Masih Pakai Standar Lama, CBA Sarankan BPS Belajar Jadi Rakyat Miskin

Direktur Center of Budget Analysis (CBA), Uchok Sky Khadafi menyebut, cara Badan Pusat Statistik (BPS) menghitung jumlah rakyat miskin di Indonesia, sangatlah tidak berbasiskan akademik dan realitas.
Alasan Uchok, penggunaan standar kemiskinan BPS sebesar Rp595.242 per orang/bulan, atau nyaris Rp20 ribu/orang/hari, sudah usang. Sehingga wajar jika banyak ekonom bahkan rakyat awam mempertanyakan data orang miskin versi BPS.
“Kalau saya lebih percaya dengan data Bank Dunia, lebih riil. Masak standar kemiskinan di Indonesia hanya Rp595 ribu per orang per bulan. Atau kurang dari Rp20 ribu per orang per bulan. Saat ini, semua harga barang khususnya bahan pangan sudah naik,” tandas Uchok, Jakarta, Senin (5/5/2025).
Dia pun mempertanyakan dasar pertimbangan BPS tetap menggunakan standar kemiskinan Rp595 ribu per orang per bulan. Kuat dugaan, BPS sengaja menggunakan angka standar rendah agar jumlah rakyat duafa di negeri ini, menjadi rendah. Sehingga citra Indonesia bisa terjaga.
Namun, kalau benar BPS sengaja, risikonya cukup besar. Karena berpotensi menimbulkan kesesatan ketika menyusun kebijakan atau anggaran untuk program pengentasan kemiskinan.
“Itu hitung-hitungan BPS seperti intelektual yang tidak punya hati karena menyakiti hati rakyat miskin. BPS perlu belajar jadi rakyat miskin, jangan asal pakai standar kemiskinan. Kalau datanya sudah salah maka kebijakan untuk mengatasi kemiskinan pasti ikut salah. Kan kasihan rakyat kalau begitu cara BPS,” ungkap mantan aktivis 98 itu.
Sebelumnya, Kepala BPS, Amalia Adininggar Widyasanti mengatakan, perbedaan angka kemiskinan antara versi BPS dengan World Bank atau Bank Dunia, tidak perlu dibuat gaduh Karena, metodologi dan tujuan penghitungan antara BPS dengan Bank Dunia, memang beda.
“Perbedaan angka ini memang terlihat cukup besar, namun penting untuk dipahami secara bijak bahwa keduanya tidak saling bertentangan. Perbedaan muncul disebabkan adanya perbedaan standar garis kemiskinan yang digunakan dan untuk tujuan yang berbeda,” kata Amalia, Jakarta, Jumat (2/5/2025).
Asal tahu saja, Bank Dunia menghitung angka kemiskinan Indonesia pada 2024 mencapai 60,3 persen, atau setara 171,8 juta jiwa. Di mana, Bank Dunia memiliki 3 standar kemiskinan yang berdasarkan pendekatan purchasing power parity (PPP) atau paritas daya beli.
Ketiga standar kemiskinan yang digunakan Bank Dunia, sebesar US$2,15 PPP untuk standar kemiskinan ekstrem, US$3,65 PPP untuk standar kemiskinan di negara berpendapatan menengah bawah, serta US$6,85 PPP untuk kemiskinan negara berpendapatan menengah atas.
Pada 2023, Bank Dunia mencatat Gross National Income (GNI) per kapita Indonesia mencapai US$4.870, sehingga layak dimasukkan dalam kelompok negara berpenghasilan menengah ke atas (Upper Middle Income Country/UMIC).
Walhasil, Bank Dunia menggunakan standar kemiskinan US$6,85 PPP untuk menghitung jumlah warga duafa di Indonesia. Nilai standar itu dikonversikan menjadi rupiah dengan dikalikan Rp5.993,03 (1 US$ PPP setara Rp5.993,03), sehingga ketemu Rp41.052,3/orang/hari).
Selanjutnya, Bank Dunia menyebut 60,3 persen penduduk Indonesia atau sekitar 171,8 juta jiwa, hidup di bawah garis kemiskinan global. Sementara BPS menyebut angka kemiskinan di Indonesia, hanya 8,57 persen per September 2024. Atau sekitar 24,06 juta jiwa. Selisihnya jumbo sekali, mencapai 147,74 juta jiwa.