Makan Siang Gratis, Betul atau Ngibul?

Menyitir adagium yang cukup populer di dunia Barat sejak awal abad ke-19, yakni no free lunch—tidak ada makan siang yang benar-benar gratis. Namun, apakah di era Revolusi Industri 5.0 saat ini masih berlaku prinsip bahwa tidak ada makan siang nirbayar? Bukankah dalam setiap tindak-tanduk individu modern, semua dilakukan karena ada kepentingan atau tujuan masing-masing?
Istilahnya, ada udang di balik batu—setiap tindakan pasti mengandung motif. Apalagi di zaman serba canggih ini, saat hampir semua bergantung pada artificial intelligence (AI) dan internet of things (IoT), mustahil rasanya ada tindakan yang benar-benar altruistik tanpa perhitungan.
Istilah no free lunch ini dipopulerkan dengan sangat baik oleh ekonom Milton Friedman, meski gagasan awalnya sudah digunakan sejak 1872. Namun kini, Pemerintah Republik Indonesia di bawah Presiden Prabowo Subianto—yang menjabat sejak 20 Oktober 2024—mengikrarkan program Makan Bergizi Gratis (MBG) sebagai program unggulan nasional. Alasannya: karena masih banyak anak Indonesia yang rawan stunting, kekurangan vitamin, dan gizi. “Bagaimana bisa masa depan bangsa dicetak oleh anak-anak yang kurang gizi?” Kira-kira begitulah narasi yang dibangun.
Di samping alasan kesehatan, kebijakan MBG juga diyakini akan mendongkrak pertumbuhan ekonomi lokal dan regional. Perputaran ekonomi dari konsumsi bahan baku, logistik, hingga jasa, diharapkan menyumbang pertumbuhan ekonomi nasional. Padahal, nyatanya target pertumbuhan ekonomi nasional 8% masih jauh panggang dari api. Per kuartal awal 2025, angka pertumbuhan ekonomi masih bertahan di kisaran 5%.
Rakyat Makan Gratis di Tengah Pemerintah Efisiensi?
Secara historis, program MBG adalah produk dari janji politik Presiden Prabowo dan jajaran Kabinet Merah Putih. Anggarannya tak main-main: Rp71 triliun untuk pengadaan makanan bergizi bagi seluruh siswa di nusantara selama 2025. Bahkan, rencana pagu anggarannya akan dinaikkan hingga Rp171 triliun.
Namun, hingga April 2025, realisasi anggaran baru menyentuh Rp2,3 triliun—sekitar 3% dari total anggaran. Ironisnya, di tengah gencarnya program efisiensi pemerintahan (sebagaimana tertuang dalam Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 2025 tentang Efisiensi Belanja dalam Pelaksanaan APBN dan APBD), justru terjadi pembengkakan di struktur kabinet: total 108 pejabat setingkat menteri ditunjuk, lengkap dengan rumah dinas, mobil dinas, hingga perdiem.
Lalu, bagaimana mungkin program MBG benar-benar digerakkan demi efisiensi dan pemerataan gizi, jika efisiensi justru tak menyentuh elite kekuasaan?
Anak Bukan Kelinci Percobaan
Selama pelaksanaan MBG di tahun 2025, banyak persoalan muncul. Mulai dari makanan basi, kualitas sajian di bawah standar, hingga insiden keracunan massal. Pada 23 April 2025, misalnya, 53 dari 1.026 kotak makanan tidak layak konsumsi menyebabkan puluhan siswa SDN 33 Kasipute, Bombana, Sulawesi Tenggara mual dan muntah. Kasus serupa juga terjadi di Cianjur, Bogor, Sumba Timur, dan Sukoharjo.
Kemana Badan Gizi Nasional (BGN)? Mengapa belum ada evaluasi menyeluruh? Mengapa tidak segera bertindak tegas?
Sampai Mei 2025, setidaknya 1.315 siswa dilaporkan mengalami gejala keracunan makanan MBG. Dalam kondisi negara yang terus mengencangkan ikat pinggang, kas negara yang makin menyusut, dan utang luar negeri yang menumpuk, apakah kita masih percaya program ini berjalan tanpa motif politik?
Makan Gratis atau Seragam dan Buku Gratis?
Pertanyaan lebih mendasar: apa benar anak-anak kita butuh makan gratis? Atau lebih butuh pendidikan gratis, buku gratis, seragam gratis, hingga laptop gratis? Jangan-jangan, MBG hanya proyek populis demi citra kekuasaan?
Hingga kini, satu-satunya program pemerintah yang konkret dan langsung terasa oleh rakyat adalah program diskon listrik 450–2.200 VA yang berlaku Januari–Februari 2025. Sisanya? Ibarat rumah sakit umum, antrean pasien BPJS tetap mengular, obat sering habis, peralatan medis terbatas, dan pelayanan kesehatan gratis justru membebani rakyat dengan biaya tersembunyi: bensin, parkir, waktu.
Jika anak-anak harus masuk IGD akibat keracunan makanan MBG, dan orang tua tetap membayar BPJS, ongkos transportasi, bahkan obat tambahan—apakah itu masih bisa disebut gratis?
Kesimpulan: Gratisan yang Berbayar?
Program makan siang gratis ini bukan hanya diuji secara politik, tapi juga secara moral dan etika. Jika kebijakan yang harusnya menyelamatkan anak-anak justru menyebabkan keracunan massal, maka pemerintah patut dievaluasi. Jika pemerintah buta terhadap efek langsung yang terjadi di lapangan, maka yang sedang dijalankan bukanlah pembangunan—melainkan ilusi kemajuan.
Presiden Abraham Lincoln pernah berkata: “Anda bisa membohongi satu orang sepanjang waktu, dan Anda bisa membohongi semua orang pada satu waktu. Tapi Anda tidak bisa membohongi semua orang sepanjang waktu.”
Maka pertanyaannya: anak-anak Indonesia, masih mau makan siang gratis hari ini?