Mantan Kanselir Jerman Sebut Uni Eropa di Ambang Kehancuran

Mantan Kanselir Jerman Angela Merkel melontarkan peringatan keras bahwa kebijakan imigrasi dan kontrol perbatasan yang makin ketat dapat menghancurkan Uni Eropa.
Pernyataan Merkel merespons kebijakan baru yang diumumkan oleh pemerintahan Kanselir Friedrich Merz awal Mei lalu yang melarang semua pengajuan suaka di perbatasan darat Jerman.
Kebijakan ini merupakan pembalikan tajam dari kebijakan ‘pintu terbuka’ di era pemerintahan Merkel pada 2015 saat puncak krisis pengungsi.
“Saya tidak percaya kita bisa secara tegas memerangi migrasi ilegal hanya di perbatasan Jerman-Austria atau Jerman-Polandia. Saya selalu mendukung solusi tingkat Eropa,” kata Merkel, dalam forum Southwestern Press Forum di Neu-Ulm, pekan lalu, saat ia mempromosikan memoarnya berjudul ‘Freedom’.
Ia menekankan bahwa kebijakan imigrasi dan perjalanan hanya boleh diatur melalui kesepakatan bersama di tingkat Uni Eropa.
“Jika tidak, kita bisa menyaksikan kehancuran Eropa,” tegasnya.
Merkel juga menyoroti bahwa kebijakan baru ini mengancam kebebasan bergerak dalam Uni Eropa serta integritas kawasan Schengen, yang selama ini menjadi simbol kuat integrasi Eropa melalui sistem perjalanan bebas visa antarnegara anggota.
Meski kebijakan baru tersebut menyebutkan pengecualian untuk anak-anak, perempuan hamil, dan kelompok rentan, langkah ini tetap memicu kontroversi luas, baik di dalam negeri Jerman maupun di antara mitra Uni Eropa.
Adapun kebijakan imigrasi yang lebih ketat ini merupakan salah satu janji kampanye Kanselir Merz menjelang pemilu dini Februari lalu. Langkah ini dianggap sebagai respons terhadap naiknya popularitas partai sayap kanan Alternatif untuk Jerman (AfD) yang menentang imigrasi.
Dalam pemilu tersebut, AfD memperoleh 20,8 persen suara dan menempati posisi kedua, namun dikecualikan dari pembentukan koalisi oleh partai-partai arus utama.
Pekan lalu, Badan Intelijen Dalam Negeri Jerman (BfV) kembali menetapkan AfD sebagai ‘entitas ekstremis yang terkonfirmasi’, setelah sempat ditangguhkan akibat gugatan hukum dan tekanan publik. Meski demikian, sejumlah pejabat senior dalam pemerintahan terus mencari dasar hukum untuk melarang partai tersebut secara resmi.
Kebijakan baru mengenai larangan permohonan suaka di perbatasan darat juga menimbulkan tantangan praktis. Kepolisian Federal Jerman menyatakan bahwa tekanan terhadap personel perbatasan makin meningkat, meskipun pemerintah telah menambahkan 3.000 petugas ke 11.000 personel yang sudah bertugas di titik-titik perlintasan utama.
Seorang pejabat kepolisian memperingatkan bahwa aturan baru tersebut mungkin hanya dapat ditegakkan selama beberapa minggu ke depan jika tidak ada tambahan dukungan sumber daya yang signifikan.
Menurut data Uni Eropa, Jerman tetap menjadi tujuan utama pencari suaka di kawasan, dengan lebih dari 237.000 permohonan pada 2023, sekitar seperempat dari total permohonan di seluruh blok.
Hal ini memperkuat persepsi publik bahwa Jerman memikul beban terbesar dalam krisis migrasi Eropa, sebuah isu yang dimanfaatkan secara aktif oleh partai-partai populis dan anti-imigrasi.
Sementara itu, kebijakan baru dari kabinet Merz ini secara efektif membalik arah dari pendekatan Merkel tahun 2015, yang saat itu membolehkan lebih dari satu juta pengungsi masuk ke Jerman. Kebijakan tersebut menuai kritik tajam dan disebut sebagai ‘bencana’ oleh para oposisi.
Kini, saat tidak lagi menjabat, Merkel kembali memperingatkan bahwa jalan yang sedang diambil Jerman dan negara-negara anggota UE lainnya dapat merusak solidaritas yang telah lama dibangun.
“Saya tahu kebijakan imigrasi adalah isu sensitif, tetapi tanpa koordinasi bersama di tingkat Eropa, kita bukan hanya mempertaruhkan kebebasan bergerak. Kita mempertaruhkan eksistensi proyek Eropa itu sendiri,” tutup politikus perempuan berusia 70 tahun lalu.