan platform media sosial kemungkinan besar tidak berbeda dengan yang digunakan oleh platform di luar negeri. “Mereka ingin memaksimalkan keterlibatan antara pengguna di platform mereka, dan ingin pengguna bertahan di platformnya selama mungkin,” kata Ho kepada Al Jazeera.
Dalam upaya menarik perhatian pengguna, para influencer dan vlogger China dapat memperoleh keuntungan dengan mencari kontroversi lewat konten yang sangat nasionalistis, kata Ho.
Wang mengatakan maraknya komentar negatif tentang orang asing di media sosial China sebagian merupakan akibat meningkatnya permusuhan antara China dan beberapa negara lain. “Hubungan China dengan beberapa negara telah memburuk secara signifikan dalam beberapa tahun terakhir,” kata Wang.
China dan Jepang telah berselisih mengenai sejumlah sengketa historis dan teritorial, termasuk status Kepulauan Diaoyu/Senkaku di Laut Cina Timur. Hubungan AS dan China juga memburuk dalam beberapa tahun terakhir di tengah perselisihan mengenai berbagai topik, mulai dari perdagangan dan asal muasal pandemi COVID-19 hingga klaim kepemilikan China atas Taiwan yang memiliki pemerintahan sendiri.
Namun, menurut Ho, ujaran kebencian terhadap orang asing sudah terjadi sebelum beberapa bentrokan baru-baru ini. “Dan Jepang dan orang-orang Jepang telah menjadi target khusus hal ini,” katanya.
Beberapa blogger dan pengguna media sosial China telah menelusuri akar sentimen negatif terhadap orang Jepang terhadap apa yang mereka sebut sebagai “pendidikan kebencian”, termasuk pelanggaran yang dilakukannya pada masa kekaisaran di Tiongkok.
Wang mengatakan tindakan Jepang selama Perang Dunia II sangat memengaruhi jiwa nasional China. “Jepang melancarkan invasi pada Perang Dunia Kedua yang mengakibatkan puluhan juta warga China tewas, dan hal itu masih terngiang dalam pikiran banyak warga Tiongkok hingga kini,” katanya.
Bagi sebagian orang, ada perasaan bahwa Jepang belum melakukan upaya yang cukup untuk menebus kesalahannya. Meski begitu, sejumlah warga China berpendapat bahwa kekejaman Jepang tidak boleh digunakan untuk membenarkan sentimen kebencian terhadap orang Jepang saat ini.
“Saya rasa kita perlu mengubah cara kita menghadapi masa lalu jika kita ingin mengurangi ujaran kebencian,” kata Tina Wu, manajer media sosial berusia 29 tahun di Shanghai, kepada Al Jazeera.
China memiliki lingkungan internet paling tidak bebas di dunia bersama dengan Myanmar, menurut laporan terhadap 72 negara oleh lembaga nirlaba Freedom House yang berkantor pusat di AS. Pada tahun 2020, lebih dari 35.000 kata yang terkait dengan Presiden China Xi Jinping saja telah disensor, menurut China Digital Times.