Manusia, Bencana, dan Kerentanan Sosial

Hampir setiap pekan kita selalu disodorkan dengan berita tentang bencana alam yang terjadi. Banjir di kawasan urban, kebakaran hutan, longsor sampai gelombang abrasi di pesisir utara Jawa menjadi satu di antaranya. Sementara itu, bencana alam kerap dianggap sebagai musibah yang netral dan tak terhindarkan. Padahal jika kita telisik lebih mendalam, sebagian besar bencana tersebut bukan hanya masalah fenomena alam, lebih daripada itu adalah bencana sosial-ekologis yang diproduksi melalui relasi kuasa, ketimpangan, dan eksploitasi lingkungan yang kita lakukan. Ini menyiratkan bahwa selain kita berposisi sebagai korban, pada satu tarikan nafas juga berlaku sebagai pencipta bencana.
Jika kita merujuk data dari Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) menunjukkan bahwa sepanjang tahun 2024 lalu, Indonesia telah mengalami 2.203 kejadian bencana alam. Tiga bencana yang paling sering terjadi adalah banjir, cuaca ekstrim dan kebakaran hutan. Dari data tersebut menunjukkan bahwa bencana banjir adalah bencana yang paling sering terjadi dengan total 1.109 kasus. Disusul kemudian dengan bencana cuaca ekstrim dengan jumlah 469 kasus dan kebakaran hutan dan lahan yang mencapai 351 kasus.
Berangkat dari data BNPB tersebut semakin menguatkan keyakinan bahwa bicara tentang bencana tidak hanya berkutat pada dinamika alam tetapi juga cermin dari perubahan lanskap sosial dan ekologis akibat tindakan manusia itu sendiri. Dalam pandangan Ulrich Beck, kehidupan masyarakat modern selalu berhimpitan, antara kemajuan teknologi dan ekonomi dengan terpampangnya risiko-risiko baru yang selalu hadir menyapa. Risiko dalam bentuk bencana alam seperti di atas sekaligus sebagai penanda atas pilihan-pilihan eksploitasi lingkungan dan ekonomi yang kita ambil. Ruang kesadaran ini lantas memaksa kita untuk menelaah lebih dalam tentang bagaimana kita sebagai bagian dari masyarakat turut berkontribusi terhadap munculnya situasi yang tidak diinginkan tersebut.
Menimbang Ulang Arah Pertumbuhan
Dalam konteks Indonesia, banyaknya bencana alam yang terjadi tidak bisa dilepaskan begitu saja dari jejak kebijakan pembangunan yang sarat kepentingan ekonomi-politik. Fenomena bencana banjir, kebakaran hutan dan lahan yang berulang juga menandakan tidak dapat dipisahkannya antara pembangunan yang intensif dengan pemberian izin pemanfaatan ruang yang belum sepenuhnya mempertimbangkan daya dukung ekosistem. Ini mengandaikan bahwa pembangunan proyek-proyek infrastruktur dalam skala besar jika tidak dirancang secara partisipatif dan ekologis akhirnya justru berpotensi menimbulkan situasi maladaptasi yang meningkatkan bencana baru.
Relasi kuasa dalam pengelolaan lingkungan inilah yang seringkali diabaikan dalam narasi bencana. Negara seringkali justru memprioritaskan pada pertumbuhan ekonomi jangka pendek dan memberikan karpet merah untuk investasi ekstraktif, sehingga yang terjadi adanya kerentanan sosial yang sulit dihindari. Dalam banyak kasus yang terjadi, seringkali masyarakat selain kehilangan sumber penghidupan akibat proyek pembangunan skala besar juga harus menanggung resiko ekolosi serupa banjir, kekeringan maupun cemarnya lingkungan.
Maka, salah satu langkah yang dapat dilakukan untuk memitigasi bencana atas pembangunan yang ada adalah dengan menggunakan pendekatan pembangunan berbasis komunitas community-based adaptation (CBA). Sejalan dengan hal itu, temuan menarik dari studi yang dilakukan Tota (Tota et al., 2024) menunjukkan bahwa pendekatan pembangunan berbasis komunitas telah menunjukkan alternatif yang lebih partisipatif dan kontekstual. Misalnya saja temuannya tentang Kampung Iklim nyatanya telah berhasil meningkatkan skor ketahanan masyarakat sebesar 35%, menurunkan kerugian dari aspek ekonomi akibat becana iklim hingga 40%. Pendekatan pembangunan ini pada aspek yang lebih luas juga ternyata mampu memperkuat ketahanan pangan dengan mendorong praktik keberlanjutan yang menyesuaikan diri dengan perubahan iklim.
Hal penting dari pengalaman ini adalah bahwa pembangunan tidak melulu harus bergantung atas infrastruktur mahal yang beresiko sosio-ekologis. Alih-alih, integrasi dengan pengetahuan lokal, teknologi tepat guna, dan tata kelola kolaboratif nyatanya terbukti lebih tangguh dan adaptif. Kunci dari semua itu terletak pada pelibatan masyarakat sejak awal sebagai aktor utama, bukan sekadar penerima kebijakan semata, sehingga pembangunan lebih inklusif dan tahan terhadap tekanan ekologis maupun sosial.
Relasi Manusia dan Keadilan Sosial
Dampak bencana menyasar siapa saja, tidak peduli mereka yang kaya atau miskin tetapi seringkali akibatnya jarang merata. Kecenderungan yang terjadi bahwa kelompok-kelompok masyarakat yang paling rentan, baik secara ekonomi maupun geografis, menanggung beban yang paling besar dan mengalami pemulihan kondisi yang paling lambat. Minimnya akses teknologi mitigasi, informasi kebencanaan, serta layanan sosial membuat kelompok masyarakat yang paling rentan terasa semakin sulit beradaptasi ketika bencana terjadi.
Upaya penanggulangan bencana pun perlu lebih sensitif terhadap kebutuhan komunitas masyarakat. Pendekatan dengan basis komunitas, yang menghargai pengetahuan lokal dan memperkuat kapasitas adaptif masyarakat, menjadi kunci penting dalam membangun ketangguhan yang lebih inklusif. Oleh karena itu yang menjadi penting adalah bagaimana strategi penanggulangan bencana ini betul-betul menyentuh kelompok paling rentan dengan memperhatikan aspek kesenjangan sosial sehingga tidak justru memperlebar jurang ketimpangan yang ada.
Kini, di tengah perubahan iklim global dan meningkatkan frekuensi bencana kita dihadapkan tentang bagaimana seharusnya membangun relasi baru antara manusia dengan alam. Hadirnya bencana mengingatkan kita bahwa keseimbangan ekologis bukanlah sesuatu yang dapat dikompromikan tanpa hadirnya konsekuensi logis. Setiap tindakan pembangunan yang eksploitatif, setiap perubahan tata ruang yang ada akan menghasilkan implikasi jauh ke depan. Membangun masa depan yang lebih aman untuk ruang hidup bersama selain membutuhkan teknologi dan infrastruktur yang tanggung juga menuntut adanya perubahan paradigma yang lebih beriorientasi keberlanjutan.
Sehingga, keselamatan kita di masa depan sangat tergantung pada keberanian kita mengakui bahwa manusia adalah bagian dari ekosistem. Relasi saling membutuhkan ini pada gilirannya memanggil kita untuk bertindak lebih bijak, lebih rendah hati dan lebih bertanggung jawab dalam mengelola kehidupan bersama. Dan seperti yang disampaikan Mama Aleta Baun, aktivis lingkungan dari Mollo, Nusa Tenggara Timur, bahwa “Tuhan telah menciptakan bumi untuk dijaga, bukan untuk dijual. Menjual alam berarti menjual manusia, karena alam adalah cermin tubuh kita. Menjaga alam adalah menjaga kehidupan”.